Jentra menggeliat, perlahan kesadarannya mulai pulih. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia memandang ke sekeliling namun semua terlihat gelap kecuali nyala api kecil dari lilin lebah yang tergeletak diatas meja pendek.
"Dimanakah aku?" Begitu pertanyaannya dalam hati.Jentra mencoba mengingat kejadian sepanjang hari sebelum dirinya terjebak di dalam ruang gelap ini. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara teriakan yang keras dari banyak orang."Hah!""Ho...!""Renggangkan kaki. Buat pijakan yang kuat!""Pasang kuda-kuda yang benar!"Teriakan itu seperti teriakan orang yang sedang berlatih kanuragan. Dengan kepala yang masih terasa pusing, Jentra mengintip dari daun jendela yang rupanya tidak terkunci. Dari dalam ia melihat puluhan orang berbaris bersap-sap dan membentuk kuda-kuda.
Semuanya nampak masih seumurnya. Sap pertama dan kedua diisi para biksu muda dengan celana warna oranye terang tanpa baju dan jubah. Sementara sap ketiga hingga enam berisi anak-anak muda dengan celana tanggung berwarna biru lembut, berikat pinggang dari emas.
Rambut mereka digelung ke atas dan diikat dengan semacam mahkota yang terbuat dari emas juga. Ada beberapa biksu atau bikku yang berumur paruh baya membimbing mereka.
"Siapakah orang-orang ini? Tubuh mereka sangat bagus, ototnya terbentuk sempurna." Tanyanya lagi
"Mereka adalah siswa yang belajar di sini selain para biksu. Mereka tinggal di asrama di selatan vihara, supaya tidak mengganggu para biksu yang tinggal di kuthi mereka untuk meditasi dan berdoa. Tapi saat latihan fisik, mereka bersama-sama berlatih di sini." Sebuah jawaban terdengar lembut di belakang Jentra.Jentra menoleh.Seorang biksu muda baru saja masuk dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman. Biksu itu mengingsutkan lututnya pelan dan menaruh makanan di meja kecil dekat lilin lebah.
"Makanlah dulu. Kau pasti lapar dan haus. Setelah itu, temui Wiku Sasodara di bagunan sebelah Uposathagara. Di situlah ruangan beliau." Kata biksu itu sambil menunjukan bangunan kecil disebalah bangsal besar yang disebutnya Uposathagara."Maaf. Kami tidak menyediakan daging, karena kami tidak makan sesuatu yang berasal dari makhluk hidup. Tapi kami berharap kau menikmatinya. Di bawah meja ini juga ada beberapa potong baju bersih, kau bisa memakainya setelah kau membersihkan diri di Tirtawigangga." Lanjutnya lagiJentra hanya menatap pemuda itu dan mengangguk. Sapaannya begitu lembut dan baik. Saat minta diripun ia membungkuk dengan sopan, seolah Jentra adalah orang yang berkedudukan tinggi. Sesaat Jentra tersentuh dengan sikap pemuda itu. Padahal jika menilik dari wajahnya yang bersih dan terawat baik, jelas ia bukan orang dari kasta biasa. Sikapnya sangat berbeda dengan siswa-siswa di Kadewaguruan yang ia temui.
Jentra kemudian mengambil baju yang ditunjukan oleh pemuda tadi. Kainnya terasa sangat halus meskipun berupa tenun yang dipintal dari serat pohon juga. Berbeda dengan baju yang sekarang dikenakannya. Terasa kasar dan sedikit gatal.
Jentra kemudian mandi dan membersihkan diri menggunakan air di Tirtawigangga yang mengalir dari kolam besar ke jeding (semacam bathtube tapi terbuat dari batu). Ia juga menggosok badannya dengan batu apung halus dan tumbukan daun Pandan yang dicampur rempah sehingga badannya terasa segar dan wangi. Tak ada bau keringat yang berhari-hari telah mengganggu penciumannya.
"Bajumu biar kucucikan. Besok setelah kering, aku akan menaruhnya lagi di laci mejamu." Kata biksu muda yang tadi mengantar makanan."Ehh ya....!" Jawab Jentra tergagap karena terkejut. Namun saat biksu muda itu akan pergi Jentra menghentikannya."Siapa namamu?" tanyanya"Amvrati Surya. Tapi mereka memanggilku Amasu." Katanya sambil menghormat dan pergi."Nama yang aneh." Kata Jentra sambil berpakaian.Baju ini sungguh nyaman di kulitnya. Terasa sejuk dan lembut. Potongannya-pun cukup longgar memungkinkan gerakan seseorang menjadi lebih merdeka. Baju itu berwarna biru lembut dipadu celana selutut dengan warna biru yang lebih tua.Jentra mematutkan dirinya di cermin setelah makan, sebelum menghadap Wiku Sasodara. Ia menggelung rambutnya yang panjang dan melihat bahwa ia tidak kalah tampan dibandingkan pemuda-pemuda yang berlatih tadi. Bahkan ia jauh lebih tampan. Matanya yang sipit namun tajam dan bersinar menjadi daya tarik yang luar biasa. Hidungnya mancung, bibirnya berisi dan berwarna merah muda terang. Alisnya seperti bilah golok yang tebal dan indah. Setelah merasa pantas ia menuju ke ruang yang ditunjukan Amasu kepadanya.
Jentra mengetuk pelan. Tiba-tiba pintu terbuka dan Amasu muncul dari balik pintu."Cepatlah. Guru sudah menunggu."Kata Amasu. Jentra mengangguk dan melangkah masuk ke ruangan Sang wiku. Ia melihat Wiku Sasodara masih menulis sesuatu di lontar. Wajahnya terlihat sangat serius. Berbeda dengan saat ia bertemu di hutan dan di kedai. Wiku Saasodara adalah pria yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun. Wajahnya tampan dan terlihat sangat terpelajar. Jentra berpikir apa yang membuatnya ingin hidup sebagai lelaki yang menghabiskan hidupnya di tempat seperti ini? Tidak menikah atau mengejar duniawi lainnya."Baiklah anak muda. Siapa namamu? Kita tidak sempat berkenalan dengan baik ketika itu. Pertemuan kita yang pertama kau tampak sangat lelah,sehingga enggan mengobrol denganku. Pertemuan kita yang kedua, kau terlalu marah jadi tidak mau bicara yang baik juga. Nah sekarang kulihat kamu sudah sedikit berbeda, jadi mari kita berteman dengan baik. Aku sudah memperkenalkan diriku waktu itu. Namun aku akan kembali memperkenalkan diriku padamu. Namaku Sasodara. Aku dipercaya untuk mengelola vihara ini dan yang duduk di sana itu adalah Amasu, orang terdekatku yang menolongku untuk melakukan hal-hal yang pribadi. Jadi siapa namamu dan darimana asalmu?"Tanya Wiku Sasodara dengan senyum yang sangat ramah."Hamba Jentra, Tuan. Asal hamba cukup jauh dari sini. Sebuah desa di kaki gunung Candramuka atau Marawu (Merbabu saat ini), namun desa itu sekarang telah menghilang dibumi hanguskan oleh perampok-perampok." Jawab Jentra. Sesaat ia tercekat dan air matanya jatuh."Jentra....nama yang bagus sekali. Artinya bulat dan utuh. Kau tidak perlu memanggilku tuan, cukup panggil aku wiku saja karena aku memang seorang wiku. Di tempat ini, pengaturan tentang kasta hampir tidak ada. Jadi kau bisa memanggil nama atau kalau ia lebih tua panggil saja kakang dan kalau lebih muda adhi. Kecuali kepada Rakyan Mahamentri. Kita semua memanggilnya Gusti. Nanti Amasu akan memberitahumu siapa saja Rakyan Mahamentri yang belajar di sini."Lanjut Wiku Sasodara."Baik Wiku.""Jentra, aku hanya ingin bertanya saja. Aku tidak berniat menahanmu atau menyakitimu. Aku lebih senang membiarkanmu pergi jika kau tidak suka tinggal disini. Hanya saja aku memiliki kesulitan dengan pihak penjaga keamanan kerajaan yang bertugas di Sima ini. Kerusuhan yang terjadi kemarin, memicu banyak masalah terutama dengan pengajar dan siswa Kadewaguruan yang muridnya telah kau lukai." Lanjut Sasodara."Hhhmmm....saya mengerti, Wiku. Maaf telah melibatkan Wiku dalam masalah ini. Namun di dalam hal ini saya tidak bersalah sama sekali. Mereka yang menghina dan menyerang saya terlebih dahulu." Kata Jentra sambil menghela nafas panjang."Aku tahu itu. Pemilik Kedai telah memberikan informasi yang cukup rinci. Tetapi masalahnya, orang-orang dari Kadewaguruan ingin membunuhmu untuk membalas dendam. Itu sebabnya, aku dan pihak penjaga keamanan bersepakat agar kau ditahan di sini terlebih dahulu sampai waktu membuat kemarahan mereka reda." Jawab Sang Wiku."Tapi..." Jentra ingin sekali protes dengan hal itu namun ia juga tahu bahwa ia tidak mungkin melawan orang sebanyak itu."Kau tidak harus belajar apapun di sini. Aku hanya memintamu menunggu sampai kemarahan mereka reda. Tetapi jika kau berpikir daripada menunggu sia-sia. Kau bisa berlatih dengan kami, seperti orang-orang yang kau lihat berlatih tadi. Kau bisa belajar meditasi bersama Amasu untuk menenangkan hati. Tawaranku padamu saat itu, masih terbuka lebar. Daripada kau juga berkelana dari satu Kadewaguruan yang satu ke yang lain tanpa hasil yang juga jelas. Untuk apa?" Kata Sang Wiku. Jentra merenung sebentar. Hatinya masih bimbang, namun apa yang dikatakan Sasodara banyak benarnya. "Kau boleh berpikir dulu. Jangan memutuskan apapun sebelum kau berpikir dengan baik. Hanya aku ingin bertanya. Apakah pedang yang kau pakai adalah pusaka keluargamu?" Tanya Wiku Sasodara"Bukan.""Lalu milik siapa?""Saya tidak tahu, Wiku. Saya menemukannya di gua, saat saya melarikan diri dari para perampok.""Apakah kau tahu jika pedang ini adalah pedang curian?""Pedang curian?""Ya. Pemiliknya adalah seorang panglima kerajaan Pengging sakti bernama Upas Angin yang gugur saat menyerang Medang. Pedang ini bernama Tawurupas. Pedang ini sangat beracun dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Namun ditangan seseorang yang tidak berpengalaman sepertimu. Pedang ini bisa sangat berbahaya. Itu sebabnya aku menahannya. Kuharap kau tidak berkeberatan." "Tidak Wiku. Ambil saja pedang itu jika Wiku mau."Jawab Jentra yang tampak berpikir keras."Baiklah! Istirahatlah. Pikirkan tawaranku baik-baik. Dan berikan jawabanmu besok." Kata Wiku Sasodara.Jentrapun pergi diantar oleh Amasu ke ruangannya. Sebelum pergi Amasu berkata."Jika kau belajar pada guru Sasodara. Jangankan Tawurupas. Kau akan menguasai banyak ilmu yang bisa digunakan untuk mengendalikan pusaka-pusaka sakti. Tidak hanya Kadewaguruan saja yang bisa mengajarimu banyak hal, Jentra. Guanakan masa tahananmu menjadi berguna. Anggap saja saat ini kau menjalani tahanan kasih.""Tahanan kasih?"Amasu mengangguk kemudian membungkuk dan meninggalkan Jentra yang kebingungan.Jentra kembali ke gua, dimana ia dan Candrakanti pernah berjanji untuk bertemu. Ini adalah tahun ketiga yang ia janjikan. Jentra telah jauh berubah. Ia menjadi pemuda yang sudah cukup matang meskipun belum sepenuhnya dewasa. Tubuhnya tinggi, besar dan gagah. Ototnya terbentuk dengan baik dan kemampuannya semakin terasah. Ia juga semakin tampan. Apalagi saat di vihara, Wiku Sasodara memberikan semua yang terbaik untuknya termasuk pakaian. Ia bukan lagi remaja lusuh dan bau. Ia telah menjadi pria tampan yang cukup mewah.Bajunya terbuat dari sutera warna biru lembut dan disulam dengan benang perak. Ia juga memakai pelindung pergelangan tangan yang terbuat dari emas dan berukiran naga. Ikat pinggangnyapun terbuat dari perak yang bertabur batu mulia.Candrakanti hampir tidak mengenalinya saat mereka bertemu di mulut gua. Ia terpana pada pria dihadapannya itu. Benarkah itu Jentra? Pria yang ditunggunya selama tiga tahun dengan menolak semua lamaran pria yang disodorkan oleh ayahnya. Hatiny
Jentra mengendap-endap menuju barak kelompok perampok yang telah membunuh keluarganya. Ia menyiapkan dua bilah pedang. Ia berpakaian serba hitam dan menutup wajahnya. Kemudian ia menunggu sampai ia melihat Candrakanti keluar dari tempat itu, menuju tempat yang telah mereka sepakati. Saat Candrakanti telah berlalu beberapa saat. Jentra langsung menyerang tempat itu. Pertama ia membunuh penjaga pintu dengan memotong lehernya. Sementara salah satu dari perampok-perampok itu melihat kejadian itu berteriak."Penyusup...penyusup!" Namun, Jentra melemparkan belatinya dan mengenai perut orang itu. Kemudian keluarlah tiga orang dari rumah-rumah mereka dan menghadang Jentra."Siapa kau manusia keji. Kurang ajar sekali membunuh saudara kami." Kata orang pertama"Ya, buka topengmu. Perlihatkan siapa dirimu. Dasar pecundang." Sambut orang kedua"Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Tetapi aku adalah orang yang sedang menagih hutang darah kalian." Jawab Jentra."Kurangajar. Habisi dia!" Kata orang
Jentra kembali ke padepokan para perajurit sandi Medang. Jentra sudah tidak tinggal di vihara sejak pendidikannya dinyatakan selesai dengan baik. Wiku Sasodara bahkan merekomendasikan agar Jentra bisa bergabung di satuan khusus sandi dan melayani Mahamentri I Halu Pangeran Balaputradewa.Jentra masuk tertatih dengan menahan lukanya yang cukup dalam. Kondisi lukanya yang masih terus berdarah, mengundang teman-temannya untuk membantunya. Salah satunya adalah teman terdekatnya Ginandara."Jentra! Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau sampai terluka seperti ini?"Teriaknya panik"Benar kakang Jentra. Siapa yang bisa melukaimu sampai separah ini?" Sahut Kawindra"Aku tidak apa-apa!" Jawab Jentra sambil meringis menahan perih."Ayo kita bawa dia ke kamarnya." Kata Kawindra"Ya. Kau harus diobati dengan benar Jentra, supaya lukamu tidak bertambah parah. Beruntung, bikkuAmasu datang untuk menengokmu dan ingin menyampaikan pesan dari wiku Sasodara. Ia menunggumu di ruanganmu." Ginandara menamba
"Kanti.....Kanti......Kanti!" Teriak Kacaya terengah-engah sambil menaiki bukit.Candrakanti yang tengah mencari rumput menengok asal suara yang memanggilnya. Ia melihat pamannya tampak terengah-engah menyusulnya."Ada apa paman? Mengapa kau berteriak seperti orang yang kebingungan." Tanya Candrakanti"Ayahmu....ayahmu...."Kacaya terbata-bata dan terengah-engah, bukan karena panik namun usianya yang tak muda lagi dengan badan yang tambun di paksa naik bukit."Ayah kenapa? Bertengkar lagi dengan paman soal ayam? Kan sudah saya bilang, jual saja ayam-ayam itu sehingga tidak berkeliaran kemana-mana. Atau buat kandang yang kokoh, biar mereka tidak kabur."Candrakanti menanggapi pamannya dengan tenang seperti biasanya. Namun pamannya melambaikan tangannya seraya mengatur nafas yang tersengal-sengal."Bukan itu! Lalu apa?""Prajurit....prajurit Medang menangkap ayah....ayahmu.""Apa?" Teriak Candrakanti yang seketika membuang sabitnya"Prajurit Medang menangkap ayahmu. Semua yang melawan di
Tekad Candrakanti telah bulat. Pagi-pagi sekali, ia memanfaatkan kesunyian meditasi untuk keluar dari vihara. Ia membawa goloknya dan air untuk bekal. Menembus kabut yang gelap dan hawa yang dingin, sesekali Candrakanti menggosok lengannya yang terbuka kuat-kuat. Ia menerobos hutan menuju ibu kota Medang Poh pitu.Ibu kota Medang adalah tempat yang indah. Berbeda dengan kota Manisa di dekat Sima tempat Candrakanti tinggal. Poh Pitu adalah kota yang ramai meskipun matahari masih belum sepenuhnya bersinar. Dengan bekal informasi yang pernah diceritakan Jentra padanya, ia bisa menemukan padepokan pasukan Sanditaraparan di mana Jentra tinggal dan bertugas. Tempatnya memang bukan di jantung kota, namun di sisi sebelah barat kota dekat perbukitan yang bisa dipakai sebagai tempat latihan berkuda, memanah dan ketangkasan lainnya.Dengan hati-hati, ia mengamati tempat itu. Lalu bertanya pada penjaga tentang Jentra. Ia mengaku sebagai istri Jentra. Penjaga itu segera berlari menuju ruangan Je
"Aku tidak mengerti. Mengapa Jentra begitu berkeras untuk minta ditugaskan ke garis depan ekspansi Pengging, padahal ia belum berpengalaman pada perang terbuka." Kata Sasodara pada Amasu."Mungkin justru ia sedang ingin mencari pengalaman, Guru. Bukankah Guru sudah membekali Jentra dengan ilmu-ilmu yang hebat? Mungkin ia ingin mencobanya." Jawab Amasu."Kulihat kau sedikit aneh akhir-akhir ini Amasu?" Wiku Sasodara memastikan dengan memandang Amasu dengan tajam. Amasu menjadi sedikit salah tingkah."Aneh? Aneh bagaimana maksud, Guru?" Jawab Amasu sedikit tergagap"Beberapa hari lalu ada tiga orang perampok yang dihukum mati. Salah satu yang dihukum masih berumur tiga belas tahun bernama Biru. Kakak perempuannya menangisinya tiada henti dan berlutut di alun-alun sampai hari ini jika tidak diusir perajurit jaga. Apakah kepergian Jentra ada hubungannya dengan ini. Hhmm?""Eeehhm...eehhhmm saya tidak tahu, Guru." Jawab Amasu terbata-bata."Amasu!" Teriak Wiku Sasodara"Iya, Guru!" Jawab A
Hampir setengah hari Amasu dan Jentra menembus hutan Kalisrenggi yang rapat oleh pepohonan hingga puncak. Mereka beristirahat diantara bebatuan besar. Hawa dingin menggigit dan kabut mulai turun. Amasu melangkah beberapa ratus meter lagi ke atas dan ia menemukan sebuah nisan besar. Jentra heran melihat nisan itu, mengingat pada masa itu tak ada orang mati yang dikuburkan .Amasu menggeser batu nisan itu dan tanah di bawahnya bergetar. Sebuah batu besar di samping mereka bergerak membuka. Sebuah tangga ke bawah nampak menuju ruangan yang sangat gelap di dalam tanah. Amasu kemudian menyalakan obor dan menuruni tangga. Jentra mengikutinya.Di sepanjang dinding Amasu menyalakan obor yang tergantung sehingga tempat itu menjadi terang. Di dinding itu juga terukir berbagai posisi orang yang sedang berlatih meditasi dan bela diri. Jentra ternganga."Ini adalah tempat menyimpan abu kakek buyutku. Beliau adalah panglima dari kerajaan Galuh. Beliau sangat sakti. Tak ada yang bisa mengalahkann
Pasukan Jentra telah begitu kelelahan dihajar perajurit Pengging yang ternyata sangat tangguh. Apalagi Panglima perang mereka adalah Randujalak, ahli perang dan jenderal yang berpengalaman. BahkanKaruna Sankara dan Nagarjuna yang menjadi kekuatan utama Medang menghindari pertempuran satu lawan satu dengan Randujalak. Oleh karena itu, sebagai pasukan pelopor Jentra terpaksa berhadapan langsung dengan Randujalak."Hai orang Medang! Apa kalian kehabisan orang hingga mengirim bocah tengik ini melawanku." Teriak Randujalak."Suruh Karuna Sankara atau Nagarjuna menghadapiku. Jangan menghantar nyawa pemuda malang ini." Kata Randujalak menghina."Sudahlah Randujalak. Tidak usah berteriak-teriak. Lawanlah saja aku jika kau bisa. Aku Jentra Kenanga, pimpinan pasukan pelopor. Aku tidak akan mundur menghadapimu." Jawab Jentra"Baiklah! Bersiaplah untuk mati. Sebenarnya aku merasa sayang padamu. Kau masih begitu muda dan tampan, apalagi jika tanpa parut di wajahmu itu."Ejek Randujalak."Parut di