Aku sangat terkejut melihat penampilan ibu yang sangat berbeda. Kenapa sekarang ibu berubah? "Ibu, kok jadi cantik gini? Uang Ibu dari mana?" ucapku, heran. "Mas, jangan gituin Ibu. Ririn yang bawa Ibu ke salon. Kasihan Ibu udah capek ngurusin Ririn selama sakit. Jangan di protes dong Mas?" bujuk Ririn, dengan wajah manyun. "Yah, Nenek jadi kikuk tuh Yah. Ayah gak seneng lihat Nenek cantik?" goda Deta, sambil melirik neneknya. "Ya Allah, banyak perubahan yang terjadi dengan keluargaku. Ibu terlihat lebih gemuk dan sedikit modis. Deta, udah semakin dewasa. Tak ku pungkiri, Ririn membawa perubahan besar dalam hidupku," batinku, sambil memandang jauh ke depan. Ibu tampak diam, mungkin masih malu menunjukkan penampilan barunya. Aku tersenyum sendiri, melihat tingkah ibu. Ibu terlihat canggung sekali, ini pasti ulah Ririn yang memaksa ibu ke salon. "Mas, apa udah ada kabar dari Mbak Julia?" tanya Ririn, sambil duduk di samping ibu yang baru selesai berganti pakaian. "Belum Rin, biar
Bagaimana biaya operasi ibu nanti? Aku pusing memikirkan biaya dari mana? Bukannya aku keberatan dengan apapun yang akan aku berikan untuk ibu. Tapi, untuk saat ini aku tak mempunyai tabungan yang banyak. Mau meminjam dari Ririn, ada rasa malu yang luar biasa. Seolah aku ingin memanfaatkan kesempatan bersamanya. Tapi, mau bagaimana lagi. Ku beranikan diri untuk menghubungi Ririn di Surabaya. Tapi, ku urungkan niatku. Kemudian aku minta izin untuk pergi sebentar ke rumah atasanku. Karena aku tau beliau sedang libur, beristirahat di rumah. Segera ku lajukan mobil Ririn ke rumah beliau. "Assalamualaikum, Pak?" ucapku dari luar, dengan sedikit berteriak agar yang punya rumah mendengar. Lama tak ada yang menyahut, barulah aku sadar bahwa di sisi pintu ada bel yang khusus di buat untuk memanggil Tuan rumah. Aku jadi malu sendiri, tapi tak apalah. Orang kecil tak perlu malu dengan kekurangannya, iya kan?Yang penting aku harus berusaha untuk kesehatan ibu, tanpa memikirkan egoku. Setelah
Kemudian ibu menangis, dan berkata. "Ibu, pengen ketemu Julia Di?"Bagai di sambar petir di siang bolong, permintaan ibu sangat menyayat hatiku. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu setahun lebih, ibu menunjukkan sikap yang baik. Tidak manja atau menuntut ini dan itu, dan memberikan semangat untukku. Aku merasa bersalah pada ibu, aku tau batin ibu terenyuh. Ibu sangat menyayangi kami anak-anaknya, terutama Julia. Tapi, beliau tidak membenarkan perbuatan Julia yang menyimpang. "Bu, bukannya aku melarang Ibu buat ketemu Julia. Tapi, untuk sementara, Ibu harus sembuh dulu. Riyadi pasti usahain biar bisa dapat kabar tentang Julia ya Bu?" usulku, sambil merangkul pundak ibu yang masih lemah. "Iya Bu, kalau Ibu masih begini aja, gimana Riyadi bisa fokus nyariin Julia?" sambung Mbak Neti, membujuk ibu. "Nak Riyadi, kamu gak usah menyalahkan diri sendiri. Ibu tau kalau Julia itu fatal kelakuannya. Tapi, di dalam hati Ibu kasihan ingat pikiran Julia yang mengambang. Ibu mau membimbingnya lagi
Di dalam perjalanan pulang, ponselku kembali berdering. Aku lihat Mbak Neti yang menghubungiku, ada apa di rumah? Jantungku semakin tidak karuan. "Assalamu'alaikum Mbak, ada apa?" tanyaku, tanpa basa basi. "Waalaikumsalam Di, kamu udah selesai jemput Ririn nya?" tanyanya balik, dengan nada cemas. "Sudah Mbak, ini lagi di jalan mau pulang. Ada apa Mbak?" tanyaku lagi, dengan penuh rasa penasaran dengan keadaan di rumah. "Ibu sakit lagi Di, sekarang Ibu pingsan. Kalau bisa cepat ya Di?" ungkapnya, sambil terisak. "Ya Allah, kenapa lagi Ibu? Sabar ya Mbak, aku pasti secepatnya sampai," sahutku, menenangkan Mbak Neti. Ada apa lagi Bu? Baru juga keluar dari rumah sakit, sudah drop lagi. Di saat aku sudah menemukan jejak Julia, ibu menjadi lemah lagi. "Ada apa dengan Ibu Mas?" tanya Ririn, panik. "Ibu drop lagi Rin, Mas gak tau harus apa lagi. Mas cemas," jawabku, sambil menambah kecepatan laju mobil. "Ya udah, kita juga harus hati-hati Mas. Kita langsung tangani Ibu dulu ke rumah
Segera aku mengantarkan ibu dan anakku, juga mbak Neti ke dalam mobilnya Ririn. Kemudian aku mengajak Ririn keluar dari mobilnya. Aku harus memberitahukannya pada Ririn agar tidak salah faham. Aku tidak mau hubunganku dengan Ririn kandas hanya karena salah faham. Aku memang harus jujur kan? Karena lelaki sejati itu harus jujur demi kelanjutan hubungannya dengan orang yang ia cintai. "Rin, aku melihat Julia di sana. Kalau kamu mau, ayo temenin Mas jumpai Julia. Biar dia tau keadaan Ibu sekarang," ucapku, setengah bersuara. Agar ibu tidak mendengarnya. "Apa Mas, Mbak Julia? Di mana? Aku gak usah ikut deh Mas, nanti Mbaknya makin gak mau ketemu Mas. Mending aku di mobil aja, sama Ibu nungguin Mas. Ayo Mas cepetan, ntar keburu pergi Mbaknya?" sahut Ririn, dengan nada sedikit memberi semangat. Kemudian aku beranjak dari parkiran, untuk menemui Julia. Semoga Julia masih ada di sana, agar aku bisa mengatakan kondisi ibu. Aku terkadang heran, kenapa Julia yang notabene adalah putri kandung
Ada seseorang di luar sana yang ingin di bukakan pintu. Apakah dia Julia?Segera aku mengayunkan langkah, dengan rasa penasaran. Tak biasanya ada tamu tak mengucapkan salam, entah mengapa hati ini mengatakan bahwa itu adalah Julia. Antara gembira dan gugup, itulah yang kurasakan saat ini. Bagaimana tidak, di sisi lain aku bahagia bisa melihatnya lagi dan bisa membuat ibu dan Deta bahagia. Tapi di sisi yang lainnya, aku sangat kecewa padanya. Dulu aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan membahagiakan orang yang aku cintai seumur hidupku. Ya, itulah ikrar di dada yang ingin memperjuangkan hidup bersama Julia. Kini, semua tinggal kenangan. Mungkin Julia memang tak mencintaiku lagi, karena keterbatasan materi. Pintu pun aku bukakan, dan ... Memang benar tamu di pagi hari ini adalah Julia. Tanpa sadar, tangan ini ingin merangkulnya. Tapi, itu tidak mungkin kulakukan. Mengingat hubungan kami yang sudah kandas. "Julia ... Ternyata kamu sudah datang?" ucapku, sambil membukakan pintu aga
Aku pun terdiam karena kaget dengan kehadiran Ririn, apakah Ririn akan marah dan membenciku? Saat pandangan kami bertemu, Ririn menundukkan kepalanya. Begitu juga dengan Julia, yang tampak mematung saat melihat Ririn ada di sana. Aku mencoba memberanikan diri memulai pembicaraan, karena sejatinya aku tidak melakukan apa-apa dengan Julia. Aku harus menunjukkan kalau aku adalah laki-laki yang bertanggungjawab. "Ririn ... Kamu udah datang sayang?" ucapku, sambil berjalan menemuinya. "Udah Mas, biasa aja loh Mas. Jangan gugup, Ririn gak kayak Mas pikirkan. Ririn tau kok, Mas orangnya gimana," sahutnya, dengan mengukir indah senyumnya. "Oh iya Mbak Julia, kenalin aku Ririn. Aku calon istri Mas Riyadi, jika Allah mengizinkan. Aku pengen Mbak merestui," ucapnya, sambil mengulurkan tangannya ke arah Julia. Lama tak bergeming, akhirnya Julia menyambut tangan Ririn dengan senyuman. "Makasih Rin, aku gak nyangka kamu sebaik ini. Aku juga sangat berterimakasih sama kamu, udah ikhlas ngurusin
Mas Fajar memang keterlaluan, bisa-bisanya dia menggantung harapanku tanpa memikirkan perasaanku. Ia sengaja menjanjikan hal yang membuatku terangkat ke awan, dan akhirnya ingin menghempaskan jika tidak mau menuruti keinginannya. Sebenarnya bukan aku tak mau menikah dan menjadi istri keduanya. Tapi aku masih ingin mempunyai rumah dan harta yang lain tanpa sepengetahuannya. Aku mau menyisihkannya untuk Deta, suatu saat nanti. Kemudian aku membalas pesan whatsapp dari mas Fajar, yang aku perkirakan hanya menggertak saja. ["Kalau itu yang Mas mau, aku bisa apa. Mungkin Mas tak sepenuhnya mencintai aku, untuk saat ini kita gak usah ketemu dulu Mas. Aku bingung, karena ada juga lelaki yang menginginkan aku,"] send. Kalimat yang kubuat asal-asalan, untuk serangan balik. Setelahnya, aku pulang dari kafe karena muak dengan sikap mas Fajar yang sengaja mempermainkan perasaanku. Setelah aku menaiki grabcar pesananku, kembali aku memeriksa pesan yang aku kirim tadi. Akhirnya udah centang dua