Emma sama sekali tidak mengerti tentang jalan hidupnya, yang masih membingungkan baginya bahwa semuanya berubah dalam waktu kurang dari sepuluh hari. Dia juga tidak menyangka bahwa Topan akan memenuhi semua perkataannya untuk mengubah hidupnya secara drastis dalam sekejap.
Gaun pengantin yang dia kenakan terlihat indah, riasan wajahnya juga cantik, Emma terlihat sangat menawan. Penata rias menciptakan momen yang tak terlupakan untuk Emma.
Topan tidak berkedip saat melihat Emma di tempat pernikahan. Hanya kakeknya dan ayah Emma yang hadir dalam pernikahan yang tersembunyi itu. Beberapa orang lainnya adalah pengawal dan asistennya.
"Selamat atas pernikahanmu," bisik Alex. "Kakek harap Kakek akan segera memiliki cicit."
"Aku juga, Kakek. Semoga rencana ini berjalan lancar. Harus," sahut Topan, "aku sudah memikirkan rencana lain, tapi Erica tidak masuk dalam daftar berikutnya. Dia sulit diatur. Kita membutuhkan wanita seperti Emma. Dia sempurna untuk rencana ini."
Namun, Topan lupa akan risiko yang harus dia ambil karena melewatkan beberapa hal penting. Seharusnya dia memikirkan untuk mencari kandidat lain jika rencananya untuk Emma tidak berhasil.
Alex mengangguk. "Bagus. Erica tidak boleh tahu tentang pernikahan ini. Katakan padanya untuk menjaga sikap saat bertemu Emma."
"Aku akan memberitahunya, itulah sebabnya aku melindungi Emma saat mereka bertemu secara kebetulan hari itu di kantor. Dia tidak sopan pada Emma dan Erica pasti akan menyakitinya setelah ini."
"Pastikan semuanya sudah siap tanpa ada kekurangan," perintah Alex dengan tegas dan kalem.
"Baik, Kakek. Aku akan segera kembali." Topan meninggalkan kakeknya untuk menemui pengantinnya.
Emma bersama ayahnya sedang menyesap anggur merah. Pernikahan rahasia itu berlangsung di rumah Topan di Berlin. Emma mempelajari ruangan yang besar itu, terlihat sederhana dalam desain dan interiornya, tetapi meninggalkan kesan mewah dan elegan.
Topan memanggil Emma untuk berbicara. Mereka berdiri di depan pelaminan--sebuah pelaminan mini yang sengaja dirancang atas permintaan Topan untuk meninggalkan kenangan indah bagi Emma.
Tiba-tiba Topan teringat saat dia mencium bibir Emma untuk pertama kalinya setelah pendeta mengatakan sah. Rasanya manis dan segar, seperti yang pernah Topan lakukan pada wanita yang dia sukai saat masih remaja. Meskipun terasa aneh, tetapi mereka berhasil melakukan adegan tersebut.
Topan berulang kali mencoba untuk menepis perasaan aneh yang menghinggapinya sejak pertama kali melihat Emma muncul dari belakang. Matanya tidak bisa berhenti menatap istrinya itu.
"Kuharap kamu menyukainya." Topan meneguk anggurnya dengan lahap. "Mudah-mudahan kamu juga menikmatinya, meskipun hanya untuk kita sekeluarga."
Namun, Emma juga tidak bahagia atau menikmati pernikahannya.
"Ya, terima kasih. Kuharap begitu." Hanya itu Emma jawab–dengan lembut, lalu suaranya menghilang. Emma merasa tidak nyaman sejak ciuman di altar itu terjadi.
Topan berbalik untuk menatapnya. "Berharap?" Itu bukan jawaban yang ingin Topan dengar.
"Apa yang bisa kukatakan? Kamu sudah menyiapkan segalanya, termasuk mempercepat perceraianku. Itu tidak termasuk dalam perjanjian. Itulah satu-satunya hal yang perlu kuingat sepanjang hidupku."
Topan mengangguk sambil meminum anggurnya. "Aku tidak ingin masa lalumu membawa masalah bagi kita di kemudian hari, yang akan menggagalkan program kehamilanmu."
"Aku akan mencoba yang terbaik."
Emma mengerti untuk memberikan yang terbaik dari dirinya. Tidak ada makan siang gratis itu benar adanya. Tidak ada orang yang akan memberikan uangnya secara cuma-cuma, kecuali seseorang yang akan memberikan umpan balik kepada mereka.
"Kamu harus, karena ini adalah bisnis." Karena Emma tidak memberikan komentar apapun, Topan menganggap sikap diam Emma sebagai sebuah penerimaan. Selain itu, Topan merasa tidak ingin menghentikan pembicaraannya dengan wanita itu. "Mau menari denganku?"
Emma menatapnya sejenak sebelum menyambut tangan Topan untuk membawanya ke lantai dansa.
Dari kursi rodanya, Alex menyaksikan romantisme cucunya berdansa dengan anggun bersama istri barunya. Dia tersenyum melihat mereka. Keinginannya untuk memiliki ahli waris akan segera terwujud melalui Emma.
"Ini yang Anda cari, Tuan." Asisten pribadi Alex menyodorkan sebuah kertas, lalu berbisik yang membuat Alex mengernyitkan dahinya.
Alex membaca kertas itu dengan seksama lalu mengalihkan pandangannya kepada ayah Emma. "Apa kau yakin?"
"Yakin, Pak. Dia orang yang menolong Topan waktu itu. Saya akan memintanya untuk datang jika Anda ingin berbicara dengannya."
"Sulit dipercaya, tapi memang dunia ini kecil. Tak ada yang mustahil. Aku akan bicara dengannya lain kali. Bagaimana dengan Erica?" Alex terkekeh.
"Dia baik-baik saja. Saya memberinya pekerjaan tambahan supaya dia tidak punya waktu untuk memikirkan Topan, apalagi mencarinya."
Alex mengangguk. "Kita beruntung bisa menemukan Emma, karena Erica akan membahayakan kita. Saya tidak siap menghadapi dampak yang sangat besar karena dia."
Sang asisten memperhatikan pengantin pria dan wanita yang berdansa dengan iringan musik klasik. Seperti Alex, dia hanya mendoakan yang terbaik untuk mereka. Kemudian, dia mendorong kursi roda sesuai keinginan Alex ke kamar Alex.
"Kirimkan informan untuk memata-matainya. Kalau anak buahmu menemukan tindakan yang membahayakan kita, bunuh dia. Dan juga Erica. Aku tidak suka ada orang bermuka dua di sekitarku."
Belum sempat asistennya menjawab, dua ketukan terdengar dari pintu. Seorang pelayan tanpa ekspresi bergegas menghampiri Alex.
"Keluarga Bronson ingin bertemu dengan Tuan. Mereka baru saja tiba."
Alex kehilangan kata-kata, karena dia tiba-tiba bingung harus menyambut besan. Bagaimana dia menjelaskan kepada mereka jika dia menyambut mereka di rumahnya, sementara ada pernikahan yang sedang berlangsung?
"Apa yang harus saya katakan pada mereka, Tuan?" tanya pembantunya.
Alex mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan sebelum memutuskan keluar. Mereka pasti akan sangat marah jika mengetahui putri mereka terluka.
Di ruang pernikahan, kedua mempelai berfoto sebagai kenang-kenangan. Topan mengenakan tuksedo hitam dan berdiri di samping Emma tanpa tersenyum sedikitpun. Dia sengaja memilih pakaian tersebut agar serasi dengan gaun Emma.
Selama pemotretan, keduanya tidak berusaha mencairkan suasana. Alih-alih mengikuti arahan fotografer, mereka menunjukkan bagaimana menjadi elegan dengan cara yang tanpa ekspresi.
Saat foto terakhir diambil, asisten Topan bergegas menghampirinya dan berbisik, "Ada telepon dari rumah sakit. Istri Bapak mengalami kemajuan dari komanya."
Kabar dari asisten pribadinya sangat mengejutkan hingga membuat Topan berada di dua sisi. Topan merasa senang dengan kabar itu, tetapi juga terkejut karena berita itu datang tepat di hari pernikahannya. Sepanjang pesta berlangsung, Topan tidak bisa menaruh fokusnya seperti sedia kala. Pikiran Topan terpecah antara merahasiakan statusnya dan Laura dari Emma, bagaimana dan kapan mengunjungi Laura, bagaimana menghadapi mertua saat mereka tahu pernikahannya bersama Emma, dan pertanyaan apakah Laura sudah benar-benar bangun dari komanya atau belum. Terlebih, kedatangan mertuanya yang tiba-tiba mengubah suasana menjadi semakin pelik. Pesta sederhana yang mewah pun tidak dia nikmati, sebab Topan dipaksa berpikir keras untuk membuat situasi baik-baik saja, termasuk perasaannya. "Kedatangan mereka untuk memberitahu kabar tentang Nyonya Laura. Tuan Besar sudah mengurusnya, Pak. Saya tidak tahu apa yang beliau katakan pada mereka," ujar asisten ketika memberitahunya. "Tuan Besar juga meminta B
"HENTIKAN, NANCY! AKU SEDANG TIDAK INGIN!" pekik Topan sambil menyingkirkan tangan Nancy dari dalam celananya. Nancy langsung terdorong ke belakang, terkejut melihat mata Topan sengit menatap padanya, mukanya merah padam, dan napasnya tertahan. Jeremy langsung bangun dan menarik Nancy menjauh dari Topan, keluar dari area sofa tempat mereka duduk. "Aku sudah bilang tinggalkan kami! Majikanku sedang ingin sendiri! Pergi!" "Kau sangat kasar padaku, Jeremy!" geram Nancy dengan mata nyalang. "Jangan ganggu kami, atau Tuan Topan bisa membuatmu ditendang dari bar ini!" balas Jeremy tak kalah sengit. Nancy pergi membawa dongkol dan muka masam, merasa dihina oleh Jeremy sebagai perempuan. Meski dia seorang pelacur, tetapi Nancy tidak terima diperlakukan kasar oleh laki-laki manapun. Bagi Nancy, itu menginjak harga dirinya. Saat Jeremy berbalik untuk kembali ke sofa, Topan sedang meneguk Vodkanya hingga tandas. "Tambahkan lagi!" teriak Topan dari sofanya sambil mengangkat gelas,
Emma menggeliat antara sadar dan tidak sadar. Dia merasa tubuhnya seperti terhalang sesuatu, gerak tangannya tidak leluasa, dan ada benda berat di atas perut dan kakinya., Saat sedang membalik badan, Emma terkejut karena kepalanya terantuk benda keras. Dia berulang kali mengedipkan mata lalu mendelik melihat laki-laki memeluknya sangat erat. "Astaga! Siapa dia?" Emma sontak bangun dengan susah payah, matanya semakin mendelik seperti akan keluar saat melihat pria di sampingnya.Udara dingin, tidak berselimut, pria itu malah telanjang bulat tanpa merasa tulangnya ditusuk nyeri dingin. "Hei, lepaskan aku, kenapa kamu ada di sini? Siapa kamu?" Emma berusaha melepaskan tangan dan kaki dari belenggu pria itu, memukul-mukul bahu Topan di posisi duduk yang sulit. Topan tak bereaksi sama sekali. Suara parau Emma yang perlahan menghilang, dibalut ketakutan dan panik, tergambar jelas di dini hari. Rasa bingung Emma tak bisa dikatakan. Bersama lelaki tidak dikenal, telanjang, satu alas, memak
Dua hari lalu saat bangun dari koma, Laura menghabiskan beberapa jam untuk mengingat kisah yang menjadi sejarah dalam hidupnya. Dia ingat Topan dan suaranya yang berkata cinta serta memberinya semangat, orang tuanya dan kejadian sebelum kecelakaan. "Aku ingat tentang kecelakaan itu setelah Papa mengatakannya," sahut Laura bersuara serak dan sesegukan. Dia mengusap air mata dan mengelap ingus dalam kondisi berbaring. Binar mata Topan dan Laura sirna karena histeria Laura yang terkejut. Pertemuan mereka seharusnya disertai tangis haru bahagia. Namun, perasaan mereka bercampur sedih dan senang, bahkan tidak satu pun dari mereka ada yang bisa mengungkapkan rasa itu. Dua tahun menanti dalam rindu, ketidakpastian dan harap-harap cemas, Topan seperti kapal yang hilang arah. Dia terpuruk hingga berbulan-bulan tak punya semangat hidup. Waktu yang terasa hampa bagi Topan karena kehilangan belahan jiwa. "Bagaimana kabar kamu?" Emma bertanya lagi, kali ini dengan sorot mata yang berubah binar.
Jeremy berdecih kecewa, berkacak pinggang melihat ke pintu ruang utama dengan harap-harap cemas. Tak lama berselang, mobil mewah Topan berhenti di depan pintu utama. Jeremy menutup mata, mengutuk keadaan yang tidak mendukungnya. Lantas, segera menuju teras untuk menyambut Topan."Semua sudah siap?" Topan bertanya sambil lalu, menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa. "Saya tidak menemukan Bibi Dagna di rumah, sejak tadi mencarinya. Pelayan juga tidak ada yang tahu ….""Apa maksud kamu Bibi Dagna tidak ditemukan?" Topan mendadak berhenti. Suaranya keras ketika mengklarifikasi kata-kata Jeremy.Asisten pribadi Topan itu menundukkan kepala sedikit. Intonasi Topan menunjukkan kemarahan dan keterkejutan karena Dagna yang dipikirnya menghilang. "Maksud saya, perintah Bapak belum saya sampaikan karena Bibi Dagna tidak ada di rumah sejak tadi. Saya sudah mencarinya kemana-mana, tapi Bibi tidak juga ditemukan," sahut Jeremy hati-hati saat menatap Topan. Topan hanya diam sambil menatap tanpa a
"Selamat datang kembali di rumah kita, Sayang," kata Topan sumringah sambil mendorong kursi roda. Para pelayan sudah berdiri menyambut Laura sesuai perintah Topan. Mereka menundukkan kepala sambil mengucapkan sambutan selamat datang dan lainnya. "Senang sekali Nyonya pulang lagi ke rumah ini. Saya sangat sedih Nyonya mengalami hal buruk itu dan selama Nyonya tidak ada di sini, rumah ini rasanya sangat sepi," tutur Dagna dengan tulus, lalu memeluk Laura. "Terima kasih, Dagna. Aku juga merindukanmu. Semua baik-baik saja selama aku tidak di rumah, kan?" Laura melepas pelukan, berbinar sekaligus tersenyum getir menatap Dagna."Semua baik-baik saja selama Bibi Dagna yang mengurus rumah ini," sela Topan tak ingin ada pertanyaan lebih banyak. "Ayo, kita masuk.""Aku senang mendengarnya," balas Laura mengangguk dan bermuka sedih, ketika Topan mendorong kursi rodanya. "Selamat datang cucuku, akhirnya kamu pulang lagi ke rumah ini," sambut Alex merentangkan tangan. Di ruang tamu, dia menungg
Emma tertegun melihat pasangan itu. Emosi yang terlihat, mereka seperti sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Laki-laki itu–dari jarak tempatnya berdiri–bisa Emma lihat adalah Topan. Bersikap manis dan perhatian, penuh kasih sayang. Sementara perempuan itu duduk di kursi roda, menikmati sandaran dan belaian Topan. Namun, Emma tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajah perempuan tak dikenal itu. Emma teringat igauan Topan malam itu yang berulang kali menyebut nama Laura. Apakah perempuan itu yang bernama Laura? Hubungan apa dia dan Topan? Emma hendak melanjutkan perjalanannya berkeliling, tetapi kakinya tertahan ketika adegan tak terduga terlihat oleh matanya. Perempuan tak dikenal itu mencium bibir Topan. Kini mereka bahkan berciuman. Dugaan Emma yang sempat berpikir perempuan itu saudara kandung Topan ternyata salah. Dari cara mereka berciuman mengatakan mereka adalah pasangan kekasih."Siapa perempuan itu? Apa hubungan asmaranya dengan Topan? Siapa pula Laura yang Topan se
Emma menghabiskan waktu dengan melakukan banyak hal selama Topan tidak di rumah. Dia sering pergi ke taman untuk berjalan-jalan, membaca buku di teras, atau menghabiskan waktu bersama Alex dan Dagna.Dalam kesempatan yang jarang, Emma juga menggunakan waktu tersebut untuk merawat dirinya sendiri. Dia menghabiskan waktu di spa, melakukan perawatan wajah, dan berolahraga untuk menjaga kesehatan dan kebugarannya melalui video di internet. Topan melarangnya memanggil instruktur pribadi ke rumah, karena kebanyakan instruktur senam di Berlin adalah laki-laki. Itu hanya alasan Topan. Selain itu, Emma juga mengambil kesempatan untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Topan dan keluarganya di rumah itu. Kamar besar itu tidak pernah terbuka lagi sejak dia melihatnya siang itu. Setiap hari dia bertandang ke mansion dari pagi hingga malam. Berulang kali Emma mencuri kesempatan untuk menyelinap masuk ke kamar, tetapi gagal. Dia juga mengakrabkan diri dengan para pelayan di rumah utama untuk m