Setelah selesai dengan acara makannya, mereka kembali kekediamannya masing-masing. Resti pulang dengan diantarkan oleh Adrian kerumah miliknya.Begitupun dengan Adrian, kini laki-laki itu pulang dengan perasaan yang entah kenapa menjadi gamang. Saat memasuki pintu utama rumah milik kediaman ke dua orang nya, Adrian dikejutkan oleh panggilan suara orang yang telah melahirkannya."Adrian" panggil Zelfa ke arah anaknya"Ya" laki-laki itu menoleh sekilas, ke arah sang bunda."Baru pulang kamu?" Tanya Zelfa ke arah anaknya "pasti kamu, habis bertemu dengan perempuan itu. Kan?" Tatap Zelfa kemudian, ke arah Adrian dengan penuh selidik."Resti, Bun! Bukan perempuan itu! Calon istri aku itu, punya nama," ujar Adrian lirih.Zelfa memutar ke dua bola matanya dengan jengah, sembari mencebikkan bibirnya "apa? calon istri!" katanya kemudian, dia berdecak sebal ke arah sang anak "Apa sih, yang kamu lihat dari perempuan itu,-" sambungnya"Jangan sekarang, Bun! Aku lagi enggak ingin berdebat," sela A
Atmosfer di dalam ruang meting tersebut bagi Resti sudah sangat horor. Sejak masuk ruang tersebut, dia merasakan degub jantungnya yang betalu-talu. Tangannya mulai dingin, sesekali keningnya mengeluarkan beberapa bulir keringat. Padahal ruangan itu menggunakan pendingin udara. Sedari tadi fokusnya sudah hilang entah ke mana. Tiba-tiba perempuan itu terlonjak kaget saat seseorang menyenggol lengannya, siapa lagi pelakunya kalau bukan Albian."Res!" Bisik Albian, menyadarkan Resti dari kegelisahannya "giliran kamu bicara" sambungnya kemudian."Kamu aja," balas Resti dengan berbisik ke arah Albian.Laki-laki itu berdecak sebal, merasa aneh dengan Resti hari ini. "Kan kamu yang pelajari semua berkas-berkas nya" Resti menghela napas, kemudian dia mengatur suaranya dan berdehem. Menetralkan suaranya yang tercekat karena gugup. Perempuan itu berdiri dan berjalan ke arah depan, untuk menjadi moderator sebagai pembicara perwakilan dari firma hukum yang ditunjuk oleh atasannya Kini proyektor
Resti mengerjapkan matanya dengan perlahan, dia melihat sekeliling ruangan bukan berada di kamar hotel yang dia sewa. Perempuan itu mengingat kembali, di mana di saat dia masuk keruangan laki-laki yang pernah singgah di hatinya. Ke mana perginya laki-laki itu saat ini? Dia memegang kepalanya, yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Dan dia baru menyadari, jika dari tadi siang dia belum sempat makan, kini perutnya sudah minta di isi. Saat sedang bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar digendang telinganya. Seorang perempuan menyembulkan kepalanya. Tanpa banyak bicara, perempuan itu mendorong troly, mendekat ke arah Resti. Troly tersebut berisikan hidangan makan malam untuknya."Permisi, bu! sudah saya siapkan makan malamnya. Sekitar 1 jam lagi supir akan menjemput bu Resti. Tadi bapak berpesan, agar ibu bisa langsung bersiap setelah makan malam" ucap perempuan itu, yang tak lain adalah Melly sang sekertaris Richard. Resti hanya meresponnya dengan anggukan kepala.
"Kamu mau teriak, silahkan. Di sini hanya ada kamu dan aku. Lagi pula kamu itu adalah istriku, sampai kapanpun akan tetap menjadi istriku. Tidak ada yang akan bisa menggantikan aku, untuk jadi suamimu. Bahkan ayah bagi anakku. Camkan itu," ujar Richard, terus mencengkram tangannya Resti di atas kepala perempuan itu. Dia dengan leluasa membuka seluruh pakaian yang dikenakan Resti dengan tangan yang satunya lagi."Lepas, Mas!"" ucap Resti. Dia meronta, dan memberontak, serta melawan, agar dilepaskan. Tapi yang namanya perempuan, pasti tenaganya akan kalah kuat dengan laki-laki "aah!!" ucapannya tertahan kala Richard mulai mencium leher serta cuping telinganya. Laki-laki itu menjamah setiap inci lekuk tubuh Resti dengan sangat lembut. Dia memperlakukannya dengan penuh cinta, baru kali ini dia merasakan kenikmatan yang sesungguhnya, yang memang benar-benar dia inginkan. Senyuman tipis terbit dari bibir Richard, kala Resti mulai menikmati setiap kecupan-kecupan yang dia ciptakan. Cengkar
"Kamu tenang aja yaa, sayang. Sebentar lagi Adrian pasti datang" ucap Zelfa ke arah Andini, perempuan yang akan di jodohkan oleh Zelfa untuk Adrian Anaknya.Zelfa saat ini terus saja gencar mempertemukan Adrian dengan Andini, perempuan yang profesinya sama-sama dokter dengan anaknya. Akan tetapi anaknya itu terus menerus menolak nya, bahkan Adrian kerap kali memberikan berbagai macam alasan agar dia tidak bertemu dengan calon dari bundanya itu.Sebisa mungkin Zelfa akan terus memaksakan agar Adrian menggagalkan rencana pernikahannya dengan Resti."Tapi bun, nanti bang Adrian marah" Andini berkata dengan lirih sembari menunduk takut."Selama ada bunda, Adrian enggak akan marah ke kamu"Mereka berbincang kembali, selama menunggu Adrian datang. Kemudian mereka memesan beberapa menu sebagai cemilan. Tidak berselang lama laki-laki yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Adrian memakai baju dengan kaos berkerah yang berwarna putih, dipadukan dengan celana jeans. Serta kaca mata hita
"Lalu, menurut kamu. Yang pantas menjadi Papa nya Rachel. Kamu. Begitu," sahut Adrian, sembari melirik sekilas ke arah laki-laki itu seperti sedang mencemoohnya "bahkan kamu, tidak pernah mengakui darah daging kamu sendiri. Apa pantas kamu di sebut papa nya" lanjutnya dengan tegas, sembari tersenyum penuh arti."Berengsek" umpat Richard, rahangnya mengeras dengan tatapan beringas seolah-olah ingin menerkam Adrian hidup-hidup. Tangannya terkepal dengan kuat menahan gejolak amarahnya. Sebisa mungkin dia harus menguasai emosinya di depan anak kandungnya."Achel, sama encus Minah," pinta Adrian ke arah Rachel--anak perempuan yang sangat dia sayangi layaknya anak kandungnya sendiri.Rachel hanya menganggukkan kepalanya, pertanda dia mangerti ucapan Adrian. Dia memeluk kemudian mencium pipi Adrian, sembari sesegukan karena tangisnya yang belum mereda.Richard hanya memperhatikan interaksi keduanya, hatinya tercubit saat menyaksikan kedekatan anaknya dengan orang lain. Seharusnya dia yang di
"Bunda kangen, Achel" Resti mencium setiap jengkal wajah imut sang buah hatinya yang masih dalam dekapannya."Stop,""Kenapa?" tanya Resti heran sembari mengeryitkan keningnya menatap sang buah hati."Atu udah becal, nangan tium-tium. Mayu" jawab Rachel cedal dengan wajah kesalnya."Kan bunda kangen, memang achel gak kangen" "Tanen, tapi enda tium-tium cemua"Resti hanya tertawa menanggapinya dengan gemas, kemudian dia menguyel-nguyel perut hingga membuat anaknya tertawa geli."Aku enggak kamu peluk, aku juga kangen" tiba-tiba Richard berbisik ditelinga Resti.Laki-laki itu mengerlingkan sebelah matanya, dia berdiri tepat di samping perempuan itu tanpa disadari oleh Resti. Tangannya dia masukkan kedalam saku celananya. Resti memutar kedua bola matanya dengan malas kemudian meninggalkannya dengan acuh."Sayang, kamu tidak mau berterima kasih kepadaku" teriak Richard sembari mengikuti langkah Resti yang sudah melenggang berjalan duluan."Untuk?" Jawabnya masih terus tetap melangkah me
"Sejak kapan kalian kembali bersama?" tanya Adrian dengan lirih, sembari terus menatap Resti."Mas, sebelumnya aku ingin meminta maaf kepadamu… “ Resti menjeda ucapannya, kemudian dia menghembuskan napasnya dengan perlahan, “Semua serba kebetulan. Perusahaan yang aku tangani adalah milik suamiku."Perempuan itu menyadari kesalahannya saat berucap. Dia dapat melihat raut wajah Adrian sendu, saat dia menyebut nama Richard sebagai suami."Apa kamu bahagia, Res?" Resti tidak dapat menjawab pertanyaan Adrian, dia menundukkan pandangannya. Bulir bening menetes di kedua bola matanya. Dia sangat bersalah tidak bisa membalas perasaan Adrian terhadapnya. Laki-laki yang selalu ada saat dia membutuhkan pertolongan, laki-laki baik yang selalu menyayangi anaknya dan mencintainya dengan tulus. Dengan sabar, laki-laki itu selalu menunggu agar hati Resti bisa menerimanya."Aku harap diamnya kamu sudah menjawab semuanya, terus aku bisa apa lagi?” Adrian tersenyum miris. “Selama ini kamu tidak pernah m