Share

Tidak Biasanya

"Adeeva, kamu sampai kapan si mau menolak saya?" tanya pak Kenzie sesaat setelah rapat dengan klien selesai.

Aku yang sedang membereskan kertas-kertas pun menghentikan aktivitasku dan menoleh ke arah pak Kenzie.

"Saya akan terus menolak Bapak sebanyak Bapak meminta saya menjadi pacar Bapak," jawabku sambil melanjutkan pekerjaanku.

"Haah, gimana ini. Sayangnya saya juga belum ada keinginan untuk menyerah," ucap pak Kenzie santai.

"Sama seperti Bapak yang belum punya keinginan untuk menyerah, saya juga tidak ada keinginan untuk menerima Bapak." Setelah selesai merapikan kertas-kertas hasil rapat. Aku pun segera keluar yang diikuti langkah kaki pak Kenzie.

"Saya punya satu aja permintaan Deev," ucap pak Kenzie sembari mengejarku yang sudah berjalan di depan.

"Saya nggak peduli Pak, dan saya juga tidak ingin tahu apa keinginan Bapak itu," ucapku ketus tak menghiraukan pak Kenzie yang sudah ada di sampingku.

"Jahatnyaa," rengek pak Kenzie.

"Saya bukan jahat Pak, hanya saja Bapak yang tidak kenal kata menyerah. Dalam hidup itu, tidak semuanya bisa didapatkan, ada kalanya kita tidak mendapatkan hal yang kita inginkan, dan manusia harus selalu bersiap untuk itu," ucapku membalas perkataan pak Kenzie.

Tidak ada jawaban dari pak Kenzie, tapi aku tidak peduli. Aku terus berjalan menuju lift.

"Hei, gimana rapatnya? Lancar?" tanya Ruby saat aku sampai di meja.

Ruby menyikutku sambil berbisik, "Kenapa tuh si bos?"

"Entah," jawabku sambil mengedikkan bahu.

"Hmm, aneh sekali. Tidak biasanya pak bos hanya diam. Biasanya kan dia bersikap centil padamu Deev," ucap Ruby meletakkan ibu jari dan jari telunjuk di dagu.

Aku sama sekali tidak berpikir bahwa ucapanku hari itu membuat pak Kenzie berubah selama beberapa hari.

Tiga hari berlalu dan tak ada pergerakan sama sekali dari pak Kenzie. Beliau yang biasanya memanggilku sampai membuatku kesal, tiga hari ini bersikap seolah tidak pernah melakukan hal itu.

"Pak Kenzie kenapa deh? Aneh banget," ucap Ruby.

"Aneh kenapa sih By?" tanyaku.

"Ya aneh kan, kok bisa sih tiga hari dia nggak gangguin kamu?!" seru Ruby membuatku harus menutup mulutnya dengan kedua tanganku.

"Sssst, bagus lah kalau gitu. Stress lama-lama aku kalau digangguin terus," ucapku dengan nada kesal.

Satu minggu berlalu dan pak Kenzie masih diam, sama sekali tidak menggangguku.

Brak!

"Apaan By?!"

Ruby menggebrak meja mengagetkanku yang sedang fokus dengan pekerjaanku.

"Ini aneh. Aneh sekali. Mana mungkin pak Kenzie diam saja tidak mengganggumu? Apakah kematian akan segera menghampiri? Bukankah kata orang jika seseorang berubah drastis tandanya kematian akan segera datang?" Bisa-bisanya Ruby berkata seperti itu dengan suara keras.

"Saya belum mau meninggal, harapan saya masih ada yang belum terwujud." Suara pak Kenzie semakin menambah kekagetanku.

"Eh Pak Kenzie, sakit Pak? Wajah Bapak pucat begitu," ucap Ruby yang sontak membuatku menoleh ke arah pak Kenzie.

Ternyata benar, wajahnya pucat dan matanya terlihat lelah. Di bawah matanya ada lingkaran hitam yang muncul.

"Enggak kok. Saya seha-" Belum menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba pak Kenzie ambruk.

"Pak Kenzie!" Aku refleks berlari ke arahnya diikuti oleh Ruby dan Aldi.

"Aldi tolong panggil ambulance!" Entah mengapa aku merasa sangat panik.

"Sebentar! Aku akan segera menelepon ambulance!" Aldi dengan cekatan menelepon bantuan.

"Pak bangun Pak!" Aku menepuk-nepuk pipi pak Kenzie.

Pak Kenzie sama sekali tidak bergerak. Aku jadi sedikit takut. Bukan apa-apa, tapi kalau ada hal buruk yang terjadi pada pak Kenzie, bagaimana dengan gaji kami?

Tak lama kemudian datanglah dua petugas dari rumah sakit.

"Adeeva, tolong kamu temani pak Kenzie ke rumah sakit dulu ya! Aku akan menghandle semua kerjaan bersama Ruby dulu," ucap Aldi yang membuatku langsung berlari tanpa pikir panjang.

Aku mengikuti petugas medis yang memapah tubuh pak Kenzie memasuki lift.

"Kejadiannya bagaimana mbak?" tanya salah seorang petugas medis.

"Tiba-tiba bos saya ini pingsan setelah bicara. Saya juga tidak tahu bagaimana bisa begitu. Mungkin teman saya yang nanti akan menyusul bisa menjelaskannya."

Setelah lift terbuka, dua petugas medis itu pun langsung menidurkan pak Kenzie di brankar dan segera menjalankannya menuju ke rumah sakit.

Aku ikut masuk ambulance untuk menemani pak Kenzie.

"Haah, handphone nggak kebawa lagi!" ucapku sambil menepuk dahiku.

"Panik ya mbak sampai handphonenya ketinggalan?" tanya petugas medis yang menemani pak Kenzie di belakang bersamaku.

"Iya panik Pak, gajian saya sebentar lagi soalnya. Kalau ada apa-apa sama bos saya gimana dong nanti gaji saya?" ucapku membuat petugas medis itu tertawa kecil.

Sesampainya di rumah sakit, pak Kenzie langsung dibawa ke salah satu ruangan dan beberapa saat kemudian ada dokter yang menghampiri ruangan itu.

Aku menunggu di depan ruangan dengan perasaan cemas. Bukan, bukan cemas karena pak Kenzie, tapi cemas apakah Ruby akan membawakan tasku atau tidak.

"Dengan keluarga pasien?" Dokter yang tadi masuk ke dalam ruangan, keluar dan bertanya padaku.

"Saya bukan keluarganya Dok, sebentar lagi keluarga pasien akan datang," ucapku ragu.

"Baiklah, kalau begitu kita tunggu dulu saja keluarganya." Setelah dokter mengakhiri perkataanya, Aldi pun muncul.

"Bagaimana ... keadaan ... pasien Dok?" tanya Aldi yang masih terengah-engah mengatur nafas.

"Anda wali pasien?" tanya dokter pada Aldi.

"Saya wakil wali pasien."

"Baiklah, pasien ini kekurangan gizi, sepertinya juga kelelahan ya?"

"Iya Dokter, akhir-akhir ini memang pasien tidak makan dengan teratur. Dia juga selalu memaksakan diri untuk begadang menyelesaikan pekerjaannya," ucap Aldi yang membuatku langsung menoleh ke arahnya.

"Baik, jadi sekarang pasien disarankan untuk menginap dulu di rumah sakit."

"Baik Dokter," jawab Aldi patuh, mungkin dia juga paham dengan keadaan pak Kenzie yang memang butuh istirahat.

Setelah dokter meninggalkan kami, Aldi menoleh ke arahku dan berkata, "Tolong jangan terlalu menolak Kenzie Deev, aku belum pernah melihatnya begitu menyukai seseorang seperti ini."

"Di, aku bukannya terlalu menolak, tapi dari awal aku memang merasa tidak akan bisa bersama dengan pak Kenzie," jawabku pelan.

"Ya aku tau itu, tapi aku ingin meminta tolong padamu, setidaknya, satu bulan saja, jalanilah pacaran kontrak dengannya. Aku hanya meminta satu bulan. Selebihnya terserah padamu." Ucapan Aldi membuatku merasa bersalah, tapi di sisi lain, itu kan salah pak Kenzie karena dia tidak pernah menyerah mengejarku.

"Aku akan mengurus administrasi terlebih dahulu," ucap Aldi yang langsung pergi meninggalkanku sendirian di depan ruangan pak Kenzie.

"Apa harus aku mengikuti saran Aldi? Tapi bagaimana jika nantinya aku menyukai pak Kenzie, sedangkan beliau harus menikah dengan orang lain. Apakah aku bisa menahan rasa sakitnya? Aah! Bisa gila aku!" gerutuku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status