“Maaf, tapi apa maksud Anda mengatakan itu?” Ayu berdiri dan menatap Mori. Tentu saja Ayu sangat mengerti apa yang dimaksud Mori. Ini bukan pertama kalinya Mori mengatakan hal sejenis itu. Ayu masih ingat percakapan antara Mori dan wanita dari HRD kemarin. Keberadaannya mencurigakan. Tapi Ayu tidak akan menerima hinaan, karena memang dia tidak melakukan hal aneh apapun. Dia kesini karena panggilan. Entah bagaimana dan oleh siapa. Dan yang jelas, Ayu sudah merasa berusaha sangat keras untuk mengejar ketinggalan dan belajar. Kerja keras itu tidaklah mudah.
“Kau sudah dengar apa yang aku bicarakan, bukan? Kau tidak cocok…”
“Maaf, tapi kenapa Anda menganggap saya tidak cocok? Apa selama beberapa minggu ini saya melakukan kesalahan? Apa ada kinerja buruk dalam catatan saya?”
Ayu berani karena tahu kerjanya nyaris sempurna. Mungkin dia melakukan kesalahan, tapi itu hanya terjadi antara minggu pertama dia bekerja&m
“Tidak! Aku akan tetap bekerja, dan kau tidak boleh ikut campur!” Ayu membalas tidak kalah tegas, lalu berpaling dan berjalan lebih cepat menuju kamarnya. Ayu tidak ingin berdebat lagi. Ayu tidak ingin pujian atas segala kerja kerasnya, tapi jelas, ia tidak ingin mendengar teguran lagi. Ayu ingin memutuskan sendiri kehidupannya saat ini.“Yumi!” Hide membentak. Jelas balasan Ayu tadi terhitung terlalu berani.“Pulang lebih cepat atau…” Hide tidak melengkapi kalimatnya karena Ayu tidak lagi terlihat.Hide juga tidak menyusul, tapi masih jengkel karena mendengar suara cawan beradu dengan meja kayu yang terdengar cukup nyaring setelahnya. Hide mendengus lalu mengambil ponsel, menghubungi Ryu.“Ada apa ini? Sejak kapan kau menghubungiku dari ponsel saat di rumah?” Ryu menyahut dengan terkejut. Dia tahu persis, biasanya Hide selalu memakai telepon biasa untuk menghubunginya saat di rumah.“Rus
Ayu melonjak bangun dan mengusap wajahnya yang basah. Air itu cukup banyak. Hampir seluruh tubuh Ayu basah kuyup, mulai dari seragam sampai pakaian dalamnya. Debar jantung dan denyut sakit di kepalanya, mengiringi usaha Ayu untuk mengerti apa yang terjadi.“Hei!” Ayu berteriak saat mendengar suara langkah di depan bilik toilet, dan bergerak membuka pintu untuk melihat siapa yang baru saja menyiram air yang kotor dan dingin itu. Tapi saat meraih gagang pintu dan memutarnya, Ayu langsung merasa ada yang salah dan tubuhnya terasa semakin dingin. Pintu itu terganjal oleh sesuatu dan tidak bisa membuka.“HEI!” Ayu menggedor dan berteriak panik.“Siapa kau? Kenapa kau melakukan ini?” Ayu berteriak, lalu berlutut, menunduk untuk mengintip dari bagian bawah bilik yang memang terbuka. Ayu hanya melihat sekelebat sepatu wanita bergerak berlari menuju pintu, mematikan lampu dan menutupnya dengan keras. Meninggalkan Ayu terkunci, dalam keadaan basah, menggigil dan gelap gulita“KAU SIAPA? LEPASK
Kesadarannya sangat samar. Ayu bisa mendengar suara di sekitarnya, tapi tidak bisa membuka matanya yang terasa berat. Kelopak mata Ayu masih terpejam, tapi tampak bola matanya bergerak. “Sejauh ini saya hanya melihat kemungkinan kelelahan dan dehidrasi juga.” “Kau yakin tidak ada yang lain?”Ayu tidak mengenal suara pertama yang bicara, tapi suara yang menyahut berikutnya tentu saja dikenalnya. Hide.“Jika berkenan, saya akan melakukan pemeriksaan lebih jauh dan…” “Tttt.. idak…” Ayu memaksakan mata dan lidahnya bergerak. Sedikit kabur, tapi akhirnya bisa mengenali keberadaaannya di mana, dan siapa yang berdiri di sampingnya.Hide menunduk menatapnya, sementara dokter yang tadi bicara pada Hide mendekat dan memeriksa tanda vital Ayu. Ia mengayunkan senter di depan matanya, untuk memeriksa tingkat kesadaran Ayu.“Nakamura-san? Apa Anda bisa mendengar saya?” Dokter itu memanggil Ayu sambil menepuk pundaknya. Ayu mengangguk dan matanya membuka sempurna.“Ah… Syukurlah.” Dokter wanita i
“Aku bisa sendiri.” Ayu menolak uluran tangan Hide yang akan membantunya turun dari mobil. Ayu sudah puluhan kali menyentuh tangan itu—dulu, bukan berarti Ayu ingin menyentuhnya lagi sekarang.Ayu tidak mungkin lagi membayangkan bagaimana tangan itu mengelus kepalanya dulu, atau saat dengan lembut selalu menghiburnya saat rasa sakit menyerang kepalanya. Bagaimanapun, tangan itu adalah tangan yang sama yang memaksanya untuk mencumbu dirinya kemarin. Ayu tidak ingin tangan itu menyentuhnya lagi.Terlihat Hide mengepalkan tangan, tidak membahas lebih lanjut dan hanya berjalan terlebih dulu masuk ke rumah. Ayu melirik ke arah punggung Hide sambil berjalan perlahan di belakangnya. Ayu tiba-tiba merasa menyesal. Sikapnya menghindar tadi terlalu kasar. Semalaman Hide menemaninya di rumah sakit. Paling tidak dia muncul. Masih lebih baik daripada Kaito yang sama sekali tidak terlihat, bahkan sampai pagi ini.Ayu tidak tahu apakah Kaito tidak muncul karena Kaede melarangnya atau sebab yang lain
Ayu terlalu terbawa oleh kenangan dan keharuan. Tidak seharusnya ajakan itu terjadi. Ayu menyesal telah meminta. Tapi bagi Hide ajakan Ayu itu adalah angin musim semi yang biasanya hangat. Hide berbalik dan mengernyit.Kau ingin aku menemanimu makan?” tanya Hide, separuh tidak percaya.“Aku…” Ayu menggigit bibir, lalu berpaling memandang anyamannya yang masih pendek. Hanya untuk menutupi kebingungannya.“Kita makan di luar.”Hide tidak membutuhkan persetujuan. Dia membawa kotak tempat nasi kari milik Ayu, membawanya keluar. Dengan begitu, Ayu tidak akan punya pilihan selain mengikutinya.Mereka duduk seperti biasa di meja makan, tapi aroma kari itu jelas membuat perbedaan. Setidaknya bagi Ayu.Kenangan itu membuatnya lebih tenang. Keadaan tidak takut setelah sekian lama berada di rumah ini.“Tonkatsu.” Hide membuka bungkusan satu lagi yang tadi ditinggalkan di dalam kamar. Berisi tonkatsu (daging babi balut tepung digoreng kering). Kesukaan Ayu juga, tentu pilihan Hide tidak ada yang
“Oh, kau belum tahu?” Pria bernama Sato itu kembali mengubah wajahnya menjadi ramah saat menatap Ayu.Tapi Ayu tidak mungkin memperhatikan hal itu. Ayu kini berpaling menatap Riko yang masih menunduk. Dalam hati, Ayu tentu saja tidak ingin percaya jika Riko yang melakukannya.“Tapi… tapi… Kyoko yang…”“Kyoko Fujita? Ada apa dengannya? Dia tidak terlibat sama sekali dengan kejadian kemarin.” Sato kembali memotong kalimat Ayu.“Tapi dia yang…” Tidak ada yang memotong kalimatnya, tapi Ayu kehilangan kata-kata setengah jalan. Dia masih sulit mempercayai apa yang diucapkan oleh Sato, tapi untuk kemungkinan, jelas Sato tidak akan menuduh sembarangan. “Silakan lihat. Aku rasa akan lebih jelas.” Ayu mendongak, melihat Sato memutar laptop yang ada di hadapannya, menghadap mereka bertiga.Mori sedikit maju, sambil mendorong kacamatanya ke atas untuk melihat lebih jelas. Tapi mata Ayu baik-baik saja, jadi dia bisa melihat tanpa kesalahan.Laptop itu memutar rekaman CCTV ruangan tempat Ayu beker
Kyoko yang mendapat kejutan kedua kali, terlihat ternganga. “Hah? Apa?”“Aku ingin meminta maaf, karena telah menuduhmu dengan sembarangan.” Ayu kembali membungkuk, dan tentu hal itu menjadi perhatian karyawan yang lain.Hiro dan Misa tampak menengok dengan leher menjulur penasaran.“Ikut aku! Kau itu mengganggu pekerjaan orang lain saja!” Kyoko mengomel dan berdiri, berjalan menuju pantry. Tidak nyaman dengan perhatian itu.“Yang aku dengar dari mulutmu sejauh ini hanyalah omong kosong yang menyerupai mantra.” Kyoko menggerutu setelah ia sampai di pantry.“Jelaskan yang benar, agar aku tidak merasa menjadi orang tolol saat kau bicara.” Kyoko duduk, lalu mencelupkan tehnya, menunggu.Tapi Ayu yang sekarang seperti kaset kusut. Meski mengalaminya sendiri, tapi Ayu baru bisa mencerna semuanya saat ingin menjelaskan pada Kyoko. Rasa frustasi yang mengimpitnya sejak tadi, kini mengalir keluar. Ayu mengempaskan diri pada kursi di depan Kyoko, dan menelungkup di atas meja. “Kenapa… Aku sal
Aroma manis dari sake, menyerbu Hide saat Ayu membuka mulut. Memberi kesempatan bagi Hide untuk menjelajah lebih jauh. Penerimaan pasrah, dengan tubuh yang semakin menghangat.Ayu juga mendesah, dan merangkul leher Hide. Mengangkat tubuhnya yang telah terbaring, menggelayut mengikuti pelukan tangan Hide yang tentu saja tidak mungkin melepaskan Ayu.“Yumi…” Hide berbisik berat, membenamkan wajah pada leher Ayu, menghirup aroma hangat yang menggoda akal sehatnya. Bibirnya mengelus dengan nyaris kasar, akibat serbuan nafsu yang telah lama tertahan.Hide merangkul punggung Ayu, membenamkannya dalam pelukan, sementara Ayu menggeliat, membalas segala sentuhan Hide dengan meraba tengkuk dan rambutnya. “Aitakatta…” desah Hide. (Aku sudah lama merindukanmu…)“Watashi mo desu…” (Aku juga…)Ayu membalas perlahan dalam bisikan, dan memeluk Hide semakin erat. “Aku merindukanmu, kenapa kau tidak menjemputku? Kenapa kau tidak datang? Tinggalkan ibumu itu!” Ayu meracau.Rasa hangat dan kepuasan yan