"Dek, biar mas saja. Kamu makan dulu gih!"
Lili menoleh, memandangku dengan tatapan nanar. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung. Lili jatuh tak sadarkan diri.
"Lili ...!" teriakku histeris.
Kubopong tubuhnya masuk ke dalam rumah. Mendengar teriakanku ibu dan Icha muncul dari balik pintu. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
"Apa yang ibu lakukan pada Lili, Bu? Ibu tahu bukan Lili masih sakit? Kenapa ibu lakukan ini, Bu?!"
Aku menatapnya tajam dengan netra berkaca.
"Ibu gak lakuin apa-apa, Nak."
"Bohong!!" bentakku.
Kulihat wajah ibu dan Icha menunduk ketakutan, seakan merasa bersalah.
"Ibu pasti nyuruh dia kan? Kalian kenapa tega sekali lakukan ini?! Padahal kalian tahu Lili sedang sakit!"
"Mas, budhe gak bilang apa-apa kok, cuma bilang cucian belum dijemur, itupun gak ada kata-kata nyuruh Mbak Lili," kilah Icha.
"Diam kamu, Cha!! Lebih baik kamu pulang saja sana! Kalau disini cuma jadi benalu!! Tidak peka sama saudara sendiri! Pergiii ...!!"
Emosiku sudah membuncah ke ubun-ubun. Untuk kali ini aku tak peduli apa reaksinua. Benar, Icha memang anak bulikku, tapi dari kecil dia sudah diasuh oleh ibu, sampai lulus sekolah.
"Azzam, kenapa kamu ngusir Icha? Ingat, dia adikmu, Zam--"
Netra ibu tampak berkaca-kaca. Sedangkan Icha sudah berlari ke dalam kamarnya.
Tak kuhiraukan ucapan ibu. Aku gak peduli. Yang terpenting sekarang adalah Lili. Segera kubawa Lili ke mobil. Aku takut terjadi apa-apa terhadapnya. Aku sudah kehilangan anakku. Aku tak ingin kehilangan istriku.
"Zam, ibu ikut ya ke rumah sakit. Ibu khawatir sama Lili," ujar ibu dengan nada memelas. Seakan telah lupa apa yang ibu lakukan pada Lili sebelumnya.
"Tidak usah, Bu. Ibu di rumah saja. Gak usah campuri urusanku dengan Lili."
"Tapi, Zam--"
"Tolong Bu, jangan sampai aku membentak ibu lagi!"
Ibu menunduk.
"Dan katakan pada Icha. Dia harus pergi sebelum aku pulang. Tak ada gunanya juga dia disini!"
"Zam, kamu tega?"
"Ya!! Ibu dan Icha pun tega memperlakukan Lili dengan buruk!"
"Zam, ibu minta maaf. Ibu khilaf."
Gegas kulajukan mobilku tanpa menghiraukan lagi ucapan ibu. Maafkan anakmu ini, Bu. Aku bukannya tega pada ibu, tapi-- ah sudahlah, aku ingin fokus pada kesembuhan istriku lebih dulu.
Sampai di rumah sakit. Lili langsung ditangani oleh pihak medis.
***
Kupandangi wajah pucat wanita dihadapanku itu. Ia tampak damai dalam tidurnya, walau sesekali terdengar merintih.
Kubelai wajahnya dengan lembut. Wajah ayu yang dua tahun terakhir ini menemani hari-hariku. Aku tak pernah menyangka akan mengalami situasi sulit seperti ini. Kehilangan anak disaat usia pernikahan masih terbilang muda. Pasti Lili sangat terguncang karenanya.
Di sudut matanya masih tersisa genangan air mata, bukankah itu menandakan dalam tidurnya pun ia masih terasa sedih dan tertekan.
Kuciumi wajahnya dengan lembut. "Dek, sadarlah. Maafin mas selama ini sudah mengabaikanmu. Bangunlah sayang, mas janji akan lebih perhatian padamu."
Hening. Lili masih saja terdiam. Matanya enggan terbuka.
"Maafin semua kesalahan ibu padamu, ya dek. Mas yang salah karena tak tegas terhadap ibu. Sampe menyebabkan kamu jadi seperti ini."
"Apa maksudmu?" Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Bang Panji--kakak Lili datang bersama temannya.
"Aku baru tahu dari temanku yang bekerja rumah sakit ini kalau Lili operasi disini dan bayinya meninggal?!" pungkasnya lagi.
"I-iya, Bang."
"Kenapa kau gak kabari aku kalau calon keponakanku meninggal, hah?! Kau tidak menganggapku sebagai kakak?!"
"Bukan begitu, Bang. Tapi memang aku lupa ngabari abang. Maaf."
"Apa yang terjadi sampai bayi Lili gak bisa diselamatkan?"
"Anu bang, sebenarnya ini semua salahku. Aku tidak langsung pulang saat Lili menelepon dan bilang perutnya sakit. Pas sampai rumah Lili sudah gak sadarkan diri dan pendarahan. Maafin aku, bang."
"Ikut aku keluar sekarang!" sergahnya lagi.
Mas Panji menatapku tajam, dadanya terlihat naik turun, tangannya mengepal. Wajar saja ia marah, Lili adalah adik satu-satunya Bang Panji.
Aku menurut, mengikuti langkah Bang Panji yang tergesa-gesa. Entah dia mau membawaku pergi kemana.
"Bang, kita mau kemana?" tanyaku.
Tanpa sadar kami sudah sama-sama berada dibelakang rumah sakit. Belakang rumah sakit masih rimbun ditumbuhi oleh semak belukar serta tanaman liar yang lain.
Buuugg ...!
Tanpa ba-bi-bu lagi Bang Panji memukul wajahku.
"Bang, ini ada apa?" tanyaku membela diri.
"Kau apakan adikku, hah?" pekiknya lagi sembari mencengkeram kerah bajuku.
Ia mendorongku hingga menempel di tembok pembatas.
"Bang, ampun bang! Maafin aku bang, aku gak bermaksud--"
Buuugg ...!
Lagi-lagi kepalan tinju mengenai wajahku. Panas dan perih terasa, kepalaku jadi kliyengan karenanya.
"Istri sedang hamil besar kau tinggal-tinggal sendiri? Bahkan saat dia mengeluh sakit, kau tak langsung pulang?! Laki-laki macam apa kau??"
Buuugg ...! Kali ini dia memukul perutku hingga rasanya runyam ingin muntah m
"Pukulan ini saja tak cukup untuk membalas perbuatanmu! Kamu itu memang tak becus jadi suami! Menyesal aku merestui hubungan kalian!"
"Bang, biar aku jelaskan dulu!"
Plaaakk!
Ditambah lagi sebuah tamparan mengenai wajahku, jadi memar dan babak belur wajahku ini. Mungkin memang aku pantas mendapatkan semuanya karena tak mengindahkan Lili sebagai istri.
"Tak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah sangat gamblang! Kau mengabaikan adikku hingga menyebabkan satu nyawa meninggal! Dan kau tak memberi kabar apapun terhadapku kalau Lili dirawat di rumah sakit. Kalau saja temanku tak memberi tahu tentang kondisi adikku, sampai matipun aku tidak tahu. Laki-laki macam apa kau ini? Kau ingin membuat adikku sengsara ya?!"
"Tidak bang, itu tidak benar!"
"Bulsh*t!!"
Bang Panji meninggalkanku begitu saja dalam kesakitan. Duh, bisa gawat kalau Bang Panji salah paham. Bisa-bisa aku dipukuli habis olehnya.
Aku berlari mengejar Bang Panji yang langkahnya cepat.
"Bang, tunggu, Bang. Aku minta maaf. Maaf, Bang. Aku bisa jelaskan semuanya."
Bang Panji menampik tanganku, dan bergegas jalan lebih cepat menuju kamar perawatan Lili.
Ah, sepertinya dia benar-benar marah. Langkahku setengah berlari untuk mengejar Bang Panji.
Pintu ruang perawatan terbuka. Aku melihat pandangan yang tak biasa. Lili sudah bangun. Dan laki-laki disampingnya--teman Mas Panji, sedang berusaha menyuapi Lili makan. Meskipun kulihat mulut Lili masih terkatup rapat, enggan menerima suapan itu.
Apa yang terjadi? Apakah mereka saling kenal?
Seketika dadaku bergemuruh panas, ada yang nyeri di ulu hati."Dek, kamu sudah bangun?"Aku berusaha menetralkan rasa, agar mereka tak tahu kalau aku tengah cemburu."Sini Mas, biar aku saja yang suapin istriku," lanjutku sembari mengambil piring darinya.Bang Panji masih menatapku tajam. Begitupun Lili, dia hanya memandang kami secara bergantian."Wajahmu kenapa, Mas?" tanyanya dengan lirih.Senyumku mengembang mendengar perhatian dari Lili, dia masih mengkhawatirkanku."Tidak apa-apa, dek. Ayo makan dulu.""Aku gak mau mas," tolaknya."Tapi dari tadi kan belum makan.""Sini, biar aku saja yang nyuapin adikku makan."Bang Panji meraih piring itu dariku."Kalian pergilah keluar dulu, kami mau bicara empat mata," tukas Bang Panji.Bang Panji pasti ingin mengorek informasi tentang Lili saat berada di rumah. Duh, mampus aku kalau Lili mengadukan semuanya.Dengan berat hat
Lili bangkit lalu meraih tanganku dan menciumnya dengan takzim."Mau apa kamu datang kemari?" tanya Bang Panji menghenyakkanku. Tiba-tiba ia muncul dari dalam."Aku mau jemput Lili pulang, Bang.""Tidak. Biar dia disini sama aku. Kamu gak becus jadi suami!""Tapi bang, Lili istriku, dia tanggung jawabku. Dia harus ikut suaminya kemanapun suaminya pergi.""Tanggung jawab kamu bilang? Tanggung jawab macam apa? Kalian tega manfaatin tenaga Lili, udah kayak babu di rumah sendiri! Kemana aja kamu selama ini?!""Maaf bang, tapi aku akan memperbaiki kesalahanku.""Bang, Mas, tolong jangan ribut. Tak enak didengar tetangga," sela Lili menengahi perdebatan kami. Suaranya masih terdengar lemah, tapi mampu membuat kami bungkam.Aku duduk di teras ubin tanpa dipersilahkan. Hatiku benar-benar kalut. Rasanya kecewa, kenapa Lili mau menuruti Bang Panji untuk pulang ke rumah ini, padahal ada rumah suaminya."Bang, kenapa gak bilan
Aku menghela nafas dalam-dalam."Maafin mas, dek. Selama ini mas sudah salah. Tapi yakin kamu gak mau pulang, Dek?"Lili mengangguk. Mataku terasa panas, hampir saja air mata ini luruh, tapi malu pada wanita di hadapanku. Mungkin ia memang butuh waktu untuk sendiri. Pasca kehilangan bayinya, aku yakin Lili sangat terguncang."Ya sudah, kalau kamu gak mau pulang. Mas yang akan ikut tinggal disini."Lili masih terdiam."Mas akan ambil baju-baju Mas dan juga bajumu. Jadi mas pulang dulu, nanti mas kesini lagi."Aku berpamitan dengan Lili dan juga Bang Panji untuk pulang sebentar.***"Zam, kamu udah pulang?" tanya ibu.Ia tersenyum saat menyambutku. Kucium punggung tangannya dengan takdzim. Aku berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamar."Zam, tadi ibu ngambil baju di anaknya Bu RT, nanti tolong bayarin ya, duit ibu udah habis," sahut ibu. Tiba-tiba ia muncul dari balik pintu."Ibu ambil baju
"Bu, please! Ibu jangan seperti anak kecil begini. Aku cuma sementara waktu saja ke tempat Bang Panji. Aku ingin memperbaiki dulu hubunganku dengan Lili. Ibu tahu, rumah tanggaku sudah diambang kehancuran. Aku ingin mendapatkan kepercayaan Lili lagi.""Zam, wanita itu gak hanya satu. Banyak wanita yang lebih cantik dan kaya dari Lili, ibu sangat yakin, kamu pasti bisa mendapatkan wanita lebih baik dari Lili.""Cukup Bu, jangan menambah keruh suasana. Kenapa ibu berpikir seperti itu sih! Aku harus mencari wanita lain begitu? Tidak Bu! Bagiku pernikahan cukuplah sekali seumur hidup dan aku akan berusaha setia pada istriku. Wanita di luaran sana memang banyak, tapi yang kucintai hanya Lili, Bu. Aku gak ingin kehilangan dia. Sudah cukup aku kehilangan bayiku," ucapanku terhenti, seperti ada yang tercekat di tenggorokan."Bayiku meninggal, istriku sakit dan sekarang dia memilih tinggal bersama kakaknya. Tapi apa ibu peduli pada kami? Tidak!
Glek! Aku tak mampu berkata-kata mendengar ucapan Lili. Dia terlihat begitu terluka. Bahkan tangannya sampai gemetaran."Maaf dek, mas memang gak bisa mengembalikan anak kita. Tapi mas ingin memperbaiki kesalahan ini. Tolong.""Pergilah, Mas! Pergiii ....! Aku ingin sendiri!" teriak Lili dengan histeris."Ada apa ini malam-malam ribut?"Bang Panji muncul dari balik pintu. Menatapku dengan tajam. Bang Panji langsung mendorong tubuhku hingga ke tembok."Kenapa kau membuat adikku menangis lagi hah?!" bentak Bang Panji, ia mencengkram kuat krah bajuku, sedangkan tangan satunya sudah mengepal kuat hendak melayangkan tinju ke arahku.Aku diam, terserah bila Bang Panji ingin menghajarku lagi habis-habisan. Hatiku lebih sakit memandang Lili menangis tergugu di sudut ranjang. Kedua telapak tangan menutupi wajahnya.Cengkraman Bang Panji terlepas sendiri olehnya. Laki-laki yang lebih tinggi dariku itu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Oh, ada tamu. Kenapa gak masuk dulu?" sela Bang Panji.Ia turun dari boncengan motor Raffa."Panji, aku pulang duluan.""Okey"Motor Raffa menjauh dari halaman. Pria itu mungkin sungkan karena ada keluargaku. Biasanya mereka--Bang Panji dan Raffa usai pulang kerja, akan berdiskusi hingga malam.Sebenarnya aku kesal, kedatangan ibu malah membuat kecanggungan baru diantara kami. Padahal sebentar lagi, Lili bisa luluh padaku. Tapi sekarang? Aaarggghh kacau!Tapi jujur, aku mengapresiasi keberanian ibu yang mau minta maaf dan mengakui kesalahan ibu. Cuma aku tak mengerti, apakah ibu benar-benar tulus meminta maaf?"Kalian mau sampai kapan tinggal disini merepotkan abangmu?" tanya ibu. Nada bicaranya sungguh lembut."Tidak merepotkan kok, ini juga masih rumah Lili," sela Bang Panji.Lili hanya menunduk. Sedangkan Bang Panji masuk ke dalam, tak lama keluar lagi sembari membawa minuman. La
Wajah ibu tampak tegang mendengar jawabanku."Hahaha, bercanda Bu. Kenapa tegang gitu?" timpalku lagi sambil tertawa.Mas Azzam memandangku dengan tatapan bingung.Ya, ini baru permulaan Bu, aku akan mengalah dulu. Takkan kutunjukkan aku berubah secara drastis. Pelan-pelan saja, kita nikmati permainannya. Rasanya ingin juga memberi pelajaran kepada ibu, juga pada adik sepupunya yang tak tahu diri itu. Sebenarnya aku kurang sreg dia ada disini. Walaupun ibu mertuaku bilang Icha sudah seperti anaknya sendiri karena telah mengasuhnya sedari kecil, tapi tetap saja Icha dan Mas Azzam bukanlah mahram.Baiklah, akan kuuji juga ketulusan suamiku, sampai sejauh mana dia mencintaiku dan mau menghargaiku sebagai seorang istri."Ya sudah, karena semua orang capek, mas pesankan makanan di luar saja ya. Kamu gak usah masak, istirahat saja, pungkas Mas Azzam menengahi."Ide bagus, Mas.""Kamu mau pesan apa, sayang?""Emmmhh,
"Apa maksud mbak ngomong seperti itu?""Ya kamu gak mungkin kan selamanya hidup menumpang seperti ini?""Ish! Awas kau mbak! Kulaporkan pada ibu kalau Mbak sudah berani macam-macam."Gadis itu menghentakkan langkah kakinya kasar, menuju ke kamar ibu mertuaku. Pasti ingin mengadu.Tak butuh waktu lama dua orang itu berdiri di belakangku. Raut wajah ibu sudah terlihat tak bersahabat."Ada apa, Bu? Apa ibu mau marah-marah? Gak baik lho buat kesehatan, nanti kena serangan jantung.""Kamu nyumpahin ibu?""Enggak kok, aku cuma memperingatkan ibu saja. Ngomong-ngomong ada apa, Bu?""Hmmm," ibu tampak salah tingkah, mungkin tidak jadi marah gegara ucapanku tadi."Tolong setrikain baju ibu. Ibu mau pergi ke arisan," katanya kemudian."Budhe, aku ikut ya! Males kalau di rumah," sergah Icha.Baguslah kalian berdua pergi. Kesempatan buatku untuk panggil Bang Panji untuk memasang kamera tersembunyi."