Share

Part 6 - Hidup Baru

Frani merasa bodoh kalau harus mengemis surat-surat ruko pada Sarah. Apalagi ada Celia yang sedang mengejeknya. Dengan perubahan suasana hati, Frani mendekap dua lengannya ke depan, "Si pelakor ada di sini?"

"Pelakor? Berani benar kamu bicara begitu. Ibu, lihatlah wanita yang sebentar lagi akan menjadi mantan menantumu ini. Dia mengejekku," rengek Celia pada Sarah. Wanita itu menghampiri Sarah dan merajuk. Seringaian wajahnya terlihat memuakkan.

Sarah turun tangan. Dia hendak menarik rambut Frani, tapi Frani berhasil menangkap tangan Sarah.

"Kamu berani melawan ibu?" bentak Sarah.

"Tentu kalau memang diperlukan. Aku sudah meminta baik-baik surat ruko milikku tapi ibu bersikeras untuk menjualnya silahkan! Lagi pula aku juga tidak suka tinggal dekat dengan kalian. Apalagi sama pelakor yang tidak punya malu. Aku pergi!"

Celia tidak terima dikatakan pelakor. Dia berlari, memburu Frani ke depan. Frani sudah mengetahui gerakan Celia. Ketika wanita itu hampir menyentuh bahunya, Frani menghindar ke samping. Celia jatuh tersungkur karena tidak memiliki pegangan kuat.

"Sial," umpat Celia.

Sarah buru-buru menghampirinya dan membantunya untuk berdiri. Frani merasa tidak memiliki daya upaya lagi. Dulu, Sarah tidak pernah memperlakukan dirinya dengan baik. Apapun yang dia lakukan pasti salah. Kali ini dengan mata kepalanya sendiri, Sarah membantu wanita yang belum menjadi menantunya. Benar-benar mertua yang punya sifat tidak baik.

"Kamu! Minta maaf pada Celia," desak Sarah sambil menunjuk muka Frani.

"Tidak akan pernah. Istri mana yang mau meminta maaf pada pelakor? Aku pamit, Bu. Semoga kalian bahagia setelah membuatku sengsara. Ah, bukan sengsara, tapi terbebas dari kesengsaraan."

Frani tidak peduli dengan umpatan di belakangnya. Dia berjalan tanpa ragu. Ada satu hal yang perlu dia lakukan agar dia sanggup untuk menghadapi dunia.

***

"Selamat tinggal ruko. Aku yakin kamu akan menemukan pemilik yang jauh lebih baik dariku," ucap Frani, sekedar salam perpisahan sebelum dia benar-benar meninggalkan bangunan yang di beli dengan uangnya sendiri.

Bebannya telah terangkat. Dia yakin dengan keputusannya untuk pindah dari tempat itu. Dia juga akan mengirim surat perceraiannya melalui kantor pos. Meskipun dalam hati dia tetap ingin membalas perbuatan mereka, dia tidak akan diam di tempat.

***

Kontrakan yang hanya berisi ruang tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi itu telah terisi oleh barang-barang Frani. Dia menata pakaiannya yang hanya beberapa karena selama ini dia tidak pernah membeli baju-baju mahal hanya untuk kesenangannya sendiri, ke dalam almari mungil. Gani juga tidak pernah membelikan pakaian untuknya dan hanya Frani yang mengkhawatirkan suaminya apakah pria itu mempunyai pakaian baru atau tidak.

Jangankan bertanya mau Frani apa, memberikan hadiah kecil saja tidak pernah. Berbeda jika menggunakan uang Frani yang dia akui sebagai sumber penghasilannya. Gani akan dengan senang hati menawarkan barang-barang.

Wanita itu termenung di sofa ruang tamu, duduk di sana dengan pandangan sayu. Malam ini adalah malam pertama yang dia lalui seorang diri. Sedikit sesal kenapa dia sangat mencintai Gani, tapi nasi terlanjur menjadi bubur. Percuma saja berpikir untuk kembali.

Besok dia akan melamar pekerjaan di sebuah pabrik sepatu yang lokasinya tidak jauh dari kontrakan. Dia sudah memperkirakan semua itu. Makanya dia memilih tempat tinggal yang strategis meskipun dia harus menjual cincin pernikahan untuk biaya sewanya yang lumayan mahal.

Tidak masalah. Frani bisa membeli perhiasan itu lagi dengan uangnya sendiri. Untuk malam ini, dia akan bersikap masa bodoh. Pasti ada jalan yang lebih baik.

***

Gedung pabrik sepatu 'Prima' telah terlihat dari ujung jalan. Frani dan dua orang tetangga kontrakannya, Tanti dan Septi, berjalan beriringan. Tadi pagi ketika Frani hendak pergi, Tanti lebih dulu menyapa dan bertanya mau ke mana.

"Melamar pekerjaan di pabrik sepatu 'Prima', Mbak," ucap Frani ramah.

Tanti yang usianya tidak jauh dari Frani menghampiri, "Aku kerja di sana. Mau aku bantu masuk nggak?"

"Memangnya bisa, Mbak?" tanya Frani polos.

Wanita dengan pakaian pabrik berwarna warna hijau tua itu merangkul bahu Frani, seolah mereka adalah teman lama yang baru berjumpa kembali. "Tenang saja. Aku punya pacar di bagian administrasi dan jangan panggil aku mbak karena kita seumuran sepertinya. Kamu kelahiran tahun berapa?"

Lalu keduanya bicara panjang lebar sebelum pergi. Frani yang menyukai perhatian Tanti tidak membutuhkan waktu lama untuk bergaul dengan wanita periang itu. Belum sampai sepuluh menit, seorang wanita lainnya bergabung.

Septi, wanita yang lebih muda dari mereka, menyapa ramah. Awalnya Septi heran dengan Frani karena Frani belum secara resmi berkenalan dengan tetangga kontrakan lainnya, tapi karena pembicaraan mereka yang terdengar asyik. Septi dengan mudah masuk ke dalamnya. Seperti Tanti, Frani juga menolak ada embel-embel 'mbak' dalam percakapan mereka.

"Kalau kamu melihat pemimpin pabrik kita yang setiap hari keliling pabrik, aku jamin kamu bakal klepek-klepek," ucap Tanti.

Frani tersenyum kecut. Dia belum memikirkan masalah laki-laki. "Aku masih dalam proses perceraian."

Tanti dan Septi melotot.

"Janda?" tanya Tanti keceplosan.

Frani mengangguk, "Iya." Dia tidak malu sama sekali, tapi menyayangkan betapa hidupnya terlalu menderita.

"Kenapa?" tanya Septi murung.

"Direbut oleh wanita yang menyukai suamiku." Dilihat dari wajah Frani, semua itu seperti bukan masalah. Tapi dua wanita yang ada di depannya mengerti rasa sakit itu.

"Maaf ya. Aku nggak sengaja tadi," ucap Tanti menyesal.

"Aku juga nggak sengaja. Maaf," ucap Septi.

"Tidak masalah. Justru dengan begini kita bisa saling tahu kekurangan masing-masing. Jadi, apa rahasia yang harus aku tahu?" Frani berkedip penasaran.

Tanti dan Septi serempak menjawab, "Kami juga janda."

"Satu tahun lalu dicampakkan karena pelakor," lanjut Septi.

"Tapi kita bisa mandiri. Enak saja diinjak-injak," tegas Tanti.

Ketiganya saling menguatkan dan menyumpahi wanita yang telah merebut suami mereka. Frani merasa memiliki teman lagi setelah lebih dari sepuluh tahun kehilangan teman seperjuangan. Dengan masa lalu yang tidak ada bedanya, Frani merasa jauh lebih baik.

***

Pabrik sepatu 'Prima' ternyata membutuhkan banyak pekerja di bagian cutting. Frani diterima menjadi salah satu anggota bagiannya. Septi juga berada dalam satu bagian dengan Frani, jadi Frani bisa leluasanya bertanya.

Hari pertama bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan Frani. Dia bisa beradaptasi dengan baik karena komunikasi sesama rekan kerja yang terjalin cukup lancar. Frani yang memang pada dasarnya ramah dan bisa membaur tidak kesulitan melakukan pekerjaannya.

Salah seorang wanita yang merupakan pengawas bagian menegur Frani karena terlalu banyak bicara. Namanya Yulia, wanita yang masih single dan berharap memiliki suami sempurna itu, mengerutkan keningnya setiap kali melihat Frani berinteraksi dengan temannya.

"Jaga bicara! Kalau bos tahu-tahu datang, kalian bisa kena marah. Saya yang akan banyak mendapat amukan," tukas Yulia kesal. Mungkin hanya dia saja yang punya pemikiran begitu karena teman-teman yang lain tidak pernah beranggapan bicara dengan sesama rekan adalah sebuah larangan.

"Maaf, Mbak," ucap Frani. Dia mengunci mulutnya rapat-rapat. Dia tidak ingin memiliki banyak masalah jadi dia akan bersikap lebih baik lagi.

Tapi tidak disangka jika seseorang menyela pembicaraan mereka.

"Pak Rendi?" panggil Yulia gemetar.

"Kamu yang namanya Frani? Ikut saya!"

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Zi Aldina
cayoo frani!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status