Pov Freya. "Kasihan ya? Badannya samapai kayak tengkorak hidup begitu." Sayup-sayup kudengar orang sedang bicara. "Sudah berapa lama dirawat di sini?" Terdengar suara lain menyahut. "Enam belas hari, Bu." Itu suara Suster Anisa. "Selama itu mereka hanya berdua? Nggak ada keluarganya sama sekali?""Pertama datang dalam keadaan pingsan, diantar seorang laki-laki, tapi setelah itu dia pergi dan tak pernah kembali. Sepertinya dia sengaja ditinggal, mungkin keluarganya tidak mau repot," jelas Suster Anisa. "Kok ada ya, orang setega itu? Menelantarkan keluarganya sendiri. Punya salah apa dia, sampai diperlakukan seperti itu?"Percakapan Suster Anisa, entah dengan siapa itu, membuat hatiku tercabik-cabik. Se-mengenaskan itu nasibku, sudah miskin, penyakitan, dibuang keluarga pula. Rasanya tak ada nasib yang lebih malang dari hidupku ini. Perlahan aku membuka mata, rasanya aku tak sanggup lagi mendengar mereka membicarakanku. "Bu Freya sudah bangun," sapa Suster Anisa Ramah. "Bapak da
Istri Serakah 35 Lima tahun berlalu, aku masih sendiri, belum bertemu wanita yang tepat. Aku putus komunikasi dengan, Freya. Bagiku perempuan itu sudah mati, gara-gara dia aku harus memulai semua dari nol. Kabar terakhir yang kudengar, dia menikah dengan pengusaha baru bara asal Kalimantan. Seperti keinginannya untuk menikahi pria kaya, agar hidup serba berkecukupan, tanpa harus bekerja keras. Entah seperti apa nasibnya sekarang. Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Kalau dia kaya, pasti sombongnya nggak ketulungan. Apalagi melihat hidupku yang seperti ini, bisa bersorak menang dia. Dengan Frida, aku masih menjalin komunikasi, tapi hanya sebatas masalah anak-anak, lain tidak. Frida sudah bahagia dengan suami barunya, tidak enak kalau aku masih menjalin komunikasi secara intens. Dari pernikahannya dengan Tomi, Frida dikaruniai anak laki-laki. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Hubunganku dengan anak-anakku sudah membaik, mereka tak lagi bersikap canggung padaku. Mereka juga tak per
Istri Serakah 37 Aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat, tubuh kurus kering hanya tulang berbungkus kulit, lemah terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Aku hampir tak mengenali siapa dia. Ini bukan manusia, tapi mayat. Kemana Freya si cantik dan seksi? Kemana wanita yang selalu tampil modis dan menggoda? Malangnya nasibmu, Freya. Hidup terlunta-lunta, digerogoti penyakit mematikan. Tinggal di kamar sempit dengan kasur lusuh, pula. "Bu Freya, ini ada Pak Farhan," ucap petugas Dinsos yang mendampingiku, dengan suara pelan. Wajah yang tadi menengadah ke atas, dengan tatapan kosong, kini beralih menatapku. Sumpah, benar-benar seperti tengkorak hidup. Mata cekung dengan tulang pipi yang menonjol dan gigi nampak geripis. Aku sampai ngeri. Kalau tidak didampingi petugas Dinsos, pasti aku sudah lari tunggang langgang. Benar-benar menakutkan Freya ini. "Farhan." Suara Freya terdengar parau, seperti suara nenek-nenek. Mengingatkanku pada tokoh jahat "Mak Lampir". "Pak Fa
Ku parkirkan mobil di pinggir jalan, tepat di sebrang jalan rumah lamaku, yang sekarang ditempati oleh mantan istri dan kedua anakku. Enam bulan kutinggalkan, rumahku tak banyak berubah, hanya bagian garasi beralih fungsi menjadi toko kelontong. Ada tumpukan tabung gas, galon air mineral berjejeran di sana. Kulihat ada beberapa pembeli yang datang, nampak Frida mantan istriku, sedang melayani mereka. Laris juga tokonya, gumamku dalam hati. "TOKO BAROKAH"SEDIA GAS, AIR MINERAL, SEMBAKO, DAN KEBUTUHAN RUMAH TANGGA LAINNYA. JUAL PULSA ALL OPERATOR DAN TOKEN LISTRIK.Begitu yang tertulis di baner depan toko Frida. Dia memang patut kuacungi jempol, pekerja keras dan pantang menyerah. Dia juga yang sudah setia mendampingiku dari nol hingga sesukses sekarang. Tapi sayang, pernikahan kami dihantam badai perceraian. Aku dan Frida berpisah enam bulan yang lalu."Assalamu'alaikum .... " sapaku ramah. Setelah toko sepi pembeli, aku mengumpulkan segenap keberanian untuk menemui Frida. Tak mu
"Tadinya aku tidak mau mengusik hidupmu, Bang. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tidak mau menderita sendiri, Bang. Aku juga ingin Abang dan Freya, istri tersayang Abang itu, merasakan apa yang kami rasakan."Frida menatapku tajam, seperti singa lapar, yang siap menerkam mangsanya. Dia menyorongkan sedikit kepalanya ke arahku, dan berkata "istrimu itu rupanya minta diberi pelajaran, Bang." Aku sampai bergidik ngeri mendengar ucapan Frida, apalagi melihat dia menyeringai begitu. Macam bukan Frida mantan istriku. "Ma--- maksudmu apa, Da? Kamu mau mencelakai Freya? Jangan buat aku takut gitu, Da," ucapku sambil susah payah menelan ludah. "Kau tidak usah ketakutan begitu Bang. Aku hanya memberi Freya pelajaran berhitung. Aku rasa dia waktu sekolah itu nilai matematikanya jeblok, pantas saja nggak bisa itung-itungan," ejek Frida dengan senyum sinisnya. "Maksudmu, Da?" Aku benar-benar tidak mengerti maksud Frida. Dia bukan guru, mana mungkin memberi pelajaran matematika pada Freya? "Hah!
Pov Frida Usai menunaikan sholat zuhur, aku segera bergegas ke luar, menemui Bang Farhan, tapi sayang, rupanya mantan suamiku itu sudah pergi. Aku terbiasa sholat awal waktu, begitu azan berkumandang, segera ku tunaikan kewajibanku itu. Aku tidak mau menunda-nunda sholat, bikin hati was-was, takutnya ada pembeli datang, sholat pun bablas. Tadi memang aku sempat mendengar suara panggilan dari Bang Farhan, tapi aku sedang sholat. Panggilan itu pun aku abaikan, dan dia pergi begitu saja tanpa pamit. Farhan Habibi, nama lelaki yang menikahi aku empat belas tahun yang lalu itu. Kami tetangga sekampung, berlatar belakang dari keluarga pas-pasan, tak tapi menyurutkan langkahnya untuk meminangku, si kembang desa. Dia tidak tampan, tidak pula mapan. Tapi entah mengapa aku bisa jatuh cinta padanya, mungkin karena tutur katanya yang santun, dan sikapnya yang selalu sopan pada siapapun.Kalau mengingat semua itu, seperti membuka luka lama yang sudah mulai mengering, dan kini harus berdarah l
"Papa! Ngapain sih, di sana lama-lama? Papa main mata sama mantan istrimu yang kampungan itu, ya!" todong Freya, menuduhku yang tidak-tidak. Baru saja masuk rumah, aku sudah disambut dengan suara cempreng Freya. Padahal dulu sebelum menikah denganku, suara Freya begitu merdu merayu, bak bulu perindu. Kenapa sekarang berubah menjadi suara Mak Lampir? Tinggi melengking. Kemana Freyaku yang manja dan menggoda?Kalau boleh meminta, aku ingin waktu diputar kembali. Agar aku bisa memilih tidak menanggapi rayuan Freya waktu itu. Atau aku tidak pernah bertemu dengan Freya, selain matrealistis, dia sangat serakah. Semua ingin dia kuasai, bukan hanya harta, bahkan hidupku juga. Kemana-mana dicurigai. Salah sedikit segala sumpah serapah dan kutukan keluar dari mulutnya. Aku benar-benar tersiksa. "Kan ke warung dulu, Ma. Mengontrol pekerjaan anak-anak, menjelang zuhur baru sampai rumah Frida. Itu pun tidak lama, dia sibuk pekerjaannya banyak" ucapku beralasan, memang kenyataannya begitu, kan?
Pov Frida "Kalau sudah dingin langsung dibungkus aja, Mbak! Hati-hati ya, jangan sampai mesesnya berantakan," titahku pada kedua putrimu Firni dan Ferina, yang sedang membungkus donat orderan pelanggan. Beginilah kegiatan kami sehari-hari, membuat aneka kue dan cake, pesanan tetangga sekitar. Selain membuka toko, aku juga membuka usaha katering, walau kecil-kecilan. Kalau ada pesanan banyak, aku panggil tetangga sebelah untuk bantu-bantu. Kalau sedikit seperti sekarang, cukuplah kedua putriku yang membantu. Aku bersyukur, kedua anakku ini menurut, dan tak banyak menuntut. Mengerti kesulitan orang tua, mau membantuku mengerjakan semuanya, termasuk beres-beres rumah dan jualan. Tak mudah menjadi single parent, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus. Tapi Allah maha baik, aku dikaruniai dua putri sholehah. Meski awalnya kami mengalami kesulitan ekonomi, karena Bang Farhan tak ambil peduli dengan anak-anaknya, akhirnya kami bisa bangkit, meski pelan-pelan. Aku jual semua perhiasan