Share

Bab 5. Ternyata Naira menjadi yang kedua.

"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Naira hamil."

Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!" Bianca meradang mendengar pembelaan Rendra terhadap Naira.

"Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki, tanpa harus aku menikah lagi." Rendra berusaha menjelaskan.

Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahagia memiliki Rendra seutuhnya tanpa ada orang ketiga di dalam rumah tangga mereka.

"Kamu tenang dulu, jangan marah-marah. Aku yakinkan sama kamu, jika aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Setelah anak itu lahir, aku akan meninggalkan wanita itu," lanjut Rendra.

"Bagaimana jika anak itu perempuan, apakah kamu akan mempertahankannya atau meninggalkannya." Bianca memangku kedua tangannya di depan dada. Suasana apartemen itu masih memanas, perdebatan suami istri itu belum usai.

Rendra mencoba membujuk Bianca dengan memeluk tubuh Bianca dari belakang, mengecup rambut Bianca beberapa kali sambil berbisik. "Aku akan menghamilinya kembali sampai dia melahirkan anak laki-laki. Kamu tidak ingin bukan, jika aku hidup susah karena harta warisan itu diberikan kepada Ibu tiriku."

Bianca membalas pelukan Rendra dengan mengusap lembut tangan Rendra yang memeluk perutnya. Dengan kepala yang tertunduk melihat tangan mereka yang saling bersentuhan. Dalam hatinya, Bianca mengiyakan apa yang dikatakan oleh suaminya. Bianca sangat mencintai Rendra tapi dirinya juga mencintai harta Rendra. Untuk apa dirinya hidup bersama Rendra tanpa harta.

"Sudah, tenangkan dirimu. Mungkin mulai saat ini. Aku akan berusaha untuk adil. Niara tidak tahu, jika aku sudah menikah dan memiliki istri."

"Apa maksudmu, kenapa adil? Maksudnya bagaimana."

"Satu hari aku akan bersama dengan dirimu. Suatu hari aku akan bersama dengan Naira. Aku tidak mau jika, sampai terjadi sesuatu dengan Naira."

Jujur saja, hal itu sangat sulit diterima oleh Bianca. Istri mana yang rela berbagi. Mungkin hanya wanita bodoh saja, yang menerima hal ini dengan ikhlas.

"Aku tidak terima, harusnya kamu tidak perlu adil. Kamu itu hanya milikku, hanya aku yang menjadi istri sahmu. Kamu sama Naira  menikah secara siri. Jadi aku minta sama kamu, 6 hari kamu di sini satu hari di rumah Naira," ujar Bianca.

"Bagaimana bisa seperti itu, yang ada nanti Naira curiga. Kenapa aku sering menghabiskan waktu di luar rumah daripada dengan dirinya yang saat ini sedang hamil."

"Aku tidak peduli dengan Naira. Biarkan saja dia tahu bahwa dia itu adalah seorang pelakor."

Rendra melepaskan pelukannya dari Bianca, menghembuskan nafasnya kasar lalu mengusap wajahnya. Naira bukanlah seorang pelakor, tapi mereka yang menyeret Naira dalam kehidupan rumah tangga mereka hanya demi sebuah harta. 

"Apa maksudmu dengan membiarkan Naira tahu tentang hubungan kita."

"Kita beritahu saja keadaan yang sebenarnya."

"Aku tidak setuju dengan pendapat."

"Kenapa? Apakah kamu sudah memiliki perasaan pada wanita itu." Raut  wajah Bianca berubah, menjadi masam.

"Aku sama sekali tidak memiliki perasaan pada wanita itu, di itu hanya anak kecil dan gadis desa. Yang tidak bisa melakukan apapun untuk membuatku senang."

"Lalu kenapa kamu tidak setuju jika wanita itu tahu bahwa dia adalah seorang pelakor."

"Saat ini, dia sedang hamil, aku tidak mau terjadi sesuatu dengan kandungannya. Kamu jangan salah paham dulu, aku mengatakan ini bukan berarti aku mengkhawatirkannya  Yang aku pedulikan hanya bayi itu."

Bianca tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Akan tetapi dirinya tidak ingin memancing keributan yang lebih lagi dan membuat suaminya tidak nyaman saat bersama dengan dirinya akhirnya Bianca memutuskan untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. Bianca pun berjalan dan kembali menghampiri Rendra dan memeluknya.

Di Paviliun di kediaman Rendra saat ini. Naira menutup telinganya kala ucapan dokter yang terus saja terngiang-ngiang di otaknya.

"Hamil.…" Naira tertawa pelan dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

Isakan kecil keluar dari mulutnya. "Apakah aku bisa menjadi seorang Ibu yang baik. Apakah aku bisa melewati semua ini? Bagaimana dengan masa depanku nanti. Kenapa bayi ini harus ada di dalam perutku saat aku belum bisa menerima kehadirannya."

"Pernikahan paksa ini, membuat batinku tersiksa."

Bi Nimah yang melihat keadaan istri kedua dari tuannya itu ikut merasa apa yang dirasakan oleh Naira. Meskipun dirinya meyakinkan Naira kalau Rendra adalah pria yang baik dan penyayang. Namun kenyataan yang dialami oleh Naira tidak seperti apa yang dikatakannya.

"Ya Allah, tumbuhkanlah perasaan sayang di hati Tuan Rendra. Agar Nona Naira tidak merasa sedih." Do'a Bi Nimah untuk Naira.

Di dalam rumah besar kediaman Rendra saat ini. Ibu tiri Rendra, tidak siap mendengar kenyataan jika saat ini menantu tirinya sedang mengandung pewaris sebenarnya.

Selama dua hari ini, Rendra tidak pulang ke kediaman ayahnya untuk menjenguk Naira. Dia memutuskan untuk menginap di apartemen bersama dengan Bianca istri pertamanya. 

Naira pun tidak peduli, Rendra pulang atau tidak. Dirinya sama sekali tidak merasa keberatan. Malah Naira merasa lega, karena terhindar dari perdebatan dengan suaminya itu.

Naira beberapa kali mengusap perutnya, kala dia menginginkan sesuatu. Mungkin orang-orang akan menyebutnya bahwa saat ini Naira tengah ngidam.

"Aku ingin makan rujak, tapi bagaimana bisa aku makan rujak. Jika aku sendiri tidak bisa keluar dari paviliun ini." Naira membuka tirai jendela kamarnya yang langsung berhadapan dengan kolam ikan. 

"Kapan Bi Nimah kembali. Aku ingin minta izin untuk keluar."

Pada saat Naira tengah melamun, suara pintu pun terbuka. Naira yang mendengar itu langsung saja menoleh dan melihat suaminya ternyata pulang.

"Sedang apa?" tanya Rendra.

"Tidak ada," jawab Naira. Dirinya memutuskan untuk menutup kembali jendelanya. Dalam pikirannya ia bertanya. "Kapan mas Rendra membuka pintu. Bukankah aku tadi sejak tadi membuka tirai jendela?"

"Dengar ini, jangan pernah menungguku pulang."

Naira tertawa pelan dengan ucapan suaminya, siapa yang menunggu suaminya pulang?

"Siapa yang menunggumu pulang, aku tidak pernah mengharapkan kamu pulang."

Rendra mendengar ucapan Naira mengepalkan tangannya pertanda menahan amarah. Dirinya merasa tidak dihargai sebagai suami dengan jawaban Naira yang tidak pernah mengharapkan dirinya untuk pulang.

Rendra menatap Naira tajam. Lalu mencengkram pergelangan tangan Naira dengan erat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status