"Silakan, Mbak, ruangannya di sana!" Polisi yang mengantar Ratu menunjuk arah dimana mereka bisa bertemu dengan Alif. "Iy-iyaa," sahut Ratu gelagapan. "Sial, kenapa aku malah gugup begini?" bathin Ratu. Ia menyadari ucapannya pada Rein sebelum ia pergi tadi. Ia mengatakan lebih baik pergi menemui ayah kandungnya yang mungkin sedang mengharapkan kedatangannya. "Bagaimana ini?" Ratu semakin gugup. Ia memandang Sumi yang terus melangkah dengan semangat di depannya. "Yang masuk hanya satu orang saja! Bergantian!" tegas seorang polisi yang berjaga di sebuah ruangan tertutup. Sumi menoleh ke belakang seakan meminta izin pada Ratu. "Sana kamu masuk!" ketus Ratu sambil mengangkat dagunya. Dengan gerak cepat Sumi masuk ke sebuah ruangan. Ia melihat Alif duduk dibalik kaca yang menghalangi mereka berdua. Pada kaca itu terdapat beberapa lubang agar suara mereka terdengar saat saling bicara. "Bang ..., Bang Gondrong baik-baik aja, kan?" Sumi langsung duduk berhadapan dengan Alif yang d
"Hallo Pak Rein!" "Lily, segera kirim email pada saya mengenai hasil kontrak dengan klien tadi!" Suara Rein terdengar begitu mendominan dari seberang sana. "Maaf, Pak Rein. Tapi ..." Belum selesai Lily bicara, panggilan telepon telah ditutup oleh Rein secara sepihak. Lily hanya menghela napas panjang. "Bagaimana ini Ratu? Pak Rein pasti marah." Ratu hanya mengangkat kedua bahunya. "Marah sama kamu, kan? Bukan sama aku. Sudah bagus aku bantuin kamu tadi." Ratu pun bergegas melangkah menuju kubikelnya yang ada di lantai bawah. "Ratu tunggu! Kamu harus bertanggung jawab pada Pak Rein!" Lily berteriak , namun Ratu tak menghiraukan dan terus melangkah pergi. "Bagaimana ini? Bagaimana kalau perhitungan aku tadi memang salah dan bikin rugi perusahaan? Daddy pasti marah besar sama aku." Ratu bicara sendiri sambil berjalan. Ia merasakan jantungnya berdebar sangat cepat. Tidak hanya takut dimarahi oleh sang Daddy. Tapi ia juga akan merasa malu karena telah membuat rugi perusahaan. "Sem
"Daddy ...! Daddy marah sama aku?" Suara Ratu bergetar karena ketakutan. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat Rein semarah itu. Tatapan pria yang dulu sangat menyayanginya itu sangat nyalang hingga menusuk ke relung hatinya yang paling dalam. "Setelah menipuku, kamu masih berani pulang ke rumahku? Kamu sengaja mau menjatuhkanku?" Suara Rein menggelegar hingga Maira dan Analea yang berada di dalam berlari keluar. "Nggaaak, Daad. Aku nggak ada maksud menjatuhkan Daddy. Justru aku ingin membantu pekerjaan Daddy." Ratu ingin meyakinkan Rein, namun ia tau itu akan sia-sia. "Diam kamu! Aku bilang serahkan proyek itu pada asistenku. Tapi kamu melakukannya sendiri. Dasar bodoh ...!" Ratu terhenyak mendengar bicara Rein yang sangat berbeda. Rein bicara dengannya menggunakan kata aku. Rein juga mengatakan dirinya bodoh." "Daddy ...." Air mata Ratu pun berjatuhan tanpa henti. Baru kali ini Rein semarah itu padanya. Sampai-sampai ia tak lagi sanggup berkata-kata. Hanya isak tangis yang t
"Apa? Malam ini?" Security itu mengangguk. "Yang benar aja dong, Pak. Mana bisa saya pergi mendadak begini? Terus nanti saya tinggal dimana?" Ratu emosi bercampur panik. Ia benar-benar tidak menyangka akan diusir oleh Rein. Wanita itu lalu kembali ke ruang tamu untuk menemui Maira dan Analea. "Ma, Daddy cuma becanda, kan? Daddy nggak benar-benar usir aku, kan? Iya, kan, Ma?" Ratu menatap Maira dengan pandangan memohon sambil mengguncang-guncang tubuh Maira. "Sayangnya Daddy nggak bercanda, Ratu. Kamu lihat tadi, kan?" Maira yang masih geram dengan Ratu menjawab dengan ekspresi datar. Ia tidak peduli dengan tatapan penuh harap dari Ratu. "Ana, sekarang kamu menang. Kamu pasti senang dan tertawa melihat Daddy mengusirku. Iya, kan?" Suara Ratu meninggi ketika bicara dengan Analea. Entah kenapa, ia seakan sedang menyalahkan Analea dalam hal ini. "Hei, yang menyebabkan kamu diusir sama Daddy itu adalah ulah kamu sendiri. Bukan aku," sanggah Analea yang⁷⁷ììi tidak terima mendengar kat
"Beginilah, Non, tempatnya. Ayo, masuk, Non!"Sumi masuk dan langsung membuka tirai pembatas yang membagi dua ruangan itu. Tampak kasur busa lipat yang sudah sangat tipis berada di sudut ruangan dengan alas kasur lusuh dan warna telah memudar. Ratu bergidik sambil mendesis saat mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan yang hanya berukuran sepertiga dari kamarnya. "K-kamu tinggal di tempat seperti ini?" tanya Ratu dengan netranya masih tertuju pada lemari plastik yang sudah tidak ada tutupnya. "Iya, Non. Saya cuma sanggup bayar kontrakan seperti ini." "Masuk sini, Non. Duduk dulu. Saya ke depan sebentar belikan Non minum." Setelah meletakkan tasnya di lantai, Sumi kembali keluar. Perlahan Ratu masuk. Sesaat ia menahan napas setiap tercium aroma tak sedap dari ruangan yang cukup lama ditinggalkan penghuninya itu. "Astagaaa! Ini nggak mungkin. Aku nggak mungkin sanggup tinggal di tempat seperti ini. Aku mau cari hotel aja. Ya, pasti ada hotel di sekitar sini." Ratu tidak ja
"K-kamuuu ..." Analea nyaris terpekik karena terkejut. "Analea ...., M-maaf. Aku tidak ada maksud jahat." Pria itu semakin maju melangkah untuk mendekat pada Analea. "Jangan dekat-dekat! Mau apa kamu ke sini, Raihan? Pergi kamu sekarang juga!" Analea mengangkat kedua tangannya untuk mencegah agar pria yang ternyata Raihan itu tidak mendekat padanya. "Please, Ana. Aku hanya ingin bicara!" Wajah Raihan memelas dengan tatapan yang begitu dalam pada Analea. Analea panik. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ia berharap Tante Sondang sang MUA segera kembali dari toilet. Juga dua asisten MUA lainnya yang sedang mengambil beberapa barang di mobil, agar segera kembali ke ruangan itu. Tapi semua terasa sangat lama oleh Analea. Apalagi saat ini ada seorang pria asing bersamanya di ruangan itu. Di saat ia sedang menanti detik-detik pernikahannya dengan Fabian. "Tenanglah Ana. Aku hanya ingin bicara sesuatu padamu." Raihan tak lagi melangkah. Pria ya
Analea tak dapat membendung air mata bahagianya. Meski ia menangis, senyum kelegaan terpancar di wajahnya. Setelah menghadapi berbagai rintangan, akhirnya ia sah menjadi istri Fabian. Seorang pria yang begitu baik dan telah beberapa kali menjadi dewa penolongnya. "Ayo, Sayang! Fabian pasti sudah tidak sabar menunggumu!" Maira menggandeng tangan putrinya. "Ehmm ... Ana, kamu mengingatkan Daddy ketika menikahi mamamu ini. Mamamu sangat cantiik. Persis seperti kamu saat ini." Maira tersipu mendengar pujian dari Rein. Analea dan Kaisar saling melirik dan tersenyum. Mereka bahagia melihat kedua orang tua mereka tetap mesra di usia yang sudah tak muda lagi. "Ayo, kita segera ke lokasi acara!" Rein meraih bahu Kaisar dan melangkah mengikuti Analea dan Maira yang ada di depan mereka. Netra Fabian terus tertuju pada Analea yang baru saja muncul dan melangkah pelan menuju kursi di sampingnya. Pak penghulu memberikan beberapa nasehat dan arahan pada kedua mempelai. Salah satu petugas KUA me
"Mereka pasti sedang bersenang-senang di sana ...," gumam Ratu sambil berdecak kesal. "Sabar ya, Non. Sebentar lagi Non juga akan menikah, bukan?" Sumi yang sedang merapikan rumah mencoba menghibur Ratu. "Astaga! Kenapa aku hampir lupa. Seharusnya Raihan mengajakku ke acara Analea. Tapi kenapa dia sama sekali tidak menghubungiku?" Ratu lantas berdiri dan mencari ponselnya. "Non segera saja minta dilamar sama Tuan Raihan. Non tidak akan hidup susah jika menikah dengan Tuan Raihan." Sumi melihat Ratu sedang sibuk menghubungi seseorang. "Brengsek! Kenapa panggilanku tidak diangkat? Bisa-bisanya dia lupa dan dan tidak mengajakku di acara pernikahan Analea! Setidaknya Raihan bisa mengembalikan aku pada kehidupanku semula. Keluarga sombong itu pasti akan menyesal karena telah mengusirku," bathin Ratu sambil berdecak kesal. "Bagaimana kalau besok Non temui saja Tuan Raihan? Katakan padanya kalau Non ingin pernikahannya segera dilaksanakan!" Ratu menoleh pada Sumi. Pendapat wanita paruh