"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Naira hamil."
Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!" Bianca meradang mendengar pembelaan Rendra terhadap Naira.
"Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki, tanpa harus aku menikah lagi." Rendra berusaha menjelaskan.
Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahagia memiliki Rendra seutuhnya tanpa ada orang ketiga di dalam rumah tangga mereka.
"Kamu tenang dulu, jangan marah-marah. Aku yakinkan sama kamu, jika aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Setelah anak itu lahir, aku akan meninggalkan wanita itu," lanjut Rendra.
"Bagaimana jika anak itu perempuan, apakah kamu akan mempertahankannya atau meninggalkannya." Bianca memangku kedua tangannya di depan dada. Suasana apartemen itu masih memanas, perdebatan suami istri itu belum usai.
Rendra mencoba membujuk Bianca dengan memeluk tubuh Bianca dari belakang, mengecup rambut Bianca beberapa kali sambil berbisik. "Aku akan menghamilinya kembali sampai dia melahirkan anak laki-laki. Kamu tidak ingin bukan, jika aku hidup susah karena harta warisan itu diberikan kepada Ibu tiriku."
Bianca membalas pelukan Rendra dengan mengusap lembut tangan Rendra yang memeluk perutnya. Dengan kepala yang tertunduk melihat tangan mereka yang saling bersentuhan. Dalam hatinya, Bianca mengiyakan apa yang dikatakan oleh suaminya. Bianca sangat mencintai Rendra tapi dirinya juga mencintai harta Rendra. Untuk apa dirinya hidup bersama Rendra tanpa harta.
"Sudah, tenangkan dirimu. Mungkin mulai saat ini. Aku akan berusaha untuk adil. Niara tidak tahu, jika aku sudah menikah dan memiliki istri."
"Apa maksudmu, kenapa adil? Maksudnya bagaimana."
"Satu hari aku akan bersama dengan dirimu. Suatu hari aku akan bersama dengan Naira. Aku tidak mau jika, sampai terjadi sesuatu dengan Naira."
Jujur saja, hal itu sangat sulit diterima oleh Bianca. Istri mana yang rela berbagi. Mungkin hanya wanita bodoh saja, yang menerima hal ini dengan ikhlas.
"Aku tidak terima, harusnya kamu tidak perlu adil. Kamu itu hanya milikku, hanya aku yang menjadi istri sahmu. Kamu sama Naira menikah secara siri. Jadi aku minta sama kamu, 6 hari kamu di sini satu hari di rumah Naira," ujar Bianca.
"Bagaimana bisa seperti itu, yang ada nanti Naira curiga. Kenapa aku sering menghabiskan waktu di luar rumah daripada dengan dirinya yang saat ini sedang hamil."
"Aku tidak peduli dengan Naira. Biarkan saja dia tahu bahwa dia itu adalah seorang pelakor."
Rendra melepaskan pelukannya dari Bianca, menghembuskan nafasnya kasar lalu mengusap wajahnya. Naira bukanlah seorang pelakor, tapi mereka yang menyeret Naira dalam kehidupan rumah tangga mereka hanya demi sebuah harta.
"Apa maksudmu dengan membiarkan Naira tahu tentang hubungan kita."
"Kita beritahu saja keadaan yang sebenarnya."
"Aku tidak setuju dengan pendapat."
"Kenapa? Apakah kamu sudah memiliki perasaan pada wanita itu." Raut wajah Bianca berubah, menjadi masam.
"Aku sama sekali tidak memiliki perasaan pada wanita itu, di itu hanya anak kecil dan gadis desa. Yang tidak bisa melakukan apapun untuk membuatku senang."
"Lalu kenapa kamu tidak setuju jika wanita itu tahu bahwa dia adalah seorang pelakor."
"Saat ini, dia sedang hamil, aku tidak mau terjadi sesuatu dengan kandungannya. Kamu jangan salah paham dulu, aku mengatakan ini bukan berarti aku mengkhawatirkannya Yang aku pedulikan hanya bayi itu."
Bianca tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Akan tetapi dirinya tidak ingin memancing keributan yang lebih lagi dan membuat suaminya tidak nyaman saat bersama dengan dirinya akhirnya Bianca memutuskan untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Bianca pun berjalan dan kembali menghampiri Rendra dan memeluknya.
Di Paviliun di kediaman Rendra saat ini. Naira menutup telinganya kala ucapan dokter yang terus saja terngiang-ngiang di otaknya.
"Hamil.…" Naira tertawa pelan dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Isakan kecil keluar dari mulutnya. "Apakah aku bisa menjadi seorang Ibu yang baik. Apakah aku bisa melewati semua ini? Bagaimana dengan masa depanku nanti. Kenapa bayi ini harus ada di dalam perutku saat aku belum bisa menerima kehadirannya."
"Pernikahan paksa ini, membuat batinku tersiksa."
Bi Nimah yang melihat keadaan istri kedua dari tuannya itu ikut merasa apa yang dirasakan oleh Naira. Meskipun dirinya meyakinkan Naira kalau Rendra adalah pria yang baik dan penyayang. Namun kenyataan yang dialami oleh Naira tidak seperti apa yang dikatakannya.
"Ya Allah, tumbuhkanlah perasaan sayang di hati Tuan Rendra. Agar Nona Naira tidak merasa sedih." Do'a Bi Nimah untuk Naira.
Di dalam rumah besar kediaman Rendra saat ini. Ibu tiri Rendra, tidak siap mendengar kenyataan jika saat ini menantu tirinya sedang mengandung pewaris sebenarnya.
Selama dua hari ini, Rendra tidak pulang ke kediaman ayahnya untuk menjenguk Naira. Dia memutuskan untuk menginap di apartemen bersama dengan Bianca istri pertamanya.
Naira pun tidak peduli, Rendra pulang atau tidak. Dirinya sama sekali tidak merasa keberatan. Malah Naira merasa lega, karena terhindar dari perdebatan dengan suaminya itu.
Naira beberapa kali mengusap perutnya, kala dia menginginkan sesuatu. Mungkin orang-orang akan menyebutnya bahwa saat ini Naira tengah ngidam.
"Aku ingin makan rujak, tapi bagaimana bisa aku makan rujak. Jika aku sendiri tidak bisa keluar dari paviliun ini." Naira membuka tirai jendela kamarnya yang langsung berhadapan dengan kolam ikan.
"Kapan Bi Nimah kembali. Aku ingin minta izin untuk keluar."
Pada saat Naira tengah melamun, suara pintu pun terbuka. Naira yang mendengar itu langsung saja menoleh dan melihat suaminya ternyata pulang.
"Sedang apa?" tanya Rendra.
"Tidak ada," jawab Naira. Dirinya memutuskan untuk menutup kembali jendelanya. Dalam pikirannya ia bertanya. "Kapan mas Rendra membuka pintu. Bukankah aku tadi sejak tadi membuka tirai jendela?"
"Dengar ini, jangan pernah menungguku pulang."
Naira tertawa pelan dengan ucapan suaminya, siapa yang menunggu suaminya pulang?
"Siapa yang menunggumu pulang, aku tidak pernah mengharapkan kamu pulang."
Rendra mendengar ucapan Naira mengepalkan tangannya pertanda menahan amarah. Dirinya merasa tidak dihargai sebagai suami dengan jawaban Naira yang tidak pernah mengharapkan dirinya untuk pulang.
Rendra menatap Naira tajam. Lalu mencengkram pergelangan tangan Naira dengan erat.
Naira yang merasakan sakit di pergelangan tangannya pun melihat wajah suaminya dengan penuh tanya. "Kenapa, Mas. Marah?" tanya Naira. "Aku itu suami kamu, harusnya kamu tidak berkata seperti itu!" Rendra tidak suka dengan keberanian Naira. Naira tertawa. "Kenapa aku tidak boleh berkata seperti itu, bukankah tadi kamu bilang sendiri, Mas. Jika aku tidak boleh mengharapkan kamu pulang. Lalu kenapa sekarang jawabanku salah." "Aku adalah suamimu, harusnya kamu menghargaiku seperti istri yang lainnya. Kamu sangat berbeda dengan…." Rendra menggantung ucapannya. Hampir saja dia mengatakan Bianca sebagai istrinya di hadapan Naira. "Untuk apa aku menghargaimu, Mas. Jika kamu sendiri tidak mau menghargaiku sebagai istri. Lalu aku sangat berbeda dengan siapa? kekasihmu? Tentu saja kami berbeda." Naira berusaha melepaskan diri dari cengkraman suaminya. Rendra menghempaskan tangan Naira yang sudah memerah. "Sudahlah, aku tidak mau berbicara denganmu. Kamu itu wanita kampung dan sialan." Ti
Rendra tidak tahu harus bagaimana lagi cara menghadapi wanita tua yang ada di hadapannya. Haruskah dirinya membawa Naira pergi dari rumah ini seperti dirinya membawa Bianca pergi agar kesehatan mentalnya aman. "Berhenti ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Jika kau terus melakukan hal itu. Aku tidak akan segan-segan menyakitimu. Aku tidak peduli jika kau adalah istri dari ayahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun merasa sedikit takut. Saat ini dirinya tidak memiliki kekuasaan apapun termasuk harta akan tetapi Laras tidak akan berhenti sampai Rendra gagal mendapatkan seorang pewaris. "Aku tidak akan mengganggu wanita itu jika saja kamu tidak membawa wanita kampung itu." Rendra mengangkat tangannya, ia memberikan sebuah tanda kepada Laras untuk diam. "Diam atau akan aku pastikan. Jika mulai besok kau dan anakmu itu pergi dari rumahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun sama sekali tidak takut karena dengan istri kedua Rendra pergi meninggalkan paviliun dan bayi it
Rendra tidak menjawab pertanyaan Naira. Dirinya memilih turun dan memutuskan untuk meminta mangga muda tersebut. Dengan resiko menanggung malu. Sedangkan Naira yang melihat suaminya berusaha mendapatkan mangga yang diinginkannya pun seketika perasaannya menjadi sensitif. Ada rasa haru dalam dadanya padahal beberapa saat yang lalu dirinya tidak peduli dengan apa yang Rendra lakukan. Mungkin karena bawaan bayi yang ada di dalam perutnya. "Ada apa dengan perasaanku. Kenapa melihat mas Rendra yang berusaha mencari mangga muda untukku kenapa hatiku merasa senang? Jangan Naira. Jangan mudah terbawa perasaan." "Permisi!" "Permisi!" sejak lagi Rendra mencoba memanggil pemilik rumah yang terdapat buah mangga tersebut. "Iya, selamat siang, Pak. Ada yang bisa di bantu," suara seorang wanita berpakaian rumahan menyaut ucapan permisi Rendra. "Maaf apakah Ibu ini adalah pemilik rumah ini. Jika iya saya ingin membeli mangga muda punya Ibu boleh?" tanya Rendra bersikap baik. "Maaf, Pak. Ini bu
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Nayla hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!""Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki anak tanpa harus aku menikah lagi."Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahagia memiliki Rendra seutuhnya tanpa ada orang ketiga di dalam rumah tangga mereka."K
"Mas…." Naira mencoba memberanikan diri untuk berbicara dengan Rendra."Apa?" "Aku ingin kita bicara.""Aku sibuk.""Kalau Mas sibuk, kita bisa bicara di sini."Rendra melirik Naira sekilas. "Memangnya apa yang kamu bicarakan sampai mau bicara di sini.""Aku ingat membicarakan tentang rumah tangga kita.""Untuk apa di bicarakan, bukankah kita sudah membahasnya ketika malam pernikahan kita.""Tapi…""Kita pergi ke restoran terdekat. Kita akan bicara di sana."Naira tersenyum karena pada akhirnya Naira Rendra mau bicara dengan dirinya. Setelah mencari restoran terdekat sekalian makan siang dan ini adalah untuk pertama kalinya mereka makan bersama sebagai pasang suami istri."Apa yang kamu bicarakan?" Tanya Rendra ketika mereka sudah sampai di restoran. Sambil menunggu pesanan mereka sampai akhirnya Rendra memutuskan untuk bertanya apa yang ingin Naira bicarakan."Mas, aku tahu kamu tidak mencintaiku sebagai istri. Begitu juga dengan aku yang belum mencintaimu, aku tahu mas juga pernah
"Bi, buka pintunya!" seru Rendra. Dari luar. Bi Nimah yang mendengar itu pun berjalan tergopoh-gopoh membuka pintu untuk Rendra. "Bi, bagaimana dengan keadaan Naira?" tanya Rendra. "Non, Naira badannya panas terus saja memanggil Ibunya." Penjelasan Bi Nimah membuat Rendra menghembuskan nafasnya kasar. Lalu dia pun berjalan pelan menghampiri istri keduanya. Duduk di tepi ranjang, lalu memegang kening Naira yang ternyata panas. "Kita bawa ke rumah sakit aja, Bi. Tolong siapkan perlengkapannya. Takutnya nanti dirawat di rumah sakit." "Baik Tuan." Rendra langsung saja menggendong tubuh Naira dan di bawahnya keluar. Hal itu tidak luput dari perhatian dari Laras. "Ada apa dengan, istri kedua Rendra. Apakah dia sakit, kalau memang benar. Baguslah biar sekalian anak yang ada di dalam kandungannya mati," ucapnya tanpa perasaan. Rendra mendudukan Naira di belakang, tidak lupa Ia juga memakaikan seat belt untuk keamanan Naira. "Ibu…" "Naira tenanglah, kamu pasti baik-baik saja," ucap R
Seperti yang pernah di janjikan Rendra. Setelah pulang dari rumah sakit. Rendra akan memenuhi keinginan Naira yang ingin keluar dari pavilion, bebas tanpa larangan."Mas, Rendra nggak berangkat ke kantor?" Tanya Naira ketika mereka sampai di pavilion. Naira hanya dirawat di rumah sakit selama 2 hari dan selama itu. Rendra tidak pernah pulang ke apartemen Bianca."Hari ini aku akan menemani kamu, sesuai dengan permintaan kamu waktu di rumah sakit yang ingin keluar. Sekarang kamu sudah sehat, katakan kamu ingin ke mana?" tawar Rendra.Naira yang mendengar hal itu pun tersenyum semringah. "Terimakasih, Mas. Aku boleh nggak pergi ke taman jalan-jalan sebentar. Pagi-pagi kayak gini enak jalan-jalan di taman."Rendra mencoba menimbang-nimbang permintaan Naira, sebenarnya ada rasa takut dalam hati Rendra jika dirinya membawa Naira jalan-jalan keluar.Dirinya takut ada seseorang yang mengenali dirinya dan bertanya tentang siapa Naira. Bukan hal itu saja, Rendra juga takut jika ada orang yang
"Assalamualaikum, Ibu. Perkenalkan namaku Naira. Maaf baru sekarang menemui ibu." Naira yang mendengar pengakuan Laras pun tersenyum, lalu dengan sopan meraih tangan Laras untuk di salaminya. Akan tetapi respon Laras malah menarik tangannya. Enggan untuk bersentuhan dengan Naira. "Wanita murahan." Naira tidak tahu kenapa Laras mengatakan bahwa dirinya adalah wanita, padahal ini adalah kali pertama mereka. "Bu…" Belum sempat Naira bertanya kenapa Laras bisa mengetahui dirinya murahan, tapi Laras sudah mengangkat tangannya dan menatap Naira penuh ancaman. "Dengarkan ini, Jika kamu tidak ingin hidup kamu hancur. Lebih baik kamu pergi dari rumah ini sekarang juga, jangan pernah kembali ke sini. Pergi sejauh-jauhnya bersama anak kamu itu." tunjuk Laras ke arah perut Naira. Naira yang ditunjuk seperti itu pun secara refleks memegang perutnya. Jujur saja saat ini Naira merasa takut melihat Laras. Laras seperti wanita di film yang berperan mertua antagonis. "Tapi, Bu kenapa? Apakah kar