"Istri yang baik untuk Oliver, dia ingin tahu sejauh mana aku bertahan."
Alesha tersenyum tipis mengucapkannya. Gadis itu tak kunjung bisa tidur, Alesha terus kepikiran dengan kata-kata Oliver yang membuatnya tak tenang."Aku harus mulai dari mana? Dia membenciku," lirih Alesha lagi, dia menggigit jemarinya cemas.Kembali Alesha terbangun, dia berjalan keluar dari dalam kamar. Langkahnya mengantarkan Alesha ke lantai satu, ia melihat Oliver yang berbaring di sofa seorang diri.Alesha terdiam menatapnya, dia berjalan tanpa suara mendekat dan sedikit membungkukkan badannya ingin menyentuh kening Oliver.'Aku pikir dia akan tidur di tempat kekasihnya, tapi mungkin malam ini Oliver akan tidur di rumah.'Senyuman Alesha mengambang, wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar di lantai satu.Dengan sengaja Oliver kembali membuka mata dan menatap punggung gadis itu, dia berpikir apakah yang akan Alesha lakukan.Sampai akhirnya Alesha kembali, dan Oliver kembali menutup mata. Ternyata gadis itu mengambilkan selimut, menyelimuti Oliver dan duduk di sampingnya, menatap wajah Oliver dalam-dalam."Maafkan aku, Kapten Oliver... Aku tidak bermaksud jahat padamu," ucap Alesha lirih, air matanya luruh tiap kali dia merasa bersalah seumur hidupnya pada Oliver.Alesha tertunduk di hadapan seseorang yang tengah berpura-pura tidur tersebut."Aku pun tidak menginginkan hal menyakitkan itu terjadi padaku. Aku sungguh takut dan malu untuk menunjukkan wajah di hadapan semua orang, aku tidak tahu Ayah memiliki musuh sekejam itu. Merusak masa depanku dan hidupku. Maafkan aku..."Dada Alesha terasa sesak dan tubuhnya bergetar. Ia diam menatapi Oliver, teringat dulu Alesha selalu kesenangan tiap kali Ayahnya mengajak Oliver pulang, Alesha yang suka bertanya-tanya tentang Oliver. Dia bahkan sempat memotret Oliver dari jauh.Laki-laki ini membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali. Sampai akhirnya Alesha patah hati saat sang Ayah mengatakan menolak lamaran Oliver karena dia dulunya tak tahu kalau Oliver adalah seorang pewaris utama keluarga Vorgath, tapi hal itu tidak mengubah perasaan Alesha sampai saat ini."Selamat malam, Kapten Oliver," ucap Alesha, dia tersenyum dan menyentuh dengan sangat pelan punggung tangan Oliver.Alesha pun beranjak pergi. Barulah Oliver membuka kedua matanya, laki-laki itu langsung terbangun dan menatap selimut abu-abu yang Alesha selimutkan padanya."Gadis itu..." Oliver diam merenung keras, dia mengacak rambut pirangnya sesaat. "Siapa musuh Laksamana Fredrick yang sudah melakukan hal keji ini pada Alesha?"Tanpa sadar, telapak tangan Oliver terkepal. "Aku harus mencari tahu tentang hal ini."**Saat pagi tiba, Alesha sudah menyiapkan sarapan untuk Oliver. Meskipun Bibi Ruitz melarangnya, tapi Alesha keras kepala ingin melakukan tugas itu.Setelah mengetahui suaminya semalam tidur di rumah, Alesha merasa senang. Dia pun kini menatap meja makan yang penuh dengan menu makanan khusus, kesukaan Oliver."Sekarang, aku harus menemui Oliver," ujar Alesha dengan menekan kuat rasa takutnya.Gadis itu melangkah ke kamar Oliver yang kini berada di lantai satu. Alesha mengetuknya tiga kali."Oliver... Apa kau sudah bangun?" tanya Alesha tidak berani membuka pintu."Aku boleh masuk, tidak?" Lagi, Alesha bertanya dengan nada sedikit meninggi.Namun tak ada jawaban, Alesha pun membuka pintu kamar itu. Dan nampak Oliver yang masih bergelung di bawah selimutnya dengan tubuh atasnya yang terpampang.Alesha menutup mulut, ia bingung apa yang harus dia lakukan saat ini? Bagaimana kalau Oliver marah?"Oliver..." Alesha mendekatinya. "Ini sudah pagi, apa kau tidak ke markas?"Suara lembut Alesha sukses membuat Oliver membuka kedua matanya.Laki-laki itu berdecak. "Apa yang kau lakukan di kamarku?!""Oh itu, aku... Aku hanya membangunkanmu saja, sarapannya juga sudah siap," jawab Alesha tersenyum manis.Oliver terbangun dengan wajah malas dan kesal. Ia duduk di tepi ranjang dan mengacak rambut pirangnya. Kedua iris birunya masih kalup.Laki-laki itu melirik Alesha, istrinya yang tidak ia sukai itu, masih setia berdiri di samping ranjang."Apa lagi sekarang?" Oliver bertanya tanpa membentak.Wajah Alesha memerah, ia menundukkan kepalanya, gadis baik-baik ini tidak pernah melihat tubuh seorang laki-laki, Alesha malu sendiri dihadapkan dengan Oliver yang tidak memakai atasan."A-aku akan keluar," pamit Alesha."Tunggu Alesha..." Oliver menarik lengan Alesha tiba-tiba hingga gadis itu tak sengaja jatuh di pangkuan Oliver.Kedua mata Alesha melebar, ia langsung mendorong tubuh laki-laki itu dengan jemari bergetar."Ma-maaf, aku tidak sengaja! Aku benar-benar tidak bermaksud. Aku-""Siapkan pakaian kerjaku," selama Oliver dengan santai.Laki-laki itu beranjak dan melewati Alesha dengan satu telapak tangannya menyentuh pucuk kepala Alesha.Oliver tersenyum tipis seraya melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Lucu sekali ekspresi wanita naif itu, baginya.Alesha menyiapkan pakaian kerja milik Oliver sampai akhirnya Alesha terdiam menatap cermin lemari kayu di depannya.Di depan pantulan cermin, Alesha menyentuh pucuk kepalanya."Dia menyentuhku," lirih Alesha. "Apa dia sungguh benar-benar membenciku? Apa bencinya bisa berkurang?"Butuh beberapa menit lamanya, Alesha juga merapikan kamar Oliver. Di sana, Alesha menemukan banyak sekali berkas-berkas penting tentang bisnis suaminya. Oliver memiliki perusahaan tambang, Alesha baru tahu akan hal itu.'Dulu Ayah menolak Oliver saat melamarku karena Ayah bilang Oliver miskin. Tapi Oliver sesungguhnya sangat kaya, rumah vila yang bagus, dia seorang pebisnis, perwira, dan berasal dari keluarga berada. Ayah pasti akan menyesal kalau tahu ini.'Pintu kamar mandi terbuka, Oliver muncul dari dalam sana. Kening laki-laki itu mengerut saat melihat Alesha masih berada di dalam kamarnya. Pakaian kerja Oliver juga ditata rapi di atas ranjang."Kenapa kau masih ada di sini? Apa yang kau lakukan dengan berkas-berkasku?!" tanya Oliver."A-aku hanya merapikannya saja." Alesha terbata.Alesha tersentak menoleh ke belakang. Dadanya berdebar, Oliver menatapnya tajam, dia menutupi tubuhnya yang segar dengan kimono handuk berwarna putih.Oliver mendekati Alesha dan menatapnya seperti seekor mangsa."Kau tidak berniat membantuku berpakaian, kan?" ujar Oliver dengan penuh penekanan."Ti-tidak! Jangan salah paham Oliver, tidak seperti it-""Kau ingin membuatku marah padamu, di pagi-pagi begini, Alesha Alister!" desis Oliver.Wajah Alesha memerah, ia mengulurkan tangannya pelan mendorong dada Oliver untuk mundur.Rambut pirang yang basah, wajah tampannya pun basah dengan tetesan air dingin, ditambah sorot mata biru laut yang tajam."Jangan seperti ini, Oliver...""Lalu seperti apa yang kau inginkan?" Oliver maju dua langkah hingga Alesha tersudut di dinding.Kedua lengan kekar laki-laki itu mengurung Alesha, sebisa mungkin Alesha menghindari kontak mata dengannya."Berhenti berpura-pura polos seperti wanita baik-baik. Bukankah semua keburukanmu sudah kau tampakkan, hem?" Oliver berbisik di telinga Alesha.Wajah Alesha menjadi kembali sedih, namun Oliver terkekeh dan mendekatkan wajahnya di hadapan Alesha."Nona Alesha yang malang..."Gadis itu tersenyum tipis padanya, hingga Oliver terdiam menatap senyuman itu."Apapun yang kau katakan, aku tidak akan pernah marah padamu. Karana aku ingin kau tahu, aku bisa menjadi istri yang baik, lebih dari yang kau bayangkan.""Malam ini musim dingin pertama tahun ini, aku ingin membelikan hadiah untuk istriku. Bagaimana denganmu, Kapten Oliver?" Seruan itu terucap dari bibir rekan Oliver, dia adalah Laverd. Yang kini berjalan berjajar di samping Oliver begitu mereka keluar dari dalam markas. "Heem, salju bahkan sudah turun." Oliver menengadahkan satu tangannya. "Dan kau ingin membelikan Nona Alesha hadiah apa?" tanya sang sahabat. "Kalian pengantin baru, kan? harus serba romantis." Wajah Oliver menjadi datar, dia mengingat wanita yang kini menjadi istrinya itu sedang hamil anak laki-laki lain. Namun mengetahui kalau Alesha hanyalah seorang korban, Oliver merasa sedikit kasihan pada Alesha. "Hoi... Kenapa kau malah diam, Kapten," seru laki-laki di sampingnya itu. Oliver menatapnya dan berjalan menuju mobil berwarna hitam miliknya. "Entahlah, aku tidak memikirkan itu." "Bagaimana bisa? Kau tidak mencintainya?!" seru Laverd dengan nada bersungut. "Tentu saja aku mencintainya, dia milikku, dia wanita
"Tidur denganku?" Oliver mengerutkan keningnya dengan kepala sedikit miring menatap Alesha yang terdiam seperti anak kecil menanti jawaban. "Kalau kau tidak mau juga tidak papa, aku tidak memaksamu. Dengan kau bermalam di rumah, aku sudah senang," ujar Alesha tersenyum. Helaan napas terdengar dari bibir Oliver, dia mengangguk pelan dan melangkah mendekati ranjang dengan sprai merah muda, warna kesukaan Alesha. Oliver melepaskan manset lengan seragamnya, ia melepaskan dengan santai atasannya di depan Alesha. "Aku akan tidur di sini," ujar Oliver melangkah masuk ke dalam kamar mandi."Iya, kalau begitu aku siapkan pakaian gantimu sebentar." Alesha melanggang keluar dari dalam kamar. Gadis itu melangkah ke lantai satu menuju kamar Oliver. Di sana, Alesha mengambil satu stelan piyama hitam milik Oliver, namun sesuatu terjatuh saat Alesha menarik pakaian itu dan selembar kertas kecil membuat perhatian Alesha teralihkan. "Kertas apa ini?" gumam Alesha meraihnya. Kedua mata gadis it
"Nyonya Alesha butuh banyak istirahat, kondisi kehamilannya sangat lemah, Tuan." Seorang dokter menjelaskan kondisi keadaan Alesha pada Oliver. Sedangkan gadis itu masih terbaring lemah di atas ranjang. Oliver menganggukkan kepalanya, dokter pun segera berpamitan pergi setelah memeriksanya. "Oliver, apa aku sudah boleh pulang?" tanya Alesha saat Oliver mendekat. "Kondisimu masih lemah, jangan bersikeras meminta pulang. Diam di sini dan berisitirahat," ujar Oliver, dia menarik kursi dan duduk di samping sang istri. Alesha menatap seisi ruangan itu, ia mengusap-usap perutnya."Terima kasih ya, sudah mengantarkanku ke sini," ucap Alesha tersenyum tipis. "Aku hanya peduli padamu, bukan anak itu!" jawab Oliver. Tatapan iris birunya membuat nyali Alesha menciut. Oliver duduk bersandar dan bersedekap memperhatikan wajah Alesha dengan tatapan yang sulit diartikan. Keheningan terjadi di antara mereka untuk beberapa saat. Oliver tetap memperhatikan wajah Alesha, menelisik dalam-dalam hi
"Kau yakin hanya ingin membeli bunga mawar saja?" Oliver menatap Alesha yang berdiri di sampingnya memeluk buquet bunga di dalam pelukannya. Gadis itu mengangguk antusias. "Iya, aku ingin ini saja. Sudah lebih dari cukup, Oliver. Ada lagi yang ingin aku minta. Tapi tidak sekarang!" "Ck! Kenapa kau malah banyak maunya?!" sinis Oliver kesal.Laki-laki itu berjalan merangkul pundak Alesha saat seseorang hampir menyenggol tubuh Alesha saat mereka berjalan kaki dan bersalipan dengan seseorang. "Karena aku mau. Kau membelikan Susan bunga, jadi aku ingin bunga juga," jawab Alesha menatap bunga mawar merah di pelukannya. Oliver melirik Alesha yang begitu senang. Dia seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah mainan baru. "Lalu, setelah kemarin aku membelikan hadiah mantel untuk Susan, kau menginginkannya juga? Apa kau lupa kalau Susan siapaku?!" Oliver kembali bersedekap berjalan berjajar dengan istrinya.Alesha menggelengkan kepalanya, sampai tiba-tiba langkah Oliver terhenti
Cukup larut Oliver pulang malam ini, namun tidak biasanya ia masuk ke dalam rumah tidak ada sambutan apapun dari Alesha. Kening Oliver mengerut saat rumahnya terasa amat sangat sepi. "Di mana dia?" gumam Oliver bertanya-tanya. "Tidak biasanya dia tidak menungguku." Oliver melepaskan seragam berwarna navy dengan kancing emasnya. Dia juga meletakkan topi perwiranya di atas meja. "Tuan..." Suara Bibi Ruitz membuat Oliver menoleh ke belakang. Laki-laki itu mengerjapkan kedua matanya. Dia paham akan tatapan Bibi Ruitz saat ini padanya. "Ada apa? Di mana Alesha?" tanya Oliver, perasaannya meminta dia bertanya di mana istrinya kini. "Nyonya... Nyonya Alesha ada di kamarnya." Bibi Ruitz terlihat begitu sedih. "Kenapa? Apa dia sakit?" Wajah Oliver menjadi kaku, iris birunya menajam seketika. "Laksamana Fredrick siang tadi ke sini, maaf kalau saya lancang mendengarkan semuanya. Tapi... Nyonya sedang tidak baik-baik saja. Laksamana Fredrick meminta Nyonya Alesha untuk menggugu-"Ucapan B
"Pemeriksaan kandunganku tiap bulannya membutuhkan biaya, dan aku tidak mau merepotkan Oliver." Alesha menggigit ujung ibu jarinya dan mondar-mandir di teras sejak tadi. Wajahnya serius dan tengah berpikir keras. Sedangkan Bibi Ruitz yang memperhatikannya, wanita itu kebingungan dengan tingkah Alesha seperti anak kecil. "Nyonya, ada apa? Kenapa Nyonya Alesha terlihat resah sekali?" tanya Bibi mendekati Alesha."Iya Bi. Aku stress sekali hari ini..." Alesha menepuk keningnya. "Apa semalam tidur dalam pelukan Tuan masih membuat Nyonya Alesha stress?" Mendengar lelucon yang terucap oleh sang pembantu, wajah Alesha langsung memerah. Dia menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak! Tidak begitu!""Lalu, apa yang sebenarnya sekarang Nyonya pikirkan? Nyonya bisa bercerita pada saya." Alesha berdiri menatap taman di pekarangan rumah Oliver. "Bi, aku butuh banyak uang untuk pemeriksaan kandunganku sampai sembilan bulan nanti. Aku tidak mau merepotkan Oliver, apalagi sampai meminta uang pa
Keesokan paginya, begitu Oliver keluar dari dalam kamar dengan pakaian kerjanya. Laki-laki menuruni anak tangga, dia melihat istrinya sedang sibuk dengan beberapa barang-barang yang baru saja dia beli. "Apa saja yang dia beli? Banyak sekali," gumam Oliver lirih. Langkah Oliver mendekati Alesha, dia bersedekap memperhatikan wajah cantik itu nampak serius dengan beberapa kotak-kotak kayu kecil di atas meja marmer. "Jadi kau membelanjakan uang yang aku pinjamkan untuk barang-barang tidak berguna ini? Boros sekali hidupmu!" sinis Oliver dari belakang di pundak kiri istrinya. Alesha tersentak kaget mendengar suara Oliver tiba-tiba, dia langsung membalik badannya dan terpana dengan wajah tampan Oliver. Rambut pirangnya yang sudah tertata rapi. "Aku... Aku tidak boros, aku membeli beberapa bibit tanaman. Kalau salju sudah menipis, aku akan menanamnya!" seru Alesha tersenyum gemas. "Bagaimana kalau bunga-bunga itu mati?" tanya Oliver lagi sembari menyeringai licik dia mendekatkan wajahny
Alesha begadang malam ini, dia sibuk dengan semua perlengkapan biji-bijian bunga miliknya. Sibuk memberikan nama tiap kotak, hingga tak terasa jam menunjukkan pukul setengah dua belas tepat. Gadis itu mengembuskan napasnya pelan menutup kotak terkahir. "Selesai!" seru Alesha tersenyum lega. "Sekarang aku ingin lihat, apa saljunya sudah menipis?" Alesha berjalan membuka gorden jendela, dia melihat ke arah luar di mana salju benar-benar sudah menipis. "Akhirnya... Besok aku akan meminta bantuan Bibi Ruitz," gumam Alesha kesenangan. Telapak tangannya mengusap perutnya yang masih datar, hatinya terasa nyeri tiap kali memikirkan anak ini. Entah bagaimana rupa laki-laki yang telah tega melakukan hal keji itu pada Alesha, ingatannya membuat Alesha bersedih. Dia tidak tahu bagaimana nanti kalau anak ini lahir? Apa dia akan mencintainya? Atau membencinya? "Mama akan berusaha menjagamu. Karena kau tidak bersalah, tapi... Maafkan Mama, kadang Mama marah padamu." Alesha mengusap air matany