Kantor InstaFood cukup minimalis jika dilihat dari luar. Namun, saat Raihanah masuk, ada banyak orang yang berlalu lalang di lobi, entah membawa dokumen, troli makanan, gadget, dan segelas kopi. Hari yang sangat sibuk. Namun, mereka masih sempat menoleh padanya, menatap Raihanah aneh seperti melihat orang asing yang tiba-tiba masuk ke wilayah mereka, membawa rantang pula. Seisi lobi bernuansa Pinjerest, tenang dan estetik. Dipenuhi warna putih dan warna-warna pastel. Ia mendorong pintu kaca yang di atasnya tertulis ‘pusat informasi’ mungkin sama dengan meja resepsionis. Namun, baru kali ini Raihanah menemukan meja resepsionis yang berada dalam ruangan yang dikelilingi dinding kaca sehingga mudah melihatnya dari luar. Di dalam ruangan transparan itu, ada beberapa sofa dan meja juga, seperti ruang tunggu. “Assalamu’alaikum, Mbak.”“Wa’alaikumsalam, ada yang bisa kami bantu, Bu?” Untuk sejenak petugas yang berseragam sangat rapi di balik meja menengok ke luar. “Sudah ada kartu akses
Raihanah baru saja melepas mukenanya ketika terdengar suara pintu yang terbuka. Tubuhnya dengan cepat merespons dan buru-buru keluar kamar. Seperti dugaannya, ia mendapati Fathul yang berjongkok sambil melepas sepatu. Pria itu mengangkat mata sekilas, meliriknya tajam lalu bangkit, menghampiri Raihanah sembari memberikan rantang dan bungkusan. Baru kali ini Raihanah merasa gugup ketika menerima bekas bekal. Sebab besar kemungkinan isi rantang dan bungkusan itu masih utuh. “Oh, ini ringan.”Ia cukup terkejut. Ditatapnya Fathul dengan mulut menganga. Satu pertanyaan muncul di benaknya. Semua makanan ini tidak dibuang, ‘kan? “Sisanya saya simpan dan makan di sore hari.”Raihanah tidak menemukan tanda kebohongan di wajah Fathul. “Ana pikir antum menolak untuk memakannya.”Kedua alis pria itu mengerut. “Kalau berpikir begitu, kenapa memasak untuk saya? Ah, kenapa sampai mengantarkan makanan ke kantor?”Di luar dugaan, Raihanah tersenyum. Bukan senyum canggung yang sedang mencari jawab
Raihanah mengangguk. Seumur hidupnya Fathul tidak pernah diberikan catatan belanjaan seperti ini, apalagi oleh seorang wanita yang tinggal di rumahnya. “Antum mesti tahu siklus perputaran uang yang antum kasih ke ana. Biaya 500 ribu seminggu itu ana pakai untuk bahan-bahan masakan, buah, dan barang-barang sepele di dapur.”“Kenapa tidak ada kopi dan pel?” Seingatnya, Fathul tidak pernah membeli pel. Layanan jasa cleaning service yang dia panggil selalu membawa alat pembersih sendiri. “Oh, itu ana beli dengan uang sendiri.”Desahan napas Fathul melantun agak keras. “Semua yang dibeli untuk rumah ini pakai uang di ATM saja bahkan untuk kebutuhan kamu, pakai saja.”Ada perasaan yang mengganjal ketika Fathul tahu Raihanah hanya memakai uang di ATM itu untuk bahan masakan. Ia pikir wanita itu akan memakainya untuk membeli apa saja yang dia inginkan. Dia bukan pria pelit yang membiarkan perempuan yang tinggal di rumahnya memakai uang sendiri. “Tapi saldonya banyak. Itu bukan tabungan pr
Raihanah memakai gamis hitam dan hijab yang serasi dengan gamisnya. Ketika ia mengangkat ujung gamisnya untuk menghindari air menggenang di lantai pasar, celana lebar yang dipasangkan dengan kaos kaki terlihat. Di lorong panjang itu, terdapat banyak ikan yang disusun di dalam akuarium atau dalam keranjang berisi air. Orang-orang bebas memilih, mau yang masih hidup atau yang sudah mati. Raihanah tampak antusias, seperti pelanggan tetap yang sudah lama tidak berkunjung. Ia beberapa kali menunduk sambil memperhatikan deretan ikan dan hewan-hewan laut itu, kali ini tanpa mengangkat ujung gamis, membiarkan kain itu terkena lantai yang becek dan basah. Fathul sampai gemas karena ujung gamisnya sudah basah. Untung saja berwarna hitam sehingga nodanya tidak terlihat. Ingin sekali dia mengangkat ujung baju wanita itu. “Ana mau masak tumis cumi sambal hitam, udang balado, dan ikan bandeng bakar. Antum suka?”Dari kemarin-kemarin, wanita ini selalu membicarakan soal makananan yang Fathul suk
“Sudah merasa nyaman?”Fathul menghentikan suapannya dan mengalihkan perhatian pada Raihanah yang sedang menuangkan air ke gelas pria itu. “Ana masak diam-diam dan memberikan memo untuk antum selama lima hari ini, supaya antum bisa punya ruang lebih.”Lagi-lagi Fathul hanya mampu mengangguk tanpa tahu harus menjawab apa. Ia bahkan sempat berpikir untuk meminta maaf, sebab dirinya seperti orang yang tidak tahu berterima kasih.“Antum tidak perlu merasa berutang. Ana suka melakukan semua itu.”“Suka?” Tanpa sadar Fathul menaikkan sebelah alis. “Ana suka masak dan lebih suka lagi jika ada orang yang makan masakan ana.”Fathul menatap wanita itu lekat-lekat. Matanya berbinar antusias dan senyumnya amat cerah. “Antum boleh bilang mau makan apa, ana akan berusaha masakin.” Lagi-lagi Fathul terbius. Wanita itu memandangnya dengan senyum manis yang menyenangkan. Gigi-gigi putihnya yang rapi terlihat manis. Bolehkah dia begini? Bolehkah dia merasa nyaman akan kehadiran wanita asing ini?
Fathul membuka pintu lobi instaFood dan mendapati suasana berbeda dari biasanya. Interior lobi masih sama, serba putih, rapi, dan bersih. Hanya saja terasa lebih sejuk atau mungkin perasaannya yang menjadi lebih ringan. Pekerjaan super banyak dan jadwal yang padat tidak membuat mood-nya buruk. Apa karena sarapan yang lengkap dan jus yang dia minum pagi ini? Atau karena selama dua hari di akhir minggu ia punya jadwal berbeda dari biasanya? Selama dua hari, akhir minggunya dipenuhi dengan belanja dan mengisi stok kulkas, membersihkan rumah dan menemukan kegiatan-kegiatan yang menarik. Merawat rumah ternyata tidak seburuk itu. “Eh, baru datang?” Toro sudah menunggu di depan ruangannya yang terkunci. Pria yang sudah beristri itu bersedekap dan memicing heran. “Tumben telat.”“Masih ada waktu sepuluh menit.” Fathul melirik arloji di pergelangan kiri sambil membuka pintu ruangannya. “Biasanya lu datang 30 menit lebih awal, bahkan datang lebih pagi daripada satpam.” Toro mengekori Fathul
Untuk kedua kalinya, Raihanah menapaki lantai lobi InstaFood. Tujuannya langsung mengarah ke ruangan yang dikelilingi oleh kaca transparan. Petugas yang sama yang ia temui dulu langsung terkejut sesaat ketika Raihanah masuk. Seperti kata Fathul, mereka sudah tahu kalau Raihanah adalah istri pria itu. Jadi, Raihanah merasa dirinya tidak perlu berhati-hati untuk menghindari gosip. “Pak Fathul ada, Mbak Rachmi?” Raihanah tak pernah melupakan senyum cerahnya yang melunturkan kekesalan Rachmi saat itu juga.Amboi, suaranya merdu kali! Rachmi sampai menahan napas. Pantas saja Pak Fathul kepincut. “Sa-saya telepon dulu, Bu.”Raihanah tersenyum tipis, bergeser dan mempersilakan pengunjung lain yang berada di belakangnya maju. Rantang yang dibungkus kain putih ia jaga dalam pelukannya. “Pak Fathul akan turun sebentar lagi, Bu.” Rachmi jadi canggung. Dia memang menyukai Pak Fathul sejak dulu, berharap dilirik dan menjadi pendamping pria itu, tapi agaknya cukup sulit untuk membenci wanita ya
Raihanah mampir ke minimarket di samping gedung apartemen sehabis mengantarkan makan siang. Belanjaannya tidak banyak. Ia cuma membeli beberapa camilan dan biskuit cokelat. Mungkin bagus untuk pelengkap teh sambil mengobrol dengan Fathul. Ia akhirnya sampai di apartemen. Hendak menaruh sepatunya ke rak di samping pintu ketika ia menemukan high heels yang tergeletak di depan pintu. Sepertinya ia tidak pernah melihat sepatu ini sebelumnya. Saat meninggalkan apartemen, benda itu tidak ada. Cepat-cepat Raihanah masuk dan memeriksa setiap ruangan, lalu tahu-tahu menemukan seorang wanita yang sedang berdiri di depan kulkas. Wanita itu menoleh. Rambut hitam panjang bergelombang hasil salonnya dan riasan yang semakin menambah kecantikannya. Raihanah tak lantas menanyakan identitas wanita itu. Karena dia tidak seperti perampok yang hendak menjarah seisi apartemen ini. “Ah, kamu istrinya?” Raihanah bisa mencium kekesalan dari pertanyaan itu. “Anda siapa?” Raihanah bertanya dengan hati-hat