Jalanan Girilayang berbukit-bukit. Naik-turun dengan permukaan tak rata. Sepanjang jalan banyak lubang melesak cukup dalam dengan genangan air yang membuat pejalan kaki harus buru-buru kalau ada deru motor yang akan melintas. Wira dilahirkan oleh seorang wanita Jawa cantik yang meninggalkan keluarga kayanya untuk hidup mengikuti pria keras kepala yang ia cintai. Kata bapaknya, ibunya adalah seorang anak Raden. Keterampilannya banyak. Menjahit, bercocok tanam, membuat kue, juga memasak semua jenis makanan pengisi lambung keluarga. Tak sampai di situ, saat keluarga sedang membutuhkan pemasukan tambahan, ibunya juga memasak kue-kue untuk dititipkan pada tetangga yang berdagang ke pasar. Pernah suatu kali banyak sawah yang mengalami gagal panen. Pak Gagah yang murah hati membagi-bagikan gabahnya yang tak seberapa untuk persediaan beras tetangga. Pria itu meminta istrinya untuk maklum dan berbesar hati. Dan wanita cantik keturunan ningrat itu pun memaklumi suaminya dengan memilih cara ma
Sully sama sekali tak pernah membayangkan kalau perjalanan melihat-lihat Desa Girilayang pertama kali akan ia lakukan di atas boncengan motor Pak Gagah. Awal naik ke boncengan Pak Gagah, Sully sempat bingung di mana meletakkan tangannya. Sully langsung mencoret kemungkinan ia akan berpegangan di pinggang Pak Gagah. Sedangkan kalau ia berpegangan di bahu, ia akan membuat ‘mertuanya’ seperti tukang ojek langganannya. Kalau tidak berpegangan, ia khawatir akan terjungkal di jalanan berlubang. Bisa-bisa Pak Gagah tak menyadari kalau ia terjatuh dan tertinggal di belakang. Akhirnya Sully mempercayakan tangannya di pegangan boncengan. Motor Pak Gagah berbentuk seperti belalang tempur. Hanya terlihat seperti sisa rangka motor. Siapa sangka suara motor itu bisa merusak gendang telinga dan asap knalpotnya mampu menghitamkan lubang hidung hingga pelosok terdalam. Sully berpikir soal siapa yang membuat motor seorang pria tua berpenampilan seperti itu. Jalan menuju kebun Ajeng ternyata cukup ja
Sesaat yang lalu saat Wira baru tiba di kebun Ajeng bersama Saptono dan Hendro, anggota kelompok tani yang juga masih melajang, sekitaran tempat itu sudah ramai. Wira yang tadi datang ke rumah Saptono berjalan kaki, mendatangi kebun itu dengan berboncengan bersama Saptono.“Apa kubilang … sudah ramai, toh? Mas Wira pemuda pujaan seluruh penjuru desa pulang kampung setelah bertahun-tahun merantau. Apalagi pulangnya bawa istri. Semua wanita yang penasaran, pasti mau ketemu.” Saptono terkekeh-kekeh menonjok pelan lengan Wira.“Mau ketemu bagaimana? Aku sudah resepsi dan semua tetangga datang. Mau lihat apa lagi hari ini? Istriku juga enggak ikut,” kata Wira, membuka bungkusan plastik yang dibawanya dari rumah tadi. Tangannya lalu mengeluarkan golok yang terbungkus sarung kulit dan memiliki tali untuk diikatkan ke tubuhnya sewaktu memanjat nanti.“Aku tadi jumpa Ratna sama temannya boncengan naik Hoonda. Aku klakson malah teriak ‘Salam sama Mas Wira.’” Hendro kemudian tergelak. Sedangkan
Kalimat-kalimat yang diluncurkan Oky ada benarnya. Sully juga baru pertama kali melihat seseorang memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi dan lurus menjulang ke langit. Tak sadar tangannya menyatu di pangkuan. Tergenggam erat dan basah oleh keringat karena ngeri melihat Wira memanjat terlalu cepat. Sekejab saja kebanyakan wanita yang berada di sana bertepuk tangan. Wira terlihat sedang mengayunkan goloknya menebas ranting kelapa sampai buahnya jatuh berdebum ke tanah.Kalau kebanyakan wanita memuji Wira, hal berbeda terjadi dengan kumpulan laki-laki. Hanya beberapa pemuda yang mengatakan soal kecakapan Wira itu. Selebihnya melontarkan perkataan dengki yang tertangkap telinga Sully. “Halah, kalau begitu saja aku, sih, bisa.”“Wajar kalau dia sesigap itu. Yang dikerjain juga pohon kelapa mbakyu-nya.” Dan yang paling mencolok di telinga Sully adalah perkataan, “Memang doyannya pamer dari dulu. Karena tahu disukai banyak wanita.” Sully menoleh ke kiri untuk melihat siapa yang mengatak
Wira cepat-cepat menangkap tangan Sully yang berusaha mendahuluinya. “Jangan marah. Nanti dilihatin orang,” kata Wira pelan.Sully menghentikan langkah dan melihat tangan Wira di pergelangan tangannya. “Ya, Mas gitu … Jangan pegang-pegang,” kata Sully, menyentak tangan agar Wira melepaskan. Karena tangan Wira bertahan di pergelangan tangannya, Sully melanjutkan langkah.“Iya…iya. Saya panggil Sulis aja,” kata Wira.Sully kembali menoleh Wira dengan sorot mata tajam menusuk.“Mas panggil Sulis aja,” koreksi Wira.Sully kembali melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Ternyata Saptono sudah berada di motornya dengan Hendro di boncengan.“Mmmm … diajak ngomong sama Fariz sebentar aja langsung dipegangi enggak dikasih lepas.” Saptono terkekeh-kekeh memandang Wira yang baru tiba dengan wajah kaku dengan tangan masih menggandeng Sully.“Besok jam sebelas malam aku ke rumahmu,” kata Wira pada Saptono. Mengalihkan fokus Saptono dari genggaman tangannya pada Sully.Saptono memanggil Wira mende
Kecuali hal yang sedang dilakukan Sully padanya saat itu. Wira tak pernah merasa wanita itu merepotkannya. Semua pekerjaan fisik dan kerepotan-kerepotan yang dibutuhkan kaum perempuan, sudah biasa ia lalukan untuk ibunya. Terlebih ketika ibunya jatuh sakit. Ia meluangkan waktu tiga bulan lebih mengurus wanita yang melahirkannya itu sampai mengembuskan napas terakhir dalam pelukannya.Kerepotannya pada Sully cuma satu. Ia terganggu kalau wanita itu mulai menempelinya. Tapi itu bukan jenis terganggu sampai ia membenci Sully. Ia hanya tersiksa. Ia juga laki-laki normal yang bisa khilaf.Wira membelokkan sepeda motor ke bagian depan desa. Mulai meninggalkan jalan yang kanan-kirinya berupa kebun dan mulai memasuki pemukiman yang jarak antar satu rumah dan yang lainnya cukup dekat.“Ini bangunan apa, Mas?” tanya Sully dari boncengan. “Ini Balai Desa Girilayang. Biasa warga desa kumpul-kumpul buat acara, atau pemuda-pemudi buat pertunjukan, rapat atau kegiatan sejenis, tempatnya di sini.” W
“Jangan buka baju di sini. Nanti ke kamar mandi bagaimana? Mau pakai handuk aja? Ada Bapak di belakang,” kata Wira. Masih berdiri dengan selembar handuk melilit di tubuhnya. Tangannya meraba-raba rak lemari mencari kaus yang akan ia kenakan lebih dulu.“Ya, kan, enggak mungkin aku telanjang ke kamar mandi. Ada-ada aja,” kata Sully santai. “Aku mau pakai baju tidur yang dikasih Mbak Ajeng. Melepas jeans ketat begini di kamar mandi repot,” jelas Sully, berjalan menuju bagian samping lemari di mana kopernya berada. “Tadi ngomong soal celana pendek Mas. Jeans kamu itu juga terlalu ketat. Bajunya juga enggak mesti diikat gitu. Pria yang lihat pasti mau ngomong iseng.” Wira menepikan tubuhnya saat Sully melintas. Sully tiba-tiba berbalik menatap Wira. Pria itu tersentak dan seketika terdiam. “Cuma karena omongan pria? Bukan karena cemburu?” tanya Sully, menatap lekat mata Wira.“Cemburu?” Wira balik bertanya. “Cuma enggak mau kamu diisengin orang.” “Oh, karena itu. Ya udah, minggir.” Sul
Tak sampai lima menit, Wira kembali ke kamar dengan sebuah lampu teplok mini yang sudah dinyalakan. “Diletak di sini aja, ya.” Wira meletakkan lampu teplok di atas meja kecil yang bersebelahan dengan kaca tinggi. Tak jauh dari kaki ranjang Sully. “Makasih,” kata Sully. Posisinya belum berubah. Masih berbaring miring menghadap pada posisi Wira. Wira duduk sebentar melihat ponselnya. Sedikit kikuk karena lampu yang terang benderang berubah ke pendar kuning redup, Wira berdeham pelan sambil menepuk bantalnya. Sully mulai tak sabar melihat Wira. Ia memahami kenapa pria itu melambat-lambatkan gerakannya. Saat membangunkan pria itu tadi pun, sebenarnya ia bukan benar-benar merasa pengap dengan kain sarung menutup wajah. Ia memang hanya ingin mengganggu Wira karena memang tak enak terbengong sendirian. Tak ada Oky yang bisa ia bangunkan dan biasa meladeni kerewelannya. “Lis …,” panggil Wira saat membaringkan tubuhnya menghadap Sully. Posisi mereka sekarang sama. Saling berhadapan, namun