Termenung aku melihat cermin. Benar kah di hadapanku itu seorang Aidah? Ilmu apa yang dimiliki Mbak Uti sampai bisa menyulapku secantik ini? Bahkan, saat menikah dengan Mas Alman pun, aku tak terlihat pangling seperti sekarang.“Sebentar! High heelsnya belum, Aidah!” “Oh, harus pakai itu juga, Mbak?”“Iya, dong. Biar si Alman makin nyesel.” Mbak Uti terkekeh, aku hanya bisa mengembuskan napas. Benar kah yang tengah kulakukan ini?“Tapi aku nggak biasa pakai hak tinggi, Mbak,” kataku jujur.“Pakai naluri saja, jangan lari jalannya. Pasti bisa, kok!” ucap Mbak Uti sambil meletakkan high heels berwarna senada dengan bajuku itu di depan kedua kaki.“Terima kasih banyak, Mbak ....” kataku lirih. Mbak Uti tersenyum, tatapannya menyiratkan sesuatu, pandangan matanya seolah mengatakan kalimat kalau aku harus yakin dan kuat.Semoga, aku bisa berpijak dengan tenang di depan semua keluarga Mas Alman.*** Perih, itu yang kurasakan saat melihat dekorasi rumah milik mempelai wanita. Ingin rasanya
[Kita harus ketemu, aku mau bicara] pesanku pada Mas Alman.Setelah beberapa jam, dia baru membalas dan bersedia bertemu denganku di sebuah rumah makan, dia juga meminta agar aku menbawa Rizki dengan alasan rindu ingin bertemu.Aku mengiyakan, walau kenyataannya bohong. Aku tak mau membawa Rizki, takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Bisa jadi Mas Alman merebut dan membawa anak kecil itu nanti.Setelah menitipkan pada Ibu dan Ilham, aku berangkat bakda ashar menuju rumah makan yang ada di pertengahan desa Sukamurni juga Jati Asih.Sejak rumah dijual oleh Mas Alman, aku dan Rizki memang kembali ke rumah Ibu. Malu juga sedih bercampur jadi satu. Tapi mau bagaimana lagi, hanya wanita tanpa pamrih itu yang mau menerima kami."Mana Rizki?" tanya Mas Alman, rupanya dia yang lebih dulu sampai."Rizki tidur, kasihan kalau harus dibangunin.""Kamu bohong, ya? Kamu nggak ngajak Rizki dan nggak kasih tahu dia kalau mau ketemu aku, 'kan?" tanyanya sambil menatap dalam."Peduli apa kamu sama an
Alman PoVBeberapa hari sebelum bercerai."Lho, Man? Kok pulang lagi?" Kuhempaskan tubuh ke sofa, menjeda jawaban Ibu sementara."Man? Kok malah merem? Ibu lagi nanya lho, ini." Kuhela napas dalam, lalu membuka mata perlahan."Nanti aja Bu, bicarainnya kalau pekerjaaj rumah udah selesai," jawabku. Memang keadaan rumah Ibu masih berantakkan bekas acara hajatan Mbak Ida."Nggak apa, Man. Tinggal beresin dapur sama ruang belakang, ada Mbak Ratih ini."Aku menghela napas lagi, lalu menjauhkan punggung dari sofa."Aidah, Bu.""Kenapa Aidah? Dia ngapain kamu, Man? Dia selingkuhin kamu? Dia nyakitin kamu?" sambar Ibu.Aku menggeleng."Bukan, Bu. Bukan.""Terus kenapa?" tanya Ibu lagi seperti tak sabar."Maaf, Bu. Alman mau tanya sesuatu sama Ibu." Kening Ibu nampak mengerut mendengar pertanyaanku."Iya, Man. Boleh. Mau tanya apa?""Apa benar, Ibu, Mbak Ida, Mbak Laksmi dan Mbak Nuri sering ngucilin Aidah saat Alman nggak ada?""Ngucilin? Maksudnya ngucilin gimana, Man? Ibu nggak ngerti." Jaw
"Mas, lipstiknya mana?" Aku tepuk jidat. Kenapa pula bisa lupa membelikan pesanannya."Maaf, Sayang. Mas lupa, beneran. Besok saja ya Mas beliinnya," ujarku jujur. Indri malah mengerucutkan bibirnya."Mas gimana, sih? Makanya kalau istri pesan sesuatu itu dengerin, masukin ke hati yang terdalam biar nggak lupa! Mas keseringan, deh. Minggu lalu, aku mau martabak telur eh malah pulangnya bawa martabak manis. 'Kan nggak lucu, Mas." Panjang lebar Indri menceramahiku.Kalau hari itu memang keliru, tapi untuk sekarang, aku benar-benar lupa dengan perasaan Indri. Entah lah, pikiranku melayang ke mana-mana, semenjak pagi tadi melihat mantan istri dibonceng Pak Guru Arkan, aku tak bisa fokus mengerjakan atau mengingat sesuatu.Masa iddah Aidah memang sudah berakhir satu bulan yang lalu. Apa tak terlalu cepat dia menikah dengan lelaki lain? Semudah itu kah dia melupakanku?Lalu kenapa harus dengan Pak Guru Arkan? Kenapa bukan dengan Faiz, lelaki yang selama ini terang-terangan dekat dengannya.
"Hebat ya mantanmu itu, jadi selebgram dia sekarang." Sudah malam, Indri masih berceloteh soal Aidah."Belum tidur kamu?" tanyaku yang baru selesai mengelap wajah dengan handuk."Belum, lagi ngepoin mantan istri kamu," katanya terdengar enteng."Buat apa ngepoin dia?" tanyaku seraya melangkah ke dekat ranjang, kemudian duduk di dekat Indri yang tengah berbaring."Lucu aja, kok dia tega sih, menaikkan pamornya dengan cara hadir ke nikahan kita, Mas." Aku terdiam, Indri pasti masih belum terima karena banyak orang menghujatnya dan menyebut dia pelakor."Mas sendiri bingung, kenapa Aidah bisa datang ke pernikahan kita. Padahal Mas nggak ngundang dia," kataku jujur."Apa kamu yang mengundangnya?" tanyaku, Indri langsung menoleh."Buat apa? Aku nggak ngundang dia kok, Mas.""Lalu siapa? Nggak mungkin Aidah bisa masuk ke acara nikahan waktu itu, secara peraturannya orang tanpa undangan tidak bisa masuk."Indri termenung, kami sama-sama terdiam sekarang, memikirkan siapa yang mengundang Aida
"Gimana, kalian nggak dipermalukan di acara syukuran si Aidah, 'kan?" tanya Ibu. Saat ini kami tengah makan bersama. Mbak Ida, Mbak Laksmi, Mbak Nuri, para suami dan anaknya juga ikut serta."Enggak kok, Bu," sahutku sambil menarik wadah berisi capcay."Tapi lucu, Bu. Katanya Pak Guru Arkan mau anak kembar dari Aidah. Emangnya bikin anak kembar semudah itu? Satu aja kadang susah," timpal Indri sambil terkekeh."Hahaha, anak kembar? Punya satu aja mantan istri si Alman itu kerepotan, sampai nggak bisa ikut rewang kalau lagi mau ngadain hajatan. Apa lagi kalau punya anak kembar, yang ada nanti Bu Heni ngedumel gara-gara mantunya pemalas." Sekarang Mbak Ida yang bersuara.Aku tak mau ikutan membahas Aidah, takut selera makan jadi hilang."Iya, ya. Aidah nggak pernah bantuin masak kalau kita lagi punya acara, selalu ndekem di kamar, alasannya nyusuin Rizki. Masa iya tiap detik nyusuin anak, nggak keselek tuh sama susu?" sahut Mbak Laksmi, dengan entengnya dia berkata sambil menuang soto y
"A-Alman?" Ibu tergagap, kulirik juga Faiz, ekspresi wajahnya berubah seketika."Aku nggak salah dengar, 'kan?" ucapku sambil menatap mereka bersamaan. Ibu dan Faiz malah saling pandang."D-dengar apa, Man? Kami lagi bicarain hutang, kemarin Ibu minjam uang sama Faiz buat bayar tagihan listrik.""Tagihan listrik? Tagihan listrik kemarin Alman yang bayar, Bu. Lagi pula, telinga Alman masih sehat." Ibu tak menjawab, beliau malah melirik Faiz lagi."Bu, jangan bilang Ibu sengaja menahan Alman pulang waktu itu, agar Aidah bertemu dan pulang diantar Faiz, agar aku salah paham. Begitu?""K-kamu ngomong apa sih, Man?""Bu, Alman tidak tuli," kataku sembari menahan kesal."Enggak, Man. Bukan seperti itu--""Sudah lah, Bu Nani. Jangan banyak alasan, toh sudah ketangkap basah sama Alman. Jujur saja apa susahnya?" ucap Faiz membuatku menoleh, sementara Ibu terlihat memelototi lelaki yang kubenci itu."Faiz!" Ibu membentaknya."Benar, Alman. Ibumu sengaja menahan kamu, biar Aidah bisa bertemu dan
"A-Alman?" Ibu tergagap, kulirik juga Faiz, ekspresi wajahnya berubah seketika."Aku nggak salah dengar, 'kan?" ucapku sambil menatap mereka bersamaan. Ibu dan Faiz malah saling pandang."D-dengar apa, Man? Kami lagi bicarain hutang, kemarin Ibu minjam uang sama Faiz buat bayar tagihan listrik.""Tagihan listrik? Tagihan listrik kemarin Alman yang bayar, Bu. Lagi pula, telinga Alman masih sehat." Ibu tak menjawab, beliau malah melirik Faiz lagi."Bu, jangan bilang Ibu sengaja menahan Alman pulang waktu itu, agar Aidah bertemu dan pulang diantar Faiz, agar aku salah paham. Begitu?""K-kamu ngomong apa sih, Man?""Bu, Alman tidak tuli," kataku sembari menahan kesal."Enggak, Man. Bukan seperti itu--""Sudah lah, Bu Nani. Jangan banyak alasan, toh sudah ketangkap basah sama Alman. Jujur saja apa susahnya?" ucap Faiz membuatku menoleh, sementara Ibu terlihat memelototi lelaki yang kubenci itu."Faiz!" Ibu membentaknya."Benar, Alman. Ibumu sengaja menahan kamu, biar Aidah bisa bertemu dan