“Kalau kau mau, kau bisa membawa putrimu untuk datang ke tempat ini. Kau tidak perlu lagi terus menghubungi setiap hari, kan?” ucap Helios mengusulkan kepada Julia.
Mendengar masukkan dari Helios, Julia benar-benar menjadi kesal sekali mendengarnya. “Kau ingin aku membawa putriku ke tempat yang berbahaya seperti ini?”Helios menghela nafasnya, meletakkan ponselnya untuk bisa menatap Julia dengan lekat. “Bukankah yang kau inginkan adalah hidup bersama dengan putrimu? Aku sedang memberikan pilihan padamu, itu jelas menguntungkan.” ujar Helios.Dengan cepat Julia menggelengkan kepalanya. “Ada Gabriella dan juga Ibumu yang selalu ingin menyingkirkan ku dan menyakitiku, mereka tentu akan menargetkan putriku dengan cara apapun. Aku hanya berharap bisa pulang, bersama putriku adalah impian terbesar saat ini.”Helios menatap Julia dengan tatapan yang sangat serius, Julia pun menjadi tidak nyaman oleh tatapan itu. “Kenapa menatapku seperti itu?”“Ayo kita relakan saja, aku yakin kita akan hidup bahagia saat kita memberikan kebahagiaan juga untuk anak kita, Karina.” ucap Horrison kepada Karina. Tidak langsung memberikan tanggapan, Karina memilih untuk diam lebih dulu. “Edward Sudah menentukan dengan siapa dia akan hidup, Alenta adalah wanita yang dipilih olehnya. Kau dan aku sudah memiliki cucu kandung, bukan? Cobalah bayangkan betapa menyakitkannya saat nanti cucu kita sudah dewasa, lalu mengetahui cerita bahwa kita berdua mencoba untuk menyingkirkan Ibunya. Kita hanya akan menjadi sepasang orang tua yang menyedihkan karena tidak dicintai oleh cucunya,” ungkap Horrison, berharap Karina memahami benar dan berhenti mendatangkan wanita-wanita untuk Edward. Karina menghela nafas panjangnya, mengingat kembali beberapa waktu terakhir ini. Alenta memang tidak memiliki kecantikan yang luar biasa, wajahnya sepintas terlalu biasa. Namun, saat dia tersenyum dia akan terlihat sangat man
Julia berdiri di samping Helios, dengan gaun pengantin yang diberikan padanya. Jelas dia mengingat bahwa gaun itu adalah gaun yang dia coba di butik tempo hari. Nafasnya tersengal-sengal, mencoba menenangkan diri dari kegelisahan yang melanda. “Helios, aku benar-benar ingin memukulmu!” Batin Julia. Di seberang mereka, Max dan sekretaris Helios menyaksikan dengan raut wajah serius.“Sudah siap?” tanya Helios, menatap Julia tajam. Julia menggigit bibirnya, sementara matanya tajam menahan rasa jengkel yang kian memuncak. “Jujur saja aku tidak siap!” ucap Julia berbisik. Namun, ia tetap mengangguk pelan, menunjukkan kesediaannya untuk mengikuti sumpah pernikahan tersebut.Mereka mengucapkan sumpah pernikahan satu per satu, suara mereka berat dan penuh tekanan. Setiap kata yang terucap seolah menghujam hati Julia yang belum rela menikah dengan Helios, pria yang menyebalkan itu. Namun, dia harus melakukannya dem
“Menikah, kalian bilang?” Kanya menatap Julia dan Helios yang kini duduk di depannya, berseberangan meja. “Helios, kau gila, kah?” tanya Kanya yang menolak untuk percaya ucapan Helios. Gabriella yang ada di sana pun hanya bisa terperangah tak percaya. Kecewa, dia juga merasa sangat marah jika memang benar Helios dan Julia sudah menikah secara diam-diam. “Apa perlu aku tunjukkan buku nikah kami, Ibu?” ujar Helios, ekspresi wajahnya yang dingin itu terlihat jelas. Julia pun keheranan, tidak mengerti kenapa Helios begitu dingin kepada Ibunya. Namun, katanya Helios selalu menuruti semua yang Ibunya katakan. Kanya menunjukkan emosinya, tegas dia mengatakan, “Ibu sudah menyiapkan calon istri untukmu, jangan macam-macam, Helios!” Ancamnya. Mendengar itu, Helios pun tersenyum kesal. Lelah dia memberikan kesempatan kepada Ibunya untuk bersikap semaunya, ini sudah saatnya Helios bersikap tegas dan keras. Helios me
Malam itu, Kanya dan Gabriella pergi dengan perasaan yang bercampur aduk. Helios, yang ingin membereskan semuanya, menggandeng tangan Julia dan mengajaknya ke kamar mereka. Namun, Julia menarik tangannya dengan geram, “Aku masih ingin duduk di ruang tamu!” sergahnya sinis.Helios menghela napas, “Kita harus berkemas, Julia. Besok pagi, aku akan mengantarmu kembali ke negaramu.”Mendengar itu, ekspresi wajah Julia berubah. Dia menatap Helios dengan tatapan penasaran, “Benarkah, kau tidak sedang membohongiku kan, Helios?” tanyanya penuh harap.Helios mengangguk, “Terserah mau percaya atau tidak. Kita hanya harus segera bersiap.”Julia tersenyum lega dan akhirnya mau diajak ke kamar. Begitu mereka masuk, Helios mendekap Julia dari belakang, bibirnya mendekati telinga Julia, “Sebelum kita berkemas, ada bagusnya kalau kau menyenangkan ku lebih dulu, Julia,” bisiknya lembut.Julia mengernyit, hatinya merasa jengkel namun tan
Alenta tersenyum lega, pembicaraannya dengan Sofia berakhir baik. Sempat tidak menyangka bahwa Sofia akan menikah dengan pria lain, mengingat sebelumnya Dia terlihat begitu obsesi terhadap Edward. Alenta mulai tersadar bahwa, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Dulu, Dia pikir dia tidak akan pernah berani mencintai seseorang apalagi memikirkan untuk dicintai. Hidupnya terlalu sampah yang tak memiliki arti, sekarang semuanya menjadi kebalikannya. Dia dicintai oleh Edward, mencintai Edward, memiliki anak, memiliki keluarga. “Rasanya, kehidupan benar-benar berubah dengan sangat cepat.” gumam Alenta. Ingat bahwa barang belanjaannya belum dia susun, Gegas Alenta mengerjakan itu. Hari ini ia membeli banyak sekali stok makanan dan juga buah, belanja sendiri sangat menyenangkan hingga tidak menyadari seberapa banyak yang dibelinya. Sekitar hampir 1 jam, menyusun belanjaan akhirnya selesai.
Edward dan Alenta datang ke rumah Karina saat malam hari, menjemput anak-anak mereka untuk pulang. Namun, karena Ron tiba-tiba saja tidak mau diajak pulang, terpaksa juga Alenta dan Ron menginap di sana.“Aku pikir, Ron pasti akan menangis saat kami berdua datang ke sini karena tidak betah dengan Nenek yang galak,” ujar Edward menduga-duga.Kesal mendengar ucapan putranya itu, bantal kecil di sofa tempat ia duduk segera ia lemparkan kepada Edward. “Bicaramu itu kurang ajar sekali, Edward!” Karina mendengus kesal. Edward tertawa kecil, Karina pun tersenyum. Sudah lama dia tidak bercanda seperti ini dengan Edward, ternyata menyenangkan juga. Mereka kembali mengobrol, hingga pada akhirnya makan malam bersama. Ron dan Elea tidur di kamar tamu bersama dengan perawatnya Elea. sementara itu, Edward dan Alenta kini ada di kamar milik Edward yang digunakan Edward saat dia tinggal di rumah itu. “Wah, ternyata selera
Alenta, Edward, dan seluruh penghuni rumah baru saja sampai di rumah. Tidak ada banyak waktu yang tersisa, Edward segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap pergi ke kantor. Untungnya, sebelum kembali ke rumah mereka, tadi sudah sarapan di rumah Karina dan Horrison. Elea dan Ron, mereka langsung menyerbu mainan mereka. Alenta pun segera membantu apa saja yang dibutuhkan Edward agar tidak membuatnya terlambat. Satu setel pakaian kantor, sepatu dan juga kaos kaki, jam tangan, dan juga dasi. Laptop juga segera Alenta masukkan ke dalam tasnya, ponsel tidak lupa. Begitu keluar dari kamar mandi, Edward tersenyum lebar karena semuanya sudah dipermudah oleh Alenta. “Terima kasih, Sayang.” ucap Edward. Alenta pun menganggukkan kepalanya.“Sudah tidak ada lagi yang diperlukan, kan? Aku mau ke dapur dulu untuk buat jus. Edward mengusap kepala Alenta dengan lembut. “Tidak ada, kalaupun
Alenta menggeleng tak percaya mendengar cerita Julia. Dia hampir lupa bernafas bahkan, tapi Julia bisa dengan santainya berbicara tentang masa lalunya hingga sampai terjadi begini. “Ternyata, ada banyak kegilaan yang terjadi di antara kalian berdua, ya.” ucap Alenta yang merasa begitu keheranan. Julia pun mengangkat kedua bahunya, menghela nafasnya pasrah karena memang seperti itulah kenyataannya. “Kak, pernikahan seperti itu apa kak Julia akan baik-baik saja nantinya?” tanya Alenta yang begitu penasaran dan juga khawatir. Mengingat hubungan pernikahan Julia dengan Edward sebelumnya, siapapun juga tidak menduga bahwa pada akhirnya mereka akan bercerai. Parahnya, Alenta harus terlibat, dan menjadi titik final hingga Julia dan Edward memutuskan untuk berpisah. Mendengar pertanyaan dari Alenta, Julia memahami kekhawatiran adiknya itu. Ia sendiri ragu tentang pernikahan ini, namun sadar juga tidak ada jalan untuk mundur atau kabur. Julia memaksakan senyumnya, “Pernikahan yang suli