Share

Istri Siri Tuan Pewaris
Istri Siri Tuan Pewaris
Penulis: Komalasari

Demi Seratus Juta

“Tumben kamu telat, Ranum. Memang, kamu dari mana saja, Nak?”

Ranum yang baru saja masuk ke kamar sang nyonya, sontak menunduk dan memilin jari. 

“Maaf, Bu. Tadi, ada telepon dari ibu saya,” jawabnya, menjelaskan.

Gadis 22 tahun itu berdebar kencang, mengira dirinya dalam masalah.

Sungguh, dia sudah terlalu lelah jika ada masalah lain di kerjaanya. Padahal, telepon ibunya tadi sudah meruntuhkan semangat gadis itu.

Namun, ternyata  dia salah.

Nyonya Nindira yang masih duduk di kursi rodanya itu, justru mengembuskan napas pelan. “Ada apa? Apa ada masalah dengan ibumu?” tanyanya lagi.

Ranum yang awalnya menunduk, segera mengangkat wajah. “Saya … saya ingin bicara sesuatu dengan Anda, Bu,” ucapnya ragu.

“Tentang apa?”

“Ibu saya sedang menghadapi masalah keuangan,” jawab Ranum pelan dan sopan. “Sepulang sekolah, adik saya menabrak seseorang. Korbannya mengalami luka berat, bahkan sampai harus dioperasi. Sebagai bukti pertanggungjawaban, ibu saya bersedia membiayai seluruh biaya operasi pendarahan otak yang dialami orang itu. Dia tidak tahu jika jumlahnya sangat besar,” jelas wanita muda, dengan rambut kepang samping itu.

“Astaga.” Nindira kembali mengembuskan napas pelan. “Berapa usia adikmu?” tanyanya.

“17 tahun, Bu,” jawab Ranum, tetap dengan sikap yang teramat sopan.

“Muda sekali! Lalu, berapa biaya yang dibutuhkan?”

“Total keseluruhan biaya adalah sekitar 80 juta. Mungkin bisa lebih besar, andai ada tindakan lain. Saya tidak tahu harus mencari ke mana uang sebanyak itu.”

Mata indah Ranum mulai berkaca-kaca, membayangkan kesulitan serta beban berat yang dihadapi keluarganya.

Sebagai anak sulung, dia merasa bertanggung jawab membantu meringankan kesulitan sang ibunda, yang merupakan seorang janda.

Di sisi lain, Nindira menggumam pelan.

Hanya saja, wanita paruh baya itu tiba-tiba menyungingkan senyum kecil. “Aku akan memberikanmu 100 juta. Bagaimana?” tawarnya.

“Se--seratus juta? Benarkah, Bu?” Ranum segera menyeka air mata yang menetes di pipi.

Untuk sesaat, wanita muda itu merasa bahagia. Namun, raut wajahnya tiba-tiba kembali berubah sendu. “Tapi, bagaimana saya bisa mengembalikan uang sebanyak itu? Entah harus bekerja berapa lama di sini,” pikirnya ragu.

Nindira kembali tersenyum kecil.

Memutar kursi roda, kini dia menghadap pada Ranum. “Jangan khawatir. Aku memberikan uang itu tanpa berharap dikembalikan. Namun, tentu saja dengan satu syarat,” ujarnya tenang.

“Syarat?” ulang Ranum agak ragu. “Apa syaratnya?” Wanita muda itu menatap gugup sang nyonya besar.

Lain halnya dengan Nindira yang tetap terlihat tenang. “Akan kuberitahu besok, setelah kusiapkan uang sebesar seratus juta untukmu,” sahut wanita paruh baya tersebut, diiringi senyum kecil. Dia kembali membalikkan kursi roda, jadi menghadap ke jendela kaca.

Ketenangan Nindira berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Ranum.

Wanita muda itu tak sabar menunggu hingga esok datang. Pikiran si pemilik rambut panjang tersebut makin tak menentu. Terlebih, setelah mendengar curahan hati ibunya yang mengatakan harus segera melunasi biaya operasi.

“Aku akan mengusahakan uang itu, Bu. Mudah-mudahan Bu Nindira benar-benar memberi pinjaman. Ibu tenang saja, ya. Jangan banyak pikiran. Nanti malah sakit,” ucap Ranum keesokan harinya, saat berbicara di telepon dengan sang ibunda. Setelah berbasa-basi sebentar, dia mengakhiri perbincangan. Ranum bergegas menuju ke kamar Nindira.

Ternyata, di dalam kamar tak hanya ada Nindira. Di sofa sudut ruangan, tampak seorang pria tampan tengah duduk penuh wibawa, dengan tatapan dingin tertuju pada Ranum yang terlihat kikuk.

Dia adalah Windraya Sasmitha, putra sulung Nindira yang berprofesi sebagai pengusaha.

Entah mengapa, sejak awal pria itu selalu bersikap dingin padanya.

“Bagaimana, Ranum?” tanya Nindira mendadak, menyadarkan Ranum dari lamunan, “Apa ibumu sudah menghubungi?”

“Sudah, Bu. Beliau diberi waktu hingga sore ini, untuk melunasi seluruh biaya operasi dan lain-lain,” jawab Ranum resah.

“Oh, baiklah.” Nindira mengalihkan perhatian pada sang anak, yang belum mengubah posisi duduk. “Bagaimana, Win?” tanyanya.

“Mama tahu aku tidak suka dengan permainan seperti ini,” sahut Windraya datar.

Pria tampan dengan rambut tersisir rapi ke belakang itu menunjukkan raut tak bersahabat. Membuat Ranum berpikir negatif.

“Saya rela bekerja di sini tanpa dibayar hingga bisa melunasi uang pinjaman itu, Pak.” Ranum sebenarnya tidak mengerti percakapan antara ibu dan anak di depannya. Namun, dia memberanikan diri demi biaya pengobatan.

“Aku tidak bicara denganmu!” Windraya, menanggapi dingin ucapan Ranum. “Lagi pula, ini bukan tentang uang seratus juta.”

Pria berkemeja putih tersebut beranjak dari sofa, lalu mendekat pada Nindira. “Mama boleh memberikan pinjaman pada gadis itu, tapi tanpa ada persyaratan macam-macam,” tegasnya.

“Bukankah kita sudah membahas ini semalam, Nak?” Nindira menatap lembut sang anak.

“Mama sudah tahu jawabanku,” tegas Windraya.

“Kamu lihat sendiri seperti apa kenyataannya saat ini.”

“Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, Ma,” tegas Windraya. “Apa pun yang terjadi pada pernikahanku dengan Mayla, bukanlah urusan Mama. Jadi, tolong jangan ikut campur,” tegasnya lagi, dengan nada teramat serius.

“Ayolah, Win. Ini sudah hampir dua tahun,” bujuk Nindira, tak patah arang.

“Sudah kukatakan bahwa itu bukan urusan Mama,” tegas Windraya lagi. “Cukup untuk pembicaraan ini.” Dia membalikkan badan, bermaksud melangkah ke dekat pintu.

“Mama hanya ingin kamu bahagia, Win,” ucap Nindira lagi, menghentikan gerak sang putra yang sudah akan membuka pintu.

Windraya menoleh, lalu mengembuskan napas berat dan dalam. Dia menggeleng pelan.

“Usia Mama makin tua dan terlihat sangat menyedihkan seperti ini. Tadinya, Mama berpikir bahwa Mayla bisa diandalkan. Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Istrimu lebih peduli pada diri sendiri. Apa lagi yang wanita itu lakukan selain pergi berlibur demi menyenangkan dan … apa katanya? Menjaga kewarasan.” Nindira tersenyum kecut, lalu mengalihkan perhatian pada Ranum, yang berdiri dengan raut tak nyaman karena menyaksikan perselisihan ibu dan anak itu.

Meskipun paham dengan apa yang tengah dipermasalahkan mereka, tetapi Ranum tak memiliki wewenang untuk menyimak secara langsung.

“Ambilkan tas itu,” suruh Nindira, sambil mengarahkan pandangan sekilas pada tas jinjing di kasur.

Ranum mengangguk ragu. Dia melakukan apa yang Nindira perintahkan.

“Bukalah,” suruh Nindira lagi.

Ranum kembali menuruti apa yang wanita itu katakan. Seketika, jantungnya seperti berhenti berdetak, melihat uang dalam jumlah sangat banyak dalam tas tadi. Dia jadi gemetaran karenanya.

“Uang itu berjumlah 100 juta. Kamu tidak perlu mengembalikannya. Namun, ada syarat yang harus kamu lakukan, yaitu menikah dengan Windraya.”

Deg!

"Me--menikah?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
AkiraYuki
Nasib jadi orang susah
goodnovel comment avatar
Titik pujiningdyah
minta tambahan lah, Num! jangan mau kalau cuma 100jt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status