"Mas! Kamu masih marah ya? Maaf ya!" Aku berbaring di samping Mas Adrian yang terlihat sibuk bermain ponsel.
Sejenak netranya melirik tajam ke arahku, senyum yang sejak tadi tersungging saat menghadap layar ponsel pun perlahan memudar, tergantikan oleh ekspresi kesal yang ia tunjukkan padaku.
Soal bekas cupang di lehernya itu, aku akan cari tau sendiri nanti, kalaupun bertanya dengan Mas Adrian pasti yang ada hanya bertengkar dan barang tentu dia akan berkelit.
"Mas nggak suka aja kamu terlalu banyak tanya hal sepele seperti ini," ucapnya ketus.
"Iya, aku percaya sama Mas. Maaf ya!" Aku berusaha bersikap biasa saja. Padahal sesungguhnya aku curiga.
"Hem."
"Oh ya Mas, siang tadi Dania telpon katanya kamu belum transfer uang untuk ibu? Benarkah kamu belum kirimkan jatah untuk Ibu, Mas? Bukankah akhir bulan kemarin waktu kamu ngasih aku uang bulanan kamu bilang–" tanyaku.
"Oh, iya anu Mas lupa, nanti Mas transfer secepatnya," jawab Mas Adrian sedikit gugup.
"Tumben kamu sampai lupa. Biasanya begitu gajian kamu langsung transfer sebagian untuk Ibu."
"Namanya juga lupa Nis!"
"Oke, sebaiknya segera kamu transfer Mas, karena Dania butuh banyak biaya bulan ini untuk bayar praktek katanya," tegasku.
"Hem."
Tengah malam aku terbangun karena kerongkongan terasa kering. Kutengok di sebelahku Mas Adrian sudah terlelap. Perlahan aku turun dari ranjang dan berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Tak lupa aku membawa ke kamar segelas penuh air putih untuk nanti jika aku haus lagi.
Aku lihat Mas Adrian masih tertidur lelap, wajah tampannya terlihat damai dalam tidurnya. Ponsel yang sejak tadi dalam genggamannya perlahan terlepas dari tangannya dan merosot ke kasur.
Aku mengambil benda pipih itu.
Tak ada salahnya aku buka ponselnya, mungkin ada petunjuk yang bisa kutemukan.
Aku menekan tombol power. Ternyata terkunci. Sejak kapan Mas Adrian mengunci ponselnya. Selama ini aku memang jarang membuka ponsel Mas Adrian karena dari dulu ponselnya tak pernah dikunci dan dulu waktu aku sering melihat isinya hanya chat biasa dengan teman-teman kerjanya.
Aku harus memasukkan beberapa angka untuk membukanya, kucoba beberapa kali memasukkan angka yang mungkin digunakan Mas Adrian, dari tanggal lahirku, tanggal lahir Mas Adrian, tanggal pernikahan kami, modifikasi ketiganya, semuanya gagal tak ada yang berhasil.
Aku menghela napas berat. Aku menyerah, biar besok saja kutanyakan, mengapa dan apa maksudnya ini.
Sekarang kamu main rahasia sama aku Mas. Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan?
*
"Mas! Kenapa Hp kamu pake di kunci segala? Apa yang kamu sembunyikan Mas?" tanyaku pagi ini saat kami duduk bersama di meja makan.
Sejenak Mas Adrian menghentikan suapan makannya.
"Kamu ngapain mau buka-buka Hp Mas? Bukankah Mas juga berhak untuk punya privasi." Mas Adrian menjawab tanpa menoleh sedikitpun kearahku.
"Privasi? Sejak kapan ada rahasia diantara kita Mas? Bukankah sejak awal kita udah sepakat untuk saling terbuka dalam hal apapun! Termasuk isi ponsel kita! Dari dulu juga kamu bebasin aku buat buka-buka Hp kamu, aku pun sebaliknya."
"Mulai sekarang kamu tak perlu tahu Nis!"
Degh!
Ada rasa sakit yang menjalar di dalam sini. Mas Adrian mulai berubah. Mendadak selera makanku hilang, terganti dengan gemuruh di dalam dada. Sesak.
"Nggak. Aku berhak tau Mas! Aku istrimu! Cepat katakan apa sandinya." Aku meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di samping piring makan Mas Adrian. Geram rasanya saat suamiku mulai bermain rahasia diantara kami.
Mas Adrian terdiam. Bahkan tak sedikitpun ia menoleh, meski aku sedang sangat kesal padanya.
"Mas! Cepat katakan!" seruku.
"Nisa sudahlah! Mas bilang Mas butuh privasi! Paham! Mas berangkat kerja dulu. Assalamualaikum!"
Dengan secepat kilat Mas Adrian meraih ponselnya yang ada dalam genggamanku. Rahangnya mengeras terlihat jelas ia tak suka dengan tindakan yang aku lakukan. Aku hanya terdiam dengan tatapan nanar.
"Wa'alaikumusalam," jawabku lirih. Bahkan Mas Adrian sudah keluar rumah tanpa mencium keningku ataupun salim seperti biasanya. Tak terasa bulir bening luruh membasahi pipi.
Ya! Mas Adrian telah berubah. Dia bukan lagi Mas Adrian yang sangat lembut dan terlihat begitu menyayangiku. Akhir-akhir ini sikapnya berubah drastis, selain waktunya yang lebih banyak di luar, sikapnya juga dingin, cenderung kasar, tak pernah lagi ia menunjukkan sikap lemah lembutnya untukku.
Kenapa kamu berubah Mas?
Pagi ini aku duduk termenung sendiri usai Mas Adrian berangkat kerja. Memikirkan bagaimana langkah selanjutnya yang harus aku lakukan.
Kecurigaan-kecurigaan muncul berturut-turut seolah memberi sinyal tanda bahaya yang harus mulai aku waspadai. Dan cari tau penyebabnya.
Dari Mas Adrian yang lupa mentransfer uang pada Ibu, Beberapa kali terlihat pulang dengan rambut basah sepulang bekerja. Jika aku bertanya mengapa selalu mandi di pabrik, jawabannya selalu sama. Karena panas, padahal cuaca beberapa hari ini mendung. Sekarang ponselnya juga dikunci. Itu semua 'aneh' menurutku.
Kalau di rumah pun Mas Adrian sibuk dengan ponselnya. Setiap hari pulang malam ia tak pernah mengeluh capek dan memintaku untuk memijitnya, terkadang karena kasihan aku yang menawarkan diri untuk memijit punggungnya. Aneh bukan?
Jangan ditanya soal nafkah batin, kami pun jarang melakukannya, itu pun aku yang memintanya duluan, karena Mas Adrian sudah lelah sepulang bekerja.
Terkadang aku berpikir apa Mas Adrian mulai bosan padaku?
Usia pernikahan kami baru menginjak tahun ketiga, dan kami belum dikaruniai anak. Apa itu menjadi alasan Dia bosan lalu mencari kesibukan di luar?
Apakah itu yang membuatmu berubah Mas?
Hari terus berganti hingga di akhir pekan seperti biasa Mas Adrian pamit untuk berangkat bekerja mengambil lembur di hari liburnya. Aku semakin merasa jenuh dengan semuanya. Mas Adrian hampir tak punya waktu untukku.
Aku putuskan untuk keluar sebentar ke minimarket diujung jalan. Membeli beberapa kebutuhan kamar mandi yang sudah mulai habis. Berharap ini bisa sedikit mengurangi rasa jenuhku di rumah, karena hari ini aku tidak ke rumah Bu Salma, beliau ada acara keluarga di luar kota.
Aku berjalan kaki menuju ke ujung jalan tempat mini market itu berada. Hanya lima menit berjalan kaki aku sampai di depan toko dengan logo warna merah, biru, kuning.
Aku mulai memilih beberapa barang yang kubutuhkan, dan memindahkannya kedalam keranjangku.
Namun tiba-tiba.
Brugh!
Aku hampir terjatuh kebelakang karena keranjang belanjaanku terdorong oleh seseorang yang tengah berjalan bersisian di lorong antara rak barang.
Barang belanjaanku jatuh berserakan.
"Eh Maaf, Mbak! Aku nggak sengaja," ucap laki-laki itu. Aku masih sibuk memungut beberapa barang yang berjatuhan.
"Iya nggak apa-apa," balasku tanpa menoleh padanya. Ia pun ikut berjongkok dan membantu merapikan belanjaanku
"Mbak Nisa!" ucap laki-laki itu.
Aku pun menoleh ke arahnya, laki-laki berperawakan tinggi putih, tersenyum padaku. Jika kuingat wajahnya seperti tak asing.
"Ini aku Riko Mbak! Temennya Mas Adrian!" sahutnya seperti mengerti ekspresi wajahku yang tengah mengingat-ingat dirinya.
Ya, aku ingat sekarang Dia Riko teman satu perusahaan dengan Mas Adrian.
"Oh ya! Riko teman kerja Mas Adrian ya! Apa kabar?" Aku menyambut uluran tangannya.
Usia Riko memang lebih muda dariku dan Mas Adrian, jadi ia sudah terbiasa memanggilku dengan Mbak. Beberapa kali aku bertemu dengannya di acara family gathering perusahaan.
"Alhamdulillah baik Mbak. Mbak Nisa sendirian, mana Mas Adrian?" Riko tampak celingukan mencari sosok suamiku.
"Mas Adrian hari ini lembur, memangnya kamu nggak ambil lembur Ko?" jawabku.
"Lembur?" Riko balik bertanya, dahinya mengernyit seolah bingung dengan apa yang aku katakan.
"Iya, Lembur."
Riko terdiam sejenak. Kemudian terkekeh.
"Mbak, sudah hampir setengah tahun ini perusahaan sedang mengalami penurunan produksi, jadi di semua bagian tidak ada yang lembur Mbak," terang Riko berhasil membuatku tercengang.
"Apa?!"
Aku terkejut bukan kepalang. Jadi selama ini suamiku pulang malam dan weekend masuk kerja perginya kemana?
Aku tak habis pikir apa yang terjadi pada suamiku akhir-akhir ini. Pertemuanku dengan Riko siang tadi menambah satu lagi kejanggalan. Mas Adrian, kalau benar selama ini tidak ada lembur, lalu kamu kemana selama ini?Sepulang dari minimarket aku memilih untuk main ke rumah Tante Ranti, sejak ibuku meninggal tepatnya saat aku masih berusia tujuh tahun, aku ikut dengan Tante Ranti–adik dari ibu. Sedangkan Bapak, aku bahkan tak pernah melihatnya, karena beliau telah berpulang lebih dulu saat aku masih dalam kandungan.Setelah menempuh perjalanan hampir dua puluh menit menaiki angkot, aku sampai di rumah Tante Ranti. "Assalamualaikum Tante." Aku mengucap salam seraya langsung masuk ke dalam rumah yang tidak sepenuhnya tertutup, jam segini biasanya Tante Ranti sedang masak di dapur.Tante Ranti dan Om Edwin sudah seperti pengganti orangtuaku. Hanya mereka berdua lah yang kumiliki, karena Tante Ranti dan ibu hanya dua bersaudara. Sedangkan dari pihak keluarga Bapak, aku samasekali tak tau,
Jam sudah menunjukan pukul tiga sore. Aku memutuskan untuk pulang, karena sebentar lagi Mas Adrian akan pulang. Selama di rumah Tante Ranti, beliau lebih banyak diam. Raut kesedihan kentara sekali di wajah cantiknya walau sudah tak lagi muda. Setiap kutanya ada apa? Beliau selalu menjawab tak ada apa-apa.Belum selesai masalahku mengenai Mas Adrian, kini bertambah lagi satu persoalan tentang Tante Ranti yang membuatku bingung. Hingga benda pipih yang yang kugenggam berdering mengagetkanku.Ibu mertua memanggil."Hallo Assalamualaikum Nisa, ini Ibu." Terdengar suara Ibu dari seberang sana, suara lembut yang selalu membuatku nyaman. Hubunganku dengan Ibu Mertua dan Adik iparku terjalin dengan baik. Karena memang pernikahanku dengan Mas Adrian terjadi karena Ibu yang memintaku pada Tante Ranti untuk menjadi menantunya.Aku sendiri yatim piatu, dan aku di asuh oleh Tante Ranti adik dari Ibuku. Sebagai wujud baktiku pada Tante Ranti aku menerima perjodohan dengan Mas Adrian.Aku merasa be
Pias. Sejenak Mas Adrian terdiam membisu melihatku uring-uringan sore ini."Oh untuk soal itu, Mas ada urusan!" ringan saja Mas Adrian menimpali, kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah kamar."Mas! Aku belum selesai ngomong!" sergahku.Mas Adrian menoleh."Nisa, sudahlah Mas capek! Itu semua urusan Mas! Yang penting jatah untuk kamu sudah Mas penuhi! Kamu harusnya bersyukur punya suami tanggung jawab sepertiku." Usai mengatakan itu Mas Adrian melanjutkan langkahnya dan masuk ke kamar.Brak! Suara dentuman pintu yang di tutup dengan keras.Kenapa Dia yang marah! Harusnya aku yang sedang marah di sini, kenapa jadi kamu yang marah Mas! Kamu memang memenuhi kebutuhan kita Mas! Tapi itu sangat pas-pasan. Bukannya aku kurang bersyukur, aku hanya ingin tahu kenapa sampai kamu berbohong. Kemana suamiku dulu yang begitu terbuka dengan semuanya.Kalau semua pengeluaran jelas larinya kemana, mungkin aku nggak akan marah sampai seperti ini Mas!Jika biasanya sepulang kerja aku sudah
Kurasakan darahku seperti mendidih hingga ke ubun-ubun. Netra ini menatap nanar pemandangan yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam benakku.Dress selutut berwarna biru muda, membalut tubuh rampingnya. Rambutnya di cepol memperlihatkan leher jenjangnya. Senyum mengembang di bibir mereka berdua. Bahkan Mas Adrian mencium kening wanita itu, dan mengusap pipinya.Hati ini bagai di tusuk belati tajam. Sakit tak terkira. Inikah alasan kamu lembur setiap hari Mas?Astaghfirullah! Netra ini memanas, berusaha keras agar bulir bening yang menyeruak hendak keluar dari pelupuk mata ini tak sampai tumpah di sini.Ya! Suamiku selingkuh. Yang lebih mengejutkan lagi wanita itu adalah seorang yang sangat dekat denganku. Aku ternganga. Mungkin rona wajahku kini sudah merah padam menahan emosi yang siap meledak.Aku tak bisa lebih lama lagi berdiam di dalam mobil."Tunggu di sini sebentar ya Pak! Saya ada urusan sebentar dengan dua orang itu!" ucapku dengan suara bergetar dan tetap memandang ke arah
Aku menatap lekat ke arah Intan yang tampak sedang berpikir."Tunggu! Maksud kamu Vivi Anggraini kan?" Aku mengangguk. Karena itu memang nama lengkap Vivi."Bukankah Vivi itu pacarnya Rendi.""Rendi?""Iya. Rendi teman kita waktu SMA dulu, inget nggak? Rendi yang dulu pernah suka sama kamu tapi kamu tolak itu." Aku terdiam. Mencoba memutar ingatanku beberapa tahun lalu saat aku masih sekolah. Aku ingat sekarang, ya! Rendi yang dulu pernah mengutarakan cinta padaku, bahkan ia mengatakan itu di depan kelas, tentu membuatku malu sekaligus terharu atas aksinya.Namun aku menolak halus perasaannya. Meski sejujurnya waktu itu aku pun menyukainya. Tapi aku sadar diri, aku hanya seorang anak yatim-piatu, hidup menumpang di rumah Tante Ranti. Tante Ranti masih mau menyekolahkan aku sampai SMA saja aku sudah sangat bersyukur. Jadi aku tak ingin banyak tingkah dengan menjalin hubungan atau berpacaran semasa sekolah.Fokusku hanya untuk belajar. Aku tak ingin tanteku kecewa.Tanpa sadar aku ters
Tok! Tok! Tok!"Nisa! Apa Kau sudah bangun?" Suara Intan mengagetkanku. Kulihat jam yang tergantung di dinding ternyata sudah hampir jam tujuh pagi."Iya Tan!" sahutku kemudian membuka pintu kamar.Ternyata Intan sudah rapi dengan pakaian kerjanya."Kamu sudah mau berangkat?""Sebentar lagi. Ayo, sarapan dulu," ajaknya.Kami berjalan ke ruang makan. "Nis, selama aku kerja, kamu di rumah ini bersama Bik Mirna nggak apa-apa kan!" Intan berkata sambil menyuap nasi goreng ke mulutnya."Ehm, hari ini aku pulang aja ke rumah, Tan." "Apa? Kamu yakin?"Sejenak aku terdiam. Karena sebenarnya di dalam hati ini juga masih ragu, apakah aku sanggup bertemu dengan dia hari ini. Namun akal sehatku masih bekerja dengan baik, ini kenyataan, mau tak mau, siap tidak siap, aku harus menghadapi ini."Insya Allah aku yakin, Tan!" jawabku kemudian. Aku ingin buat perhitungan dengan Mas Adrian. Meski aku sendiri tak yakin dengan langkah yang akan kuambil ini."Nisa! Kalau kamu mau di sini dulu beberapa har
"Kamu yakin, apapun yang kumau akan kamu lakukan Mas?" tanyaku dan Mas Adrian mengangguk cepat. Bersamaan dengan senyum mengembang di bibirnya, namun ada gurat gelisah juga tergambar diwajahnya.Aku paham Mas Adrian sampai memohon untuk aku tetap bertahan pasti karena Ibu, ia tahu sedekat apa aku dengan ibunya. Aku tahu perpisahanku dengannya pasti akan membuat Ibu syok. Mas Adrian pasti khawatir akan kesehatan ibunya. Ibu punya riwayat jantung dan bisa kambuh sewaktu-waktu jika ada hal yang membuatnya syok."Aku mau kau meninggalkan Vivi," ucapku.Mas Adrian melebarkan pupil matanya. Bibirnya terbuka untuk beberapa detik.Aku menatap lekat kearahnya. Bisa kusimpulkan Ia teramat berat memenuhi permintaanku, hatiku seperti teriris. Nyeri melihat Mas Adrian nyatanya begitu berat melepas pelakor itu. Meski ia belum mengatakannya."Ehm, Nis! Begini, maafkan Mas. Nanti Mas akan bicara dengan Vivi," jawabnya gugup.Aku menggeleng tak percaya."Kenapa? Berat melepaskan Vivi?" Aku tersenyum k
Yes. Akhirnya berhasil terbuka. Dengan langkah cepat aku masuk ke kamar mandi membawa ponsel Mas Adrian.Jemariku langsung membuka aplikasi berwarna hijau bergambar gagang telepon. Chat paling atas terulis nama Vie dengan emoticon bentuk hati disampingnya. Sekali lagi aku menghirup napas dalam-dalam. Menyiapkan hati sebelum membuka apa saja isi chat mereka.Ada banyak sekali chat mereka. [Makasih ya Mas udah beliin yang aku mau.] Sebuah isi chat diiringi foto Vivi tegah memperlihatkan leher jenjangnya mengenakan kalung. Bagus banget. Ucapku dalam hati di iringi rasa nyeri di dada ini. Aku bahkan belum pernah dibelikan kalung sebagus itu oleh Mas Adrian. Satu-satunya kalung yang ia berikan adalah saat pernikahan kami, itupun sudah kujual untuk membayar sewa rumah ini. Waktu itu Mas Adrian lagi nganggur.[Sama-sama Sayang! Untuk kamu memang selalu bisa memuaskanku.] Balasan chat dari Mas Adrian seketika membuatku bergidik.[Aku pasti akan selalu menyenangkan hatimu Mas.][Untuk di at