Laras terduduk di atas ranjang setelah tubuh Sena menghilang di balik pintu. Laki-laki itu pergi begitu saja tanpa bicara sepatah kata pun padanya. Entah mengapa malam ini gadis tersebut memiliki keberanian untuk membalas tudingan lelaki itu. Laras tidak tahu bagaimana menghadapi sikap Sena yang berubah ubah. Laki laki itu membuatnya bingung. Terkadang Sena terlihat sangat manis, begitu peduli, dan seolah-olah suka berada di dekatnya. Namun, di satu waktu yang berbeda laki laki itu akan bersikap angkuh dan kasar seperti malam ini.Laras menghembuskan nafas dengan keras untuk sekedar melonggarkan sesak yang mencengkram dadanya. Mata gadis itu tertumbuk ke atas meja di depannya. Dia tertegun melihat kantong belanjaaan yang berisi dua kotak pizza. Laras menelan saliva ketika mengecek ponsel yang tersimpan di dalam laci. Ada tiga puluh panggilan tak terjawab dari Sena sejak dua jam yang lalu. Embusan napa Laras terasa berat. Laki-laki itu tidak bohong. Sena benar benar mengkhawatirnya.B
"Buka baju Anda." Suara Laras membuat Sena yang sedang menonton menoleh dan menatap gadis itu dengan dahi berkerut."Kok, malah bengong. Anda mau sembuh enggak?" Lagi, Laras berujar.Anehnya Sena menurut, tapi ketika laki laki itu sudah bertelanjang dada giliran Laras yang terdiam. Mata gadis terhipnotis melihat roti sobek milik Sena. Dia menelan ludah berkali kali membayangkan memegang otot kejang itu dengan tangan."Katanya mau obatin aku, malah diam. Pasti mikir yang tidak tidak."Laras tergagap. Rona merah tampak menjalari wajahnya. Gadis berdeham mendekat, begitu pun Sena. Entah mengapa jantung laki laki itu berdetak lebih kencang ketika jaraknya dengan Laras semakin dekat."Tengkurap!" Laras berkata.Dahi Sena berkerut. "Kenapa tengkurap? Apa tidak susah?""Memang harus tengkurap biar gampang."Laki laki itu berbalik, menuruti perintah Laras. Dia merasakan kasur melesak ke dalam karena gadis itu mulai naik ke atas ranjang. Sena berjengit ketika tangan gadis tersebut mengusap p
Sena terbangun di tengah malam. Aroma lavender yang berasal dari rambut Laras menyadarkan siapa yang kini tidur memeluk tubuhnya. Tangannya juga memeluk tubuh wanita itu posesif. Bibir laki laki itu mengulas senyum saat menyadari mereka telah melewati malam panas yang sangat indah. Masih terbayang wajah merona Laras saat dia mencumbu gadis itu penuh gairah. Sena menyentuh selembut mungkin. Meski bukan pertama kali, Sena tak mau sentuhannya menyakiti wanita tersebut. Dia merasa beruntung mendapat Laras yang tidak pernah disentuh laki laki lain. Berbeda dengannya yang sangat mahir membawa wanita ke surga dunia.Meski bukan yang pertama, Sena merasakan hal yang berbeda saat menyentuh Laras. Kepolosan, keluguan, dan kecanggungan wanita itu melayani membuatnya merasa sangat superior sebagai seorang laki laki. Lagipula, hanya Laras satu-satunya wanita yang dia sentuh dalam kondisi masih perawan. Berbeda dengan Eva yang sangat mahir bermain di atas ranjang.Ingatan tentang Eva embali mengac
Laras menggeliat ketika cahaya menerpa wajahnya. Wanita itu mengerjap beberapa kali sembari mengumpulkan kesadaran. Bibirnya mengelus senyum ketika merasakan tangan Sena memeluk pinggangnya posesif. Ketika bayangan kedekatan mereka melintas di benak, senyum wanita tersebut semakin lebar. Wajahnya juga terasa panas kala mengingat mereka bercinta lagi beberapa kali dalam semalam. Wanita itu menoleh ke arah Sena. Jemari lentiknya menyentuh wajah si laki laki perlahan. Gerakan jarinya menyusuri dahi, hidung, dan pipi. Laras tersenyum merasakan lembut bibir Sena ketika jemarinya menyentuh bagian tersebut. Bibir yang menjadi biang keladi membawanya terbang ke awang awang."Jangan lakukan itu." Suara serak Sena membuat Laras menarik jarinya. Dia membuang wajah, tetapi laki laki itu menahan dagunya. "Apa kau ingin menggodaku?" Kelopak mata Sena terbuka dan menatap lurus ke arah Laras.Mata Laras melebar dengan bibir sedikit terbuka, membuat Sena menggeram pelan. Sebuah kecupan kilat dilabuhk
Namun, kata kata itu hanya sampai di pangkal lidah Sena kemudian tertelan kembali saat bayangan Eva melintas di matanya. Laki-laki itu tidak tahu mengapa dia masih mempertahankan Eva, meski wanita tersebut telah membuatnya seperti seorang pengemis cinta. Padahal, kebersamaan selama kurang lebih dua tahun, dia tidak pernah merasakan perasaan nyaman seperti saat bersama Laras. Bukan sekadar nyaman, tetapi juga tenang.Meski belum terlalu lama berinteraksi dengan Laras, tetapi dia yakin sifat wanita itu memiliki hati yang baik. Laras begitu lembut dan mudah iba pada orang lain. Satu yang membuatnya semakin menyukai perilaku wanita itu, setiap kali dia mengajak Laras ke outlet barang barang branded, wanita itu malah berbisik di telinganya agar segera keluar. Laraa ngeri melihat harga yang tertera di tag price. Kalau saja Sena tidak bersikeras membeli beberapa buah tas branded dan gaun hasil rancangan desain ternama, mungkin mereka akan keluar dari tempat tersebut dengan tangan kosong. Jau
Akhirnya semua urusan Sena di negara kincir angin sudah selesai. Waktunya dia dan Laras kembali pulang. Dada lelaki itu penuh dengan tumpukan rasa bahagia. Sejak pulang sampai pesawat jet mendarat di bandar udara Soekarno - Hatta dia selalu menggenggam tangan Laras erat erat. Sena mulai berpikir menjadikan wanita itu satu satunya. Dia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Eva."Tuan, apa boleh aku menjenguk Ayah?"Sena mengecup tangan Laras dalam genggamannya. "Ayahmu sudah keluar dari rumah sakit karena keadaannya sudah pulih. Besok aku akan mengantarmu. Sekarang kita pulang dan beristirahat.""Benarkah?" Mata Laras berpendar cerah mendengar ayahnya baik-baik saja. "Terima kasih banyak, Tuan." Laras memeluk Sena erat-erat.Lelaki itu membalas pelukan Laras. Dia membubuhkan kecupan di pucuk kepala wanita itu. "Iya, aku sudah membelikan rumah untuknya dan menggaji asisten rumah tangga dan perawat untuk mengurus Ayahmu.""Aku berhutang budi pada Anda, Tuan," lirih suara Laras. Dia
Laras tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya masih tertuju kepada Sena. Lelaki itu telah membuatnya jatuh cinta sedalam dalamnya hingga rasanya wanita itu tidak menemukan celah untuk membencinya. Menilik ke belakang, Sena memang tidak menjanjikan apa apa. Lelaki itu membayar kegadisannya, juga mengeluarkan dari cengkeraman Indah agar bisa memberikan keturunan untuknya. Mana Laras tahu kisah mereka berkembang seperti sekarang. Harusnya dia sudah mengira tidak mungkin laki-laki tampan dan mapan seperti Sena tidak memiliki seseorang yang spesial."Nyonya Eva model brand ternama. Dia beberapa bulan ini tinggal di Paris. Tuan Sena yang sering ke sana mengunjunginya. Mereka memiliki banyak rumah. Ini rumah orang tua Tuan. Dia ke sini hanya kalau Nyonya tidak di rumah."Kata-kata Maria kembali melintas di tempurung kepala Laras. Pantas saja Sena pergi begitu saja karena Eva telah kembali. Perih kembali menikam dada wanita itu, membuat matanya panas lalu dengan cepat melinangkan genangan d
Salah satu yang paling disukai Laras ketika tinggal bersama ayahnya adalah, perhatian laki-laki itu yang semua untuknya. Sampai seusia sekarang sang ayah masih nyinyir mengingatkan tentang alerginya. Bahkan, laki-laki itu mengingatkan kepada asisten rumah tangganya apa apa saja yang boleh dan tidak untuk dimakan sang putri. Sepanjang malam dihabiskan dengan mendengarkan sang ayah bercerita tentang masa kecil Laras. Senyum wanita itu tidak memudar sepanjang ayahnya bercerita. Senyum itu terulas sampai dia tertidur.Laras bangun dengan perasaan lebih baik. Dia keluar rumah ingin menikmati suasana pagi di tempat tinggal sang ayah. Suhu sejuk dan udara yang segar, serta banyaknya pepohonan tabebuya yang berbaris di sepanjang jalan menjadikan sekitar komplek perumahan itu asri. Apalagi bila pohon itu berbunga di musim kemarau, sekitar bulan Juli sampai september, pasti terlihat lebih indah. Dulu sekali saat anak anak dia suka sekali berdiri di bawah pohon menunggu bunganya rontok dari dah