Jam sudah menunjukan pukul tiga sore. Aku memutuskan untuk pulang, karena sebentar lagi Mas Adrian akan pulang. Selama di rumah Tante Ranti, beliau lebih banyak diam. Raut kesedihan kentara sekali di wajah cantiknya walau sudah tak lagi muda. Setiap kutanya ada apa? Beliau selalu menjawab tak ada apa-apa.
Belum selesai masalahku mengenai Mas Adrian, kini bertambah lagi satu persoalan tentang Tante Ranti yang membuatku bingung. Hingga benda pipih yang yang kugenggam berdering mengagetkanku.
Ibu mertua memanggil.
"Hallo Assalamualaikum Nisa, ini Ibu." Terdengar suara Ibu dari seberang sana, suara lembut yang selalu membuatku nyaman.
Hubunganku dengan Ibu Mertua dan Adik iparku terjalin dengan baik. Karena memang pernikahanku dengan Mas Adrian terjadi karena Ibu yang memintaku pada Tante Ranti untuk menjadi menantunya.
Aku sendiri yatim piatu, dan aku di asuh oleh Tante Ranti adik dari Ibuku. Sebagai wujud baktiku pada Tante Ranti aku menerima perjodohan dengan Mas Adrian.
Aku merasa bersyukur memiliki ibu mertua dan adik ipar yang baik. Ibu menganggapku seperti anaknya sendiri. Dania juga adik yang baik. jadi jika ada cerita-cerita tentang mertua julid dan ipar jahat itu semua tak aku alami.
"Iya Bu! Wa'alaikumusalam. Ibu apa kabar?
"Alhamdulillah kabar Ibu baik. Kamu apa kabar Sayang?"
"Alhamdulillah Nisa juga sehat Bu."
"Alhamdulillah! Adrian ada?"
"Mas Adrian lagi lembur Bu! Belum pulang."
"Oh gitu, Alhamdulillah akhir-akhir ini sering lembur ya Adrian?"
"Iya Bu, Alhamdulillah," jawabku.
Aku tidak bohong, karena setiap hari Mas Adrian pamitnya untuk lembur. Walaupun kenyataannya, Riko bilang tak ada lembur sejak enam bulan yang lalu. Biarlah nanti aku cari tahu yang sebenarnya.
"Alhamdulillah kalau gitu. Ehm, Nis! Apa sudah ada tanda-tanda calon cucu ibu akan hadir?" tanya Ibu.
Jujur aku sedih jika di tanya soal ini. Karena sampai saat ini aku belum juga hamil, walau hasil pemeriksaan dokter, aku dan Mas Adrian sama-sama sehat.
"Belum Bu! Maafkan Nisa ya Bu, belum bisa kasih cucu untuk ibu," jawabku sendu.
"Oh, tidak apa-apa Nis! Ibu cuma tanya, karena semua itu kan kehendak Allah. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak mantu ibu."
"Iya Bu, makasih ibu selalu ngertiin."
"Ehm, tadinya ibu pikir Nisa lagi hamil, karena sudah tiga bulan ini Adrian hanya mengirimi Ibu uang setengah dari biasanya. Ibu pikir Nisa hamil, dan butuh banyak biaya untuk cek ke dokter."
Apa yang Ibu katakan membuatku tercengang. Apa lagi ini? Mas Adrian hanya mengirimi Ibu setengah dari biasanya. Biasanya Mas Adrian mengirimi Ibu satu juta rupiah jika setengahnya, itu artinya Mas Adrian hanya mentransfer lima ratus ribu rupiah untuk Ibu.
Lalu apa maksudnya beberapa bulan ini Mas Adrian bilang sebagian gaji lemburnya juga sudah di kirim untuk Ibu.
Mas Adrian berbohong.
"Ehm mungkin sebagian di tabung sama Mas Adrian Bu, untuk persiapan kalau nanti Nisa hamil, Ibu doain aja ya Bu. Nanti Nisa sampaikan lagi sama Mas Adrian untuk tidak mengurangi jatah untuk Ibu," Aku menjawab sekenanya.
"Makasih ya Nis. Sebenarnya Ibu juga nggak apa-apa di kasih segitu, yang penting Adrian selalu bisa penuhi kebutuhan kamu. Tadi itu Ibu cuma mengira kalau kamu sudah mulai isi, maafkan Ibu ya Nis!" Terdengar kekehan kecil suara Ibu di seberang sana.
"Nggak apa-apa Bu. Anisa sendiri malah nggak tahu kalau Mas Adrian ngirimin Ibu cuma segitu, Anisa taunya setiap habis gajian Mas Adrian sendiri yang langsung kirim untuk Ibu," ucapku jujur.
"Ibu memang nggak salah pilih kamu jadi mantu Ibu Nis! Kamu baik, nggak banyak nuntut ini itu, semoga rumah tangga kalian langgeng terus ya, Sayang!"
"Aamiin. Makasih ya Bu!" Doa Ibu tentu aku Amini.
Setelah ngobrol cukup lama dengan Ibu, panggilan telepon berakhir.
Meskipun pernikahanku dengan Mas Adrian terjadi karena perjodohan, tapi selama menjalani biduk rumah tangga tiga tahun ini, benih cinta telah tumbuh di hati kami. Tiga tahun pernikahan kami, aku merasa begitu bahagia, sikap Mas Adrian yang begitu hangat, lembut, dan selalu menunjukkan rasa sayangnya padaku.
Aku merasa jadi wanita paling beruntung mendapatkan Mas Adrian, laki-laki tampan, dan keluarganya pun sangat baik padaku.
Hanya saja tiga bulan terakhir ini sikapnya mulai berubah. Dan sekarang kebohongan demi kebohongan mulai terkuak. Entah apa yang sebenarnya Mas Adrian lakukan di belakangku, hingga berani membohongiku.
"Assalamualaikum!" Suara salam Mas Adrian mengagetkanku yang tengah duduk di sofa ruang tamu.
"Wa'alaikumusalam Mas, baru pulang?"
"Ya seperti yang kamu liat, Mas baru pulang." Mas Adrian duduk tak jauh dariku seraya melepas sepatunya.
Bergegas aku bangkit dan membuatkan secangkir teh untuknya, aku sangat berharap saat rileks minum teh, Mas Adrian mau bicara yang sebenarnya, mengapa berbohong padaku.
"Ini tehnya Mas!" Mas Adrian masih sibuk dengan ponselnya saat aku meletakkan secangkir teh hangat di depannya. Uap panas disertai aroma melati menguar di udara.
"Hem." Mas Adrian meraih cangkir teh lalu meniupnya pelan, namun matanya masih fokus pada layar ponselnya.
"Mas aku mau bicara sama kamu, Mas," ucapku setelah mendaratkan bobotku disampingnya.
"Bicara apa, ngomong aja Nis!"
Baru kusadari kini Mas Adrian sudah jarang sekali memanggilku 'Sayang' lebih sering menyebut namaku.
"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan Mas?" tanyaku masih mencoba untuk tenang.
"Sembunyikan? Sembunyikan apa sih maksud kamu?" Mas Adrian melirik sekilas kearahku, seraya meletakkan kembali cangkir tehnya. Kemudian kedua netranya kembali asyik dengan ponselnya.
"Aku serius Mas! Kemana kamu selama ini?" tegasku.
Mas Adrian tertawa.
"Kemana apa maksudmu Nis? Ya aku selama ini di sini lah sama kamu! Aku pergi ya untuk kerja! Pertanyaan kamu itu aneh!"
Aku menatap lekat kearahnya. Bibirnya bicara demikian tapi tidak dengan tatapan matanya itu berbeda, aku yakin jika Dia sedang berbohong.
"Jangan bohong kamu Mas! Siang tadi aku ketemu Riko dan Dia bilang nggak ada lembur selama setengah tahun ini. Lalu selama ini kamu kemana!" seruku.
Aku luapkan rasa kesal, rasa penasaran yang sejak tadi memenuhi isi pikiranku.
"Terus kamu percaya? Nisa, aku ini suami kamu! Sudah seharusnya kamu lebih percaya sama aku suamimu, daripada orang lain!" sahutnya tak kalah sengit.
"Mas! Kamu tahu, aku paling nggak suka dibohongi! Apalagi Ibu tadi telpon katanya sudah tiga bulan ini kamu ngirimin Ibu setengah dari biasanya! Padahal kamu selalu bilang sama aku gaji kamu sebagian sudah untuk Ibu! Kamu kemanakan sebagian gaji kamu Mas?! Apalagi kalau kamu setiap hari lembur!" teriakku diiringi deru napas memburu.
Geram rasanya. Aku merasa dibohongi, terlebih dibohongi oleh laki-laki yang begitu kucinta.
Mas Adrian terperangah, bibirnya terbuka untuk beberapa saat. Netranya yang sejak tadi fokus pada layar ponsel kini sepenuhnya menatap ke arahku.
Pias. Sejenak Mas Adrian terdiam membisu melihatku uring-uringan sore ini.
Pias. Sejenak Mas Adrian terdiam membisu melihatku uring-uringan sore ini."Oh untuk soal itu, Mas ada urusan!" ringan saja Mas Adrian menimpali, kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kamar."Mas! Aku belum selesai ngomong!" sergahku.Mas Adrian menoleh."Nisa, sudahlah Mas capek! Itu semua urusan Mas! Yang penting jatah untuk kamu sudah Mas penuhi! Kamu harusnya bersyukur punya suami tanggung jawab sepertiku." Usai mengatakan itu Mas Adrian melanjutkan langkahnya dan masuk ke kamar.Brak! Suara dentuman pintu yang di tutup dengan keras.Kenapa Dia yang marah! Harusnya aku yang sedang marah di sini, kenapa jadi kamu yang marah Mas! Kamu memang memenuhi kebutuhan kita Mas! Tapi itu sangat pas-pasan. Bukannya aku kurang bersyukur, aku hanya ingin tahu kenapa sampai kamu berbohong. Kemana suamiku dulu yang begitu terbuka dengan semuanya.Kalau semua pengeluaran jelas larinya kemana, mungkin aku nggak akan marah sampai seperti ini Mas!Jika biasanya sepulang kerja aku sudah
Kurasakan darahku seperti mendidih hingga ke ubun-ubun. Netra ini menatap nanar pemandangan yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam benakku.Dress selutut berwarna biru muda, membalut tubuh rampingnya. Rambutnya di cepol memperlihatkan leher jenjangnya. Senyum mengembang di bibir mereka berdua. Bahkan Mas Adrian mencium kening wanita itu, dan mengusap pipinya.Hati ini bagai di tusuk belati tajam. Sakit tak terkira. Inikah alasan kamu lembur setiap hari Mas?Astaghfirullah! Netra ini memanas, berusaha keras agar bulir bening yang menyeruak hendak keluar dari pelupuk mata ini tak sampai tumpah di sini.Ya! Suamiku selingkuh. Yang lebih mengejutkan lagi wanita itu adalah seorang yang sangat dekat denganku. Aku ternganga. Mungkin rona wajahku kini sudah merah padam menahan emosi yang siap meledak.Aku tak bisa lebih lama lagi berdiam di dalam mobil."Tunggu di sini sebentar ya Pak! Saya ada urusan sebentar dengan dua orang itu!" ucapku dengan suara bergetar dan tetap memandang ke arah
Aku menatap lekat ke arah Intan yang tampak sedang berpikir."Tunggu! Maksud kamu Vivi Anggraini kan?" Aku mengangguk. Karena itu memang nama lengkap Vivi."Bukankah Vivi itu pacarnya Rendi.""Rendi?""Iya. Rendi teman kita waktu SMA dulu, inget nggak? Rendi yang dulu pernah suka sama kamu tapi kamu tolak itu." Aku terdiam. Mencoba memutar ingatanku beberapa tahun lalu saat aku masih sekolah. Aku ingat sekarang, ya! Rendi yang dulu pernah mengutarakan cinta padaku, bahkan ia mengatakan itu di depan kelas, tentu membuatku malu sekaligus terharu atas aksinya.Namun aku menolak halus perasaannya. Meski sejujurnya waktu itu aku pun menyukainya. Tapi aku sadar diri, aku hanya seorang anak yatim-piatu, hidup menumpang di rumah Tante Ranti. Tante Ranti masih mau menyekolahkan aku sampai SMA saja aku sudah sangat bersyukur. Jadi aku tak ingin banyak tingkah dengan menjalin hubungan atau berpacaran semasa sekolah.Fokusku hanya untuk belajar. Aku tak ingin tanteku kecewa.Tanpa sadar aku ters
Tok! Tok! Tok!"Nisa! Apa Kau sudah bangun?" Suara Intan mengagetkanku. Kulihat jam yang tergantung di dinding ternyata sudah hampir jam tujuh pagi."Iya Tan!" sahutku kemudian membuka pintu kamar.Ternyata Intan sudah rapi dengan pakaian kerjanya."Kamu sudah mau berangkat?""Sebentar lagi. Ayo, sarapan dulu," ajaknya.Kami berjalan ke ruang makan. "Nis, selama aku kerja, kamu di rumah ini bersama Bik Mirna nggak apa-apa kan!" Intan berkata sambil menyuap nasi goreng ke mulutnya."Ehm, hari ini aku pulang aja ke rumah, Tan." "Apa? Kamu yakin?"Sejenak aku terdiam. Karena sebenarnya di dalam hati ini juga masih ragu, apakah aku sanggup bertemu dengan dia hari ini. Namun akal sehatku masih bekerja dengan baik, ini kenyataan, mau tak mau, siap tidak siap, aku harus menghadapi ini."Insya Allah aku yakin, Tan!" jawabku kemudian. Aku ingin buat perhitungan dengan Mas Adrian. Meski aku sendiri tak yakin dengan langkah yang akan kuambil ini."Nisa! Kalau kamu mau di sini dulu beberapa har
"Kamu yakin, apapun yang kumau akan kamu lakukan Mas?" tanyaku dan Mas Adrian mengangguk cepat. Bersamaan dengan senyum mengembang di bibirnya, namun ada gurat gelisah juga tergambar diwajahnya.Aku paham Mas Adrian sampai memohon untuk aku tetap bertahan pasti karena Ibu, ia tahu sedekat apa aku dengan ibunya. Aku tahu perpisahanku dengannya pasti akan membuat Ibu syok. Mas Adrian pasti khawatir akan kesehatan ibunya. Ibu punya riwayat jantung dan bisa kambuh sewaktu-waktu jika ada hal yang membuatnya syok."Aku mau kau meninggalkan Vivi," ucapku.Mas Adrian melebarkan pupil matanya. Bibirnya terbuka untuk beberapa detik.Aku menatap lekat kearahnya. Bisa kusimpulkan Ia teramat berat memenuhi permintaanku, hatiku seperti teriris. Nyeri melihat Mas Adrian nyatanya begitu berat melepas pelakor itu. Meski ia belum mengatakannya."Ehm, Nis! Begini, maafkan Mas. Nanti Mas akan bicara dengan Vivi," jawabnya gugup.Aku menggeleng tak percaya."Kenapa? Berat melepaskan Vivi?" Aku tersenyum k
Yes. Akhirnya berhasil terbuka. Dengan langkah cepat aku masuk ke kamar mandi membawa ponsel Mas Adrian.Jemariku langsung membuka aplikasi berwarna hijau bergambar gagang telepon. Chat paling atas terulis nama Vie dengan emoticon bentuk hati disampingnya. Sekali lagi aku menghirup napas dalam-dalam. Menyiapkan hati sebelum membuka apa saja isi chat mereka.Ada banyak sekali chat mereka. [Makasih ya Mas udah beliin yang aku mau.] Sebuah isi chat diiringi foto Vivi tegah memperlihatkan leher jenjangnya mengenakan kalung. Bagus banget. Ucapku dalam hati di iringi rasa nyeri di dada ini. Aku bahkan belum pernah dibelikan kalung sebagus itu oleh Mas Adrian. Satu-satunya kalung yang ia berikan adalah saat pernikahan kami, itupun sudah kujual untuk membayar sewa rumah ini. Waktu itu Mas Adrian lagi nganggur.[Sama-sama Sayang! Untuk kamu memang selalu bisa memuaskanku.] Balasan chat dari Mas Adrian seketika membuatku bergidik.[Aku pasti akan selalu menyenangkan hatimu Mas.][Untuk di at
"Mama selalu saja membela dia! Aku yang anak Mama bukan dia!" teriak Vivi.Dia? Dia siapa yang dia maksud. Aku menunda untuk masuk ke dalam rumah, tampak mereka tengah bersitegang di ruang tengah tapi suaranya jelas terdengar hingga ke teras rumah."Vi! Kamu ini memang sudah keterlaluan! Nisa itu Mbakmu! Mama bukan membela Dia! Tapi kamu memang salah!" seru Tante Ranti.Itu artinya Tante Ranti sudah tahu tentang hubungan mereka lalu mengapa Tante Ranti mengijinkan mereka Vivi menikah dengan Mas Adrian, sedangkan jelas Mas Adrian itu masih suamiku. "Sudahlah Ma! Ini sudah terjadi, dan memang Mas Adrian lebih milih aku kok daripada Mbak Nisa. Apalagi sekarang udah ada calon anaknya di dalam sini."Degh! Anak? Itu artinya Vivi sedang hamil anaknya Mas Adrian? Astaghfirullah!Sakit sekali rasanya, di saat pernikahan kami sudah berjalan hingga tiga tahun lamanya, Allah belum menitipkan anak di rahimku, tapi dengan Vivi Allah langsung memberinya keturunan. Aku merasa ini tidak adil Ya T
"Apa ini maksudnya Tan? Selimut siapa ini?" tanyaku."Itu selimut milikmu saat kau masih bayi."Sebuah selimut bayi bahanya bagus tebal, halus, lembut, berwarna pink, ada gambar beruang kecil di ujungnya, serta di balik selimutnya pun ada bordiran nama bertuliskan 'Anisa Andara Putri Hadiwijaya'Hadiwijaya adalah nama Bapakku.Kubuka kotak persegi panjang itu, mata ini membeliak ketika tahu isinya. Sebuah kalung silver dengan liontin berbentuk hati. Di tengah ada sebuah batu safir kecil kebiruan, yang diapit oleh tiga buah permata. Cantik sekali. Berkilau, melihatnya saja aku bisa menebak jika ini bukan barang murah."Ta–Tante, apa maksudnya ini Tan?" Aku tergagap, ini bagus sekali. Baru kali ini aku melihat kalung seindah ini."Itu milikmu Sayang, selama ini Tante menyimpannya, sekarang Tante pikir, sudah saatnya kamu sendiri yang menyimpannya. Dulu sewaktu ibumu sakit, dia menitipkan ini untuk diberikan padamu saat Kau dewasa. Dan sekarang saatnya.""Tan, ini bagus sekali." Aku mas