Noura berdiri di depan Dean dengan ekspresi santai. Terlihat ia tidak takut sama sekali dengan apa yang sudah ia perbuat. Batal mengunjungi sang ibu dan malah pergi bersama Kenz, bukan hal yang perlu ia takutkan terhadap Dean. "Tidak ada yang mau kau katakan?" Dean menatap istrinya marah. Tapi, raut mukanya begitu dingin tampak sekali menahan emosi. "Katakan apa?""Jangan memancingku. Aku sudah tahu kalau kau tidak pergi menemui ibumu.""Ah, kamu memata-mataiku rupanya.""Andai kamu bersikap seperti ini, sejak awal aku akan meminta pengawal membuntuti setiap gerakanmu.""Kesepakatan kita, jangan campuri urusan pribadi.""Kembali ke poin pertama kesepakatan, semua kembali padaku. Aku yang membuat kesepakatan itu. Kapan saja hal itu bisa berubah sesuai keinginanku." Dean sedang menunjukkan kuasanya Mendengar itu Noura terlihat memalingkan wajahnya ke arah lain. Tampak ekspresinya begitu malas. Kalau sudah membawa-bawa kekuasaan, sudah bisa dipastikan Noura kalah. Ruang keluarga yang
Noura sudah hampir pasrah ketika Dean hendak melucuti semua pakaiannya. Tapi, sedetik kemudian ia tersadar bahwa dirinya tak boleh lagi membiarkan Dean menginjak-injak harga dirinya dengan melanggar kesepakatan yang sudah dibuat. "Lepaskan aku!" teriak Noura yang berhasil mendorong tubuh Dean hingga membuat keduanya berjarak. Dean tampak terkejut. Matanya membola saat menyadari penolakan yang istrinya layangkan. "Aku cape, Dean. Aku udah muak dengan semua sikap dan perlakuan kamu ke aku." Air mata sekitar mengalir di wajah Noura. Kekagetan Dean semakin terlihat. Mengapa tiba-tiba istrinya menangis padahal sejak awal wanita itu terlihat angkuh seolah tak ada ketakutan yang ia rasakan. "Kau sudah berani rupanya?""Ya, aku berani! Aku berani karena kamu terus saja menghina dan merendahkan aku.""Bagian mana aku menghina dan merendahkan kamu?" Dean menantang balik. "Ini! Apa kamu gak sadar perlakuan kamu ini adalah sebuah penghinaan terhadapku?" Noura berteriak sembari menunjukkan p
"Jadi, kamu menyukaiku?" Dean bertanya sambil memeluk tubuh Noura serta mengusap lengan istrinya yang terekspos. Beberapa menit lalu mereka baru saja melakukan hubungan intim setelah pertengkaran yang terjadi. Satu aksi yang kali ini terjadi dengan pergolakan batin yang begitu menggebu. Sepertinya apa yang orang katakan di luaran sana benar adanya. Lakukanlah hubungan suami istri setelah kalian berkelahi, alhasil kegiatan panas itu akan terasa begitu nikmat layaknya pengantin baru. Begitu juga yang terjadi pada Dean dan Noura. Bahkan, tanpa sadar Noura membalas setiap pergerakan yang Dean lakukan sesuai insting-nya. "Sejak kapan?" tanya Dean lagi. Bahkan, pertanyaan pertama belum juga Noura jawab."Aku tidak tahu." Noura menjawab sambil sebagian wajahnya ia tutupi dengan selimut. Baru kali ini Dean ingin menyerang Noura berkali-kali hanya karena melihat wajah malu-malu istrinya itu. "Sekarang aku tanya padamu. Kalau kamu cemburu setiap kali aku jalan dengan Kenz, berarti itu tan
Apakah Noura setuju dengan penawaran yang Dean berikan? Jawabannya tentu tidak. Tapi, saat Noura mencoba dengan tetap bekerja di dua tempat setiap harinya selama seminggu ke depan, ia harus menyerah juga. Tidak sampai jatuh sakit, tapi lumayan membuat dirinya kelelahan sampai tak bisa berangkat bekerja. "Masih mau tidur sampai jam berapa? Ini sudah siang. Apa kamu tidak takut datang terlambat?" Dean bertanya karena masih melihat istrinya tidur. Dean yang sudah bersiap untuk sarapan pagi, tidak menemukan Noura di ruang makan. "Nona belum turun, Tuan."Alton memberi tahunya tadi, sehingga ia memutuskan untuk memeriksa kamar sang istri. Ternyata benar, perempuan itu masih nyenyak tertidur. Tirai sudah Dean buka. Matahari bahkan tanpa permisi langsung masuk dan menyinari seluruh ruangan kamar. "Eh, silau, Dean," ucap Noura ketika akhirnya membuka mata sebab sinar matahari yang menyerangnya tanpa sungkan. Dean tersenyum melihat penampilan Noura yang kusut dan mengantuk. Ia pun segera
Noura berjalan penuh semangat siang itu. Melewati lorong kantor Dean setelah sebelumnya meminta izin kepada seorang petugas front office agar tidak memberitahukan kedatangannya kepada suaminya itu. "Tapi, bagaimana kalau Tuan Dean marah?" Petugas itu sempat ragu. Namun, karena keyakinan yang Noura berikan, membuat izin itu akhirnya diberikan. Kink di sinilah ia berdiri. Di depan sebuah meja sekretaris tanpa penghuninya. "Masih setengah jam lagi istirahat, kenapa meja ini sudah kosong?" ucap Noura saat melihat jam yang melingkar di tangannya. Perempuan itu pun memilih tak peduli. Ia yang sudah tahu di mana letak ruangan Dean, memutuskan untuk segera masuk dengan terlebih dahulu mengetuk pintu. Sosok Steven muncul dan berdiri di hadapan Noura dengan raut muka terkejut. "No-Nona Anda sudah datang?" Aneh bagi Noura sebab suara Steven yang terbata. Saat Noura sedikit melongok ke arah dalam ruangan, tahulah ia apa yang membuat asisten pribadi Dean itu bersikap demikian. "Tenang saja
"Rencana apa maksudmu?" Renee tampak tak mengerti dengan ucapan Dean.Lelaki itu sendiri sudah duduk di depan meja di mana ada satu buah goodie bag yang istrinya bawa dan belum sempat ia buka. "Kamu sengaja datang ke sini supaya istriku melihat dan cemburu.""Hah! Mana aku tahu kalau perempuan itu akan datang ke sini, Dean. Lagipula, bukannya selama ini kamu memang tidak pernah meminta atau mengundangnya datang. Jadi, tahu dari mana kalau ia akan datang untuk melihatku ada di sini." Renee berkata sejujurnya. Tapi, keberuntungan baginya karena apa yang ia lakukan telah membuat wanita itu marah dan kesal. 'Aku tidak sengaja, tapi Tuhan membantuku secara tidak langsung. Bukankah ini namanya sebuat berkat. Ah, sungguh aku puas sekali melihatnya pergi, dan bahkan Dean tidak mencegahnya,' batin Renee senang. Kondisi kesehatan Renee memang menjadi alasan utama Dean untuk tidak membuat wanita itu tersinggung. Bukan karena Dean takut atau bertanggung jawab jika penyakit itu semakin parah. T
Noura berjalan pelan menuju kamarnya. Ia kembali teringat dengan percakapannya dengan Sarah —kekasih Mat, di restoran tadi. "Tidak cerita bukan berarti ia tidak menganggapmu, Noura. Bisa jadi ada hal lain yang Dean simpan sehingga ia tidak atau belum memberitahukan hal itu padamu."'Itu memang benar. Tapi, minggu depan dia sudah harus berangkat dan aku belum tahu sama sekali,' batin Noura sedih. Sepertinya ia telah bertindak terlalu bodoh dengan mengakui perasaannya kepada Dean. Padahal kenyataannya ia bahkan tidak mendapatkan sambutan yang sama dari suaminya itu. Ucapan Mat pun tidak mempan buatnya. Meski lelaki itu sudah berkali-kali meyakinkan bahwa Dean mencintainya, tapi bagi Noura itu sangatlah mustahil. 'Dia belum mengatakannya.' Begitu kata Noura yang membuat Mat dan Sarah mengangkat kedua bahunya. Setelah sampai di kamarnya, Noura tidak langsung mandi ataupun membersihkan diri. Ia memilih untuk berbaring dan berleha-leha di atas tempat tidurnya. 'Seharusnya aku tidak me
"Ah, sepertinya keputusanku pergi darinya adalah hal yang benar. Dia pergi dengan Renee, aku pergi demi menyehatkan mentalku, itu sempurna.' Noura membatin senang. Perempuan itu tak mau sakit hati mendengar kabar jika sang suami akan pergi dengan perempuan lain. Hal itu sudah ia duga. Jadi, untuk apa ia berlarut dalam kemarahan yang tiada siapa pun peduli. "Aku sudah kenyang." Tiba-tiba Dean beranjak berdiri. Noura yang sedang mengatur strategi tampak kaget, tapi sedetik kemudian mencoba tersenyum saat melihat piring Dean yang masih utuh. "Kamu baru makan sedikit," ucap Noura. Dean tersenyum sinis. "Melihat ekspresimu pagi ini sudah membuatku kenyang tanpa memakan semua makanan ini," ucap Dean dingin. "Ehm, aku tidak tahu kalau mukaku terlihat seperti roti tawar atau sosis panggang," kekeh Noura mencoba melucu. Sayangnya Dean menanggapinya dengan memutar bola matanya seolah bosan. Dean benar-benar selesai dengan makanannya. Ia tampak bergegas pergi, hendak berangkat kerja. "Se
Noura ditemani pelayan ketika berbelanja ke sebuah mall yang ada di pusat kota. Dean juga meminta pengawal untuk menemani dua wanita itu pergi. Sedangkan Zayn —putranya, seperti biasa Noura titipkan pada sang ibu, yang masih menginap di rumah sejak ia melahirkan."Kita makan siang dulu, yah?" kata Noura setelah selesai membeli kebutuhan dapur. Pelayan dan pengawal mengangguk, mematuhi. Keduanya mengikuti Noura yang sudah masuk lebih dulu ke dalam sebuah restoran yang bersebelahan dengan supermarket, tempat sebelumnya Noura berbelanja. "Nona, lebih baik saya simpan dulu semua barang belanjaannya ke mobil," kata pengawal saat sudah berdiri di pintu restoran. "Apakah tidak masalah kamu pergi ke parkiran dulu?""Itu bukan masalah, Nona. Biar nanti saya kembali lagi setelah selesai menyimpan semuanya di bagasi.""Oh, ya sudah. Sekalian kamu ajak supir, yah?""Baik, Nona."Pengawal meletakkan beberapa kantung belanjaan ke dalam troli. Ia kemudian mendorongnya ke parkiran mobil. "Kita d
"Hari ini aku mau ke pasar, ada beberapa barang keperluan Zayn yang harus aku beli."Pagi itu Noura pamit pada Dean untuk pergi ke pasar. Dean yang sudah akan bersiap ke kantor terdiam merespon ucapan istrinya. "Pasar? Apa kamu tidak salah? Seorang Waverly membeli barang di pasar?""Memang kenapa?""Ya tidak apa-apa. Tapi, aku merasa tidak cocok saja."Noura mengernyit, melihat wajah suaminya yang terlihat jijik. Sedetik kemudian Noura pun tertawa, membuat Dean menatap sebal. "Baiklah kalau kamu merasa tidak cocok. Lantas, aku harus beli di mana?""Ya, di mall. Banyak toko branded yang bisa kamu kunjungi di sana." Dean menimpali cepat. "Tunggu! Apakah kamu sedang bercanda? Seorang wanita karir, mantan jurnalis di stasiun televisi terkenal tidak tahu mall atau barang branded? Kamu sengaja mempermainkan aku?" Ekspresi Dean sekarang sukses membuat Noura tertawa terbahak-bahak. Bagaimana tidak, wajahnya terlihat lucu karena merasa dipermainkan. "Tidak. Aku sama sekali tidak sedang me
"Hei, kamu kangen enggak?" tanya Noura mengagetkan Dean yang malah melamun. "Eh, ya ... kangen," sahut Dean merasa dipaksa "Tapi, ya sudah itu 'kan masa lalu." Dean buru-buru menambahkan. Ia terlihat khawatir bila sang istri cemburu. Namun, Noura malah tersenyum. Sedetik kemudian Noura menggeleng, menganggap lucu reaksi Dean ketika membicarakan sosok sang mantan kekasih. "Kamu tahu, Dean, aku tak pernah cemburu bila laki-laki yang aku cintai dekat atau pergi bersama wanita lain. Apalagi kamu, aku tak pernah cemburu sedikit pun.""Loh! Kenapa? Bukankah orang yang cemburu itu wajar, yah? Itu artinya dia benar-benar mencintai pasangannya." Dean merasa kesal sebab Noura yang tak pernah cemburu padanya. "Ya, memang benar. Tapi, untuk apa aku cemburu pada laki-laki yang tidak memiliki perasaan yang sama padaku. Jadi, aku anggap wajar bila kamu dekat dengan wanita lain. Aku tidak boleh marah karena memang tak pantas." Noura tersenyum getir. Sebenarnya Noura bukan tidak pernah cemburu bi
Tiga tahun yang lalu saat Dean dan Rachel pertama kali berkenalan, pengusaha itu tidak pernah tahu ada sosok laki-laki lain yang ternyata telah lama menjadi 'secret admirer' atau pengagum rahasia sang mantan kekasih. Seorang lelaki yang tak lain adalah manajer di perusahaan keluarga Willow bernama Alvin Santoso. "Kok aku tak pernah dengar," kata Noura setelah Dean memberi tahu nama pelaku penabrak mobilnya. "Berarti lelaki itu memang bukan seseorang yang istimewa di kehidupan Rachel," timpal Sarah ikut nimbrung. "Ya, sepertinya kamu benar, Sarah. Soalnya yang aku tahu cuma nama Dean yang selalu Rachel sebut." Tiba-tiba bayangan Noura melayang jauh ke belakang saat ia dan Rachel masih bersama-sama.Tidak ada perasaan cemburu atau kesal yang Noura rasakan saat harus mengingat momen hubungan Dean dan Rachel dulu. Yang ada hanya kesedihan yang kini ia rasakan demi mengingat kecelakaan yang menimpa sahabatnya itu. Namun, lain dengan Dean yang merasa tak enak hati saat Noura mengatakan
Dean tampak salah tingkah ketika semua mata tertuju padanya. "Ke-kenapa aku harus membebaskannya?" tanya Dean belum mengerti maksud Sarah. "Kenapa ia masih kesal padahal u Noura hamil dan melahirkan begitu?" Sarah bertanya sinis. "Ya salah satunya itu. Tapi, yang penting aku bertanggung jawab 'kan?" Dean bersikukuh. Semua orang menatap aneh Dean. Di dam hati mereka pasti bertanya, apa yang lelaki itu pikirkan sebenarnya.Meski sudah melihat reaksi semua orang tentang perasaan Noura terhadapnya, tapi Dean masih belum mau mengaku pada semua orang bahwa sebetulnya sudah ada perasaan suka di hatinya untuk Noura. "Dean, entahlah. Tapi, kali ini aku tak setuju denganmu." Mat bereaksi. Wajahnya tampak tak suka setelah mendengar sahabatnya itu bicara. "Itu terserah pada kalian."Dean pura-pura cuek meski sebenarnya ia sudah mulai merasa tak enak hati saat melihat wajah semua orang yang memandangnya tak setuju. "Oh ya, Sarah. Saat pertama kali aku tiba di ruang UGD, Noura terlihat mara
Di kediaman keluarga Waverly tampak heboh dengan kondisi Steven yang terluka. Kepulangan Noura dari rumah sakit, menyisakan cerita yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. "Orang-orang kita sedang mencari siapa orang itu. Beberapa CCTV sedang mereka cek di setiap jalan yang kita lewati.""Jangan kamu pikirkan hal itu, Steven. Fokuslah pada kondisi lukamu saat ini," sahut Dean yang baru saja selesai berbicara dengan anak buahnya. "Iya. Biar yang lain, yang mengurusnya. Lukamu itu harus segera diobati." Noura menyahut, menyetujui ucapan sang suami. Namun Steven malah tersenyum malu. Perhatian yang Dean dan Noura berikan dianggapnya berlebihan. "Ini cuma luka kecil, Tuan. Apakah Anda sedang mengejek saya karena luka ini?" balas Steven tak enak hati. Luka yang menurutnya sangat kecil itu, telah membuat beberapa penghuni rumah menatapnya iba. Sungguh luka itu sama sekali tidak berarti bagi seorang Steven yang bahkan pernah mendapatkan luka jauh lebih besar dari apa yang dialaminya s
Beberapa jam sebelumnya "Aku sudah katakan, aku tidak bisa membantumu!" Ronald berkata tegas pada Renee. "Kau sudah berjanji padaku, Ronald.""Janji bisa diingkari."Ronald menatap Renee serius. Tak ada keraguan dari tatapan mata lelaki itu pada putri keluarga Willow tersebut. "Kau tahu apa akibatnya kalau tak mau membantuku."Ronald menatap jengah. "Aku tahu," jawabnya. "Dan asal kau tahu, aku sudah tak lagi peduli.""Benarkah?" Renee bertanya sinis. "Kau tidak peduli dengan pernikahanmu lagi? Tak peduli dengan nasib anak-anakmu seandainya aku katakan pada mereka bagaimana hubungan kita selama ini?""Lakukan saja kalau itu membuatmu bahagia."Setelah berkata demikian, Ronald pergi dari tempat di mana ia dan Renee berbicara. Sebuah restoran yang ada di pinggir kota, tempat keduanya kerap bertemu untuk membicarakan sesuatu. "Kurang ajar. Apa ia benar-benar tak peduli atau sebetulnya ia cuma menggertak saja supaya aku tidak benar-benar melakukannya," ucap Renee dengan muka marah. '
"Tidak sama sekali. Aku tak peduli dengan hal itu. Mau dia marah atau sakit hati, apa peduliku?" Dean membalas tuduhan Noura yang seolah-olah jika dirinya tak mau menyakiti hati Renee. "Kebetulan ada alasan masuk akal jadi aku pakai. Lagipula dia tak akan banyak bertanya sehingga interaksi yang terjadi antara kami tidak berlangsung lama." Dean menambahkan. Kali ini sepertinya Noura menerima alasan yang suaminya katakan meski hatinya masih gengsi untuk bersikap kembali seperti biasa. "Oh, begitu." Itu saja yang Noura katakan. Singkat dan jelas, membuat Dean merasa lega hingga senyum tersungging di wajahnya. Setelah itu keduanya masih terlihat canggung. Noura yang lebih terlihat malu, akhirnya memilih diam dibandingkan banyak bicara seperti sebelumnya. Sekitar tiga puluh menit kemudian Noura pun pulang, setelah cairan infus yang masuk ke tubuhnya habis. "Bagaimana dengan Zayn, apa ada kabar dari ibu?" tanya Dean saat mereka sudah di dalam perjalanan pulang. Steven yang berada di
Perlahan Dean berjalan menghampiri Noura yang melihat ke arah lain. Di sebelahnya ibu mertua menatap bingung. "Hai! Are you okay?" tanya Dean dengan suara pelan dan lembut. Noura mengangguk lemah tanpa menengok atau melihat wajah suaminya itu. "Perutmu masih sakit?"Kali ini Noura menggeleng. Lagi-lagi enggan melihat wajah Dean. Pengusaha itu lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan sang istri. Tak ada respon, genggaman itu tetap terjadi. "Ada apa?" Dean memberanikan diri bertanya. Jarinya mengusap lembut telapak tangan Noura. Noura diam tak menjawab. Mulutnya masih membisu seolah berat untuk bersuara. Ibu Noura menoleh dan menatap bingung Dean. Wanita paruh baya itu jadi makin tak mengerti apa yang tengah terjadi pada sang putri. "Noura, apa yang kamu rasakan?""Enggak ada, Bu. Aku baik-baik saja."Dean melongo tak percaya. Saat ia bertanya, Noura hanya menjawab dengan gerakan. Tapi, begitu sang ibu bertanya justru dijawab dengan suara yang jelas. "Baiklah. Kalau kamu