Share

5

Ada aroma alkohol tercium. Deru napas berat sarat akan hasrat. Aku bisa merasakannya dari cara Mas Ega melucuti pakaianku satu persatu. 

Sepertinya, hari ini Mas Ega berhasil mendapatkan klien. Dan berhubungan intim adalah cara Mas Ega merayakan keberhasilan. Melerai ketegangan di antara kami sebelumnya.

Di dalam kamar gelap itu, aku menerima banyak kenikmatan dan hal-hal panas memabukkan jiwa. Ini tidak seperti Mas Ega. Bahkan ini lebih menggairahkan dibandingkan malam pertama.

Otot-otot kekarnya, lebar bahu yang membuatku candu untuk memeluknya, semua seperti tidak nyata. Sebab, aku baru tahu bila Mas Ega memiliki tubuh bagus nan berisi. Selain itu, banyak gerakan-gerakan baru yang membuat tubuhku bergetar syahdu. 

‘’Mas…’’

Setiap aku memanggil namanya, Mas Ega melumat habis bibirku. 

‘’Akh…’’

Setiap desahan terdengar, Mas Ega menggauliku seperti suami yang sudah lama tidak menyentuh istri.

Rasanya, aku  bagai dibawa terbang ke langit tujuh bidadari. 

Aku ingin melihat bagaimana suamiku itu memperlakukanku. Tapi diri begitu pemalu, sehingga dari sejak menikah, kami selalu bercinta dalam keadaan gelap gulita.

‘’Selin, kamu sangat menggairahkan,’’ bisik Mas Ega ketika aku berhasil membuatnya menggerung karena pelepasan yang entah sudah keberapa.

‘’Udahan yuk, Mas. Apa masih mau nambah lagi?’’ godaku karena berpikir pasti Mas Ega sudah tidak sanggup. Aku pun sudah sakit kepala karena efek minuman. Atau bisa jadi, karena aroma terapi yang masih saja dibiarkan menyala.

Namun ternyata aku salah. Mas Ega malah melanjutkan hingga aku dibuat kelelahan sampai tidak sadarkan diri.

Senyumku mengembang sempurna ketika terbangun keesokannya.

Pergumulan tadi malam, tidak bisa lepas dengan mudah sangking terlalu indah. Aku akan mengingatnya seumur hidup. Atau kalau perlu mengingatnya hingga mata ini menutup.

Tanganku bergerak, meraba-raba mencari tubuh Mas Ega di sebelahku. Aku ingin bermanja-manja walau selangkanganku masih terasa perih. 

Tapi, hampir semenit aku mencari, tidak aku dapati Mas Ega di segala sisi tempat tidur. Sontak aku bangun dari tidur. Melihat ke arah jendela, ternyata matahari masih belum menampakkan sinarnya. Lalu kenapa Mas Ega tidak ada? Bukankan suamiku itu selalu bangun di jam tujuh pagi. 

‘’Sekarang baru jam setengah enam,’’ kataku dengan suara khas orang bangun tidur. 

‘’Apa Mas Ega pergi ke studio? Tapi masa iya sepagi ini?’’ pikirku seraya mengangkat bahu, bersikap masa bodoh.

Setelah melihat jam di tembok. Segera aku menyingkap selimut. Masuk ke dalam kamar mandi karena badan ini, sangat-sangat bau keringat. 

‘’Mas Ega.’’ Aku jadi senyum-senyum sendiri. 

Baru kali ini Mas Ega melakukannya sampai berkali-kali. Biasanya, Mas Ega hanya melakukan sekali. Setelah itu dia tertidur pulas seperti orang mati.

Mungkin karena pertengkaran tadi malam, Mas Ega merasa bersalah dan ingin membahagiakanku dengan cara seperti itu.

Aku pun berniat untuk membalasnya dengan memasak masakan yang beliau suka. 

Selesai melakukan ritual setelah mandi, aku bersiap menunggu tukang sayur lewat di depan rumah. Dan ketika melewati garasi, aku lihat Mobil Mas Ega tidak ada. Berarti benar beliau pergi ke studio. 

‘’Eh, Mbak Selin. Pagi-pagi rambutnya sudah basah sekali.’’ Tetangga sebelah rumah menyapa sambil membawa kantong belanja.

‘’Bu Retno,’’ sapaku meski tersipu malu. ‘’Mau belanja, Bu?’’

‘’Iya nih. Tukang sayur hari ini libur. Jadi terpaksa deh ke pasar.’’

Pantas saja suara khas tukang sayur komplek tidak terdengar sejak tadi. Jadi ku putuskan untuk ke pasar bersama Bu Retno.

‘’Mbak, Mas Ega banyak sekali mobilnya, ya? Tapi kenapa yang selalu dibawa ke rumah mobil sedan biasa?’’

Aktivitasku yang sedang memilih sayur jadi terjeda.

‘’Mas Ega hanya punya satu mobil kok, Bu. Nggak ada mobil lain. Sedan yang ibu maksud itu yang warna putih, kan?’’

‘’Iya yang putih. Tapi tadi malam, ada mobil sport warna hitam. Keren sekali. Suami saya sampai berdoa loh pengen punya yang seperti itu juga kaya Mas Ega.’’

Aku mencoba memahami penjelasan Bu Retno dengan mendengarkan secara penuh.

‘’Tadi malam saya pulang pagi buta karena habis ke luar kota. Terus nggak sengaja lihat Mas Ega sama temannya. Uh, temannya ganteng sekali, Mbak. Kalau tidak ingat suami sama anak-anak, mungkin saya sudah kepincut kali.’’ 

‘’Mana badannya bagus banget lagi. Berotot kekar kayak artis-artis india di film laga.’’

Menggelegarnya tawa Bu Retno seperti taburan jarum akupuntur yang menghambur ke seluruh tubuhku. Aku dibuat syok. Kaku tidak bisa bergerak, berkata maupun bicara.

‘’Tapi gak lama, mereka pergi lagi. Ada kali cuma beberapa jam di rumah. Eh, Mbak. Aku nggak mata-matain, ya. Jangan salah paham. Kebetulan, aku sama suami masih terjaga ketika mereka keluar.’’

‘’Mbak Sel… hussshh… mbak!’’ Tepukan kuat dari Bu Retno menyadarkanku dari lamunan.

‘’E-eh, iya, Bu. Gimana?’’

‘’Ya ampun, Mbak. Kamu mikirin apa, sih? Apa karena tadi malam abis ngelakuin yang hot-hot, ya?’’ Bu Retno tertawa geli.

‘’Maksudnya?’’

‘’Kita sudah sama-sama ibu-ibu rumah tangga. Saya sih maklum kalau Mbak Selin sama Mas Ega masih pengantin baru. Tapi suaranya jangan kenceng-kenceng banget dong. Kedengaran sampai ke sebelah tau!’’

Masih dengan tawa gelinya, lagi-lagi aku harus menyembunyikan rasa malu lewat senyuman. Jika Bu Retno saja bisa mendengar. Itu berarti, temannya Mas Ega pun turut mendengar suara-suara di dalam kamar. 

Membayangkannya pipiku sudah kembali merona. Meski aku tidak tau siapa temannya Mas Ega itu.

‘’Ah, iya. Maaf ya, Bu,’’ lirihku. Wajahku sudah memerah, karena mengetahui hal ini dari tetanggaku sendiri. ‘’Oh, iya. Apa Mas Ega sering membawa teman-temannya yang lain selain yang tadi malam?’’

‘’Setau saya sih, enggak, Mbak. Baru kemarin malam saja. Mas Ega itu dikenal baik di lingkungan komplek. Makanya pas tau sudah menikah, banyak anak gadis di sini pada patah hati.’’

Aku tidak peduli sebaik apa Mas Ega di mata tetangga. Tapi bagiku, Mas Ega seperti pria-pria mencurigakan di setiap cerita yang pernah aku baca.

Sel, kamu di mana? Kok mas pulang kamu nggak ada?

Aku tidak berlama-lama di pasar ketika mendapat pesan dari Mas Ega. 

Begitu sampai di depan gerbang, sedan putih sudah terparkir gagah di depan rumah.

‘’Selin, lain kali kalau pergi kabari mas. Jangan sampai mas nyari-nyariin kamu kayak tadi.’’ Tiba-tiba Mas Ega muncul dari balik pintu, membuatku langsung memperhatikan bentuk tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pria yang kini tengah memelukku seakan khawatir itu, membuat harga diriku seakan tidak ada artinya. Atau bisa jadi, hilang menyatu dengan debu jalanan. 

Apakah karena aku berasal dari desa, karena itulah suamiku tega membagiku dengan pria asing?

Mas Ega, bukanlah orang yang membuatku bahagia ketika terbangun pagi ini. Dan itu adalah kenyataan pahitnya. Bentuk tubuh yang aku lihat dan rasakan sekarang, sangat jauh berbeda dengan lekuk tubuh pria yang ada di ranjangku tadi malam.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status