Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
"Perkenalkan, ini calon suami kamu, Reina."Reina membelalak. "Ha? Kenal aja enggak! Calon suami? Tapi saya punya pacar lho, Pak Pram.""Ya tinggal diputusin," cetus si Om Ganteng. "Gitu aja apa susahnya sih?"Reina mendelik tak suka. Siapa sih manusia dengan tingkat percaya diri yang tinggi itu? Kenapa ikut-ikutan segala? Kan Reina makin kesal!Jika yang terjadi sekarang ini merupakan sebuah mimpi, tolonglah! Siapa saja—tolong bangunkan Reina! Mulai dari kematian orang tuanya, hingga pada detik Pak Pram—pengacara papanya—datang ke rumah dan membawa om-om ganteng yang diperkenalkan sebagai calon suaminya. Dunia memang sedang kacau-kacaunya. Tetapi jika permintaan terakhir papanya ialah menikahi om-om ganteng yang kelewat ketus itu, bisa dipastikan Reina yang akan terguncang dan dunianya yang oleng sana-sini.Pak Pram menjentikkan jari tepat di depan Reina untuk menyadarkan gadis itu. Sebab mulutnya menganga begitu lebar, harus ditutup supaya tidak membuat ilfeel si Om Ganteng dan ti
"Saya duda."Byurrr~"Astaga, Reina!" Pekik Tara yang langsung mengambil tisu untuk mengusap wajahnya. "Kok main nyembur aja?!"Rendi malah memejamkan mata. Menghela napas, lalu memandang jalanan dengan tangan kanan yang meraih sapu tangan. Reina membuka mulut lebar-lebar. Dari sekian tempat yang ada di dunia ini, mengapa dia harus bertemu dengan Om Ganteng di restoran yang dijejaki bersama dua sahabatnya itu?Gadis itu menggeleng, menepuk pipinya sendiri. "Aduh!" Meringis, Reina langsung menatap tajam Om Ganteng. Teringat dengan perkataan laki-laki itu yang berhasil mengejutkannya tadi.Dia duda??? batinnya memekik heboh."Kalian teman-temannya Reina? Silakan pesan lagi, tidak perlu membayar. Ini restoran saya." Ucap Om Duda yang berhasil mengejutkan tiga manusia di hadapannya itu. "Makasih, Om. Om namanya siapa?"Alex.""Alexander Graham Bell?" tanya Tara, menampikkan tawa kecilnya.Tara langsung mendapat tepukan dari Reina dan Rendi secara bersamaan. Perempuan itu berseru, lalu m
"Cih! Baru ketemu, udah akrab banget, sampai sahabatnya sendiri dilupain!"Reina sengaja tidak menjawab panggilan masuk dari kedua sahabatnya. Dia masih kesal lantaran berada di kubu Om Duda alias Alex. Padahal baru bertemu, tapi kok sudah setuju-setuju saja?Kenapa pula mereka tidak bisa menerima hubungannya dengan Andre?Dari dulu yang ada hanya penolakan. Saat Reina menceritakan kegiatannya dengan Andre pun, mereka hanya mendengarkan seadanya. Tidak terlalu menaruh perhatian. Seolah membiarkan Reina berada dalam jaring tak kasat mata bernama Andre. Tidak terasa pun, Pak Pram sudah datang lagi. Menangih jawaban yang sangat tak ingin diutarakan. Namun sesungguhnya, jawabannya tidak cukup berarti. Segalanya sudah diatur. Tepat malam ini, lamaran akan dilangsungkan. Pak Pram sekadar bertanya hanya untuk memuaskan rasa kecewa akibat tidak pernah ditanyai apa pun soal perjodohan ini. "Pak Pram kayaknya setuju ya? Kalau saya menikah sama Om Duda itu."Alis kanan Pak Pram terangkat ting
"Apa maksudmu, Reina?" Alex menautkan alisnya, tak menyangka gadis di hadapannya itu bisa berbicara hal yang sebelumnya dikatakan padanya.Alex dan Reina kini berada di luar restoran. Dia sengaja ingin berbicara empat mata dengan calon suaminya itu—yang barangkali bisa berakhir sebelum terlambat."Maksud aku, aku tau Om pasti masih cinta sama mantan istrinya Om. Aku juga tau kalau Om terpaksa kan, menikah sama aku? Makanya, bagaimana kalau kita besok langsung pisah aja?" tanya Reina, maniknya menatap ekspresi Alex yang entah mengapa berubah menjadi dingin seketika. Bahkan, rahang laki-laki itu mengeras, seolah menahan sesuatu keluar dari mulutnya."Terpaksa? Kamu dapat kesimpulan dari mana?" Alex berdecih. "Saya nggak mau berpisah, Reina. Meskipun begitu, kamu nggak perlu khawatir. Setelah kita menikah, saya nggak akan mengganggu kehidupanmu.""Hah?" tanya Reina, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Dengar, Reina. Saya minta maaf jika umur dan juga penampilan saya tida