Share

6 | Hitam Menggoda

Aku menganga melihat semua baju yang ada di depanku. Bukan lagi baju kaos kebesaran milik Ryan, melainkan baju dari butik terkenal yang sudah pasti aku ketahui labelnya. Butik dengan baju desain keinginan banyak wanita. Harga mahal, menjadi ciri khasnya, akan tetapi kualitasnya tidak main-main. 

"Coba lah satu per satu. Aku tidak tahu yang mana kesukaanmu, baby girl." Ujar Ryan, sedikit berbisik padaku. Menghempas tangannya yang memainkan rambutku. 

"Ada apa dengan semua ini? Kenapa begitu banyak baju yang ada di kamarku?!" 

"Memangnya kenapa? Kamu membutuhkannya, babi girl. Lagi pula, ini juga kamarku. Kalau kamu malu dilihat oleh mereka, biar aku yang membantumu memakainya."

Aku menatapnya tajam. Berani-beraninya dia menyentuh tubuhku lagi. Dia tidak tahu kalau aku sangat membencinya dan ingin menusukkan pisau dapur itu pada seringaian tipisnya. 

"Mari, saya bantu mencobanya." Ujar salah satu perempuan yang sedari tadi mempersiapkan segerombolan baju ini. Tidak mau mengecewakan mereka, pada akhirnya aku menuruti permintaan Ryan. Baru saja aku melangkah untuk mengikuti mereka, tangan Ryan mencoba menggoda ku. 

"Hempaskan tanganmu!" Ujarku benci. Ia hanya tersenyum saja.

Memang tidak bisa diragukan begitu saja. Setiap modelnya sangat lah membuatku tampak menjadi perempuan sosialita manja. Ada beberapa yang modelnya santai, ceria, bahkan sampai menggoda. Mungkin, maksud Ryan membaginya seperti itu supaya aku bisa ikut bersamanya ke sebuah pesta?. Apakah mungkin?.

"Hahaha...."

Seketika aku langsung tersadar. Aku tidak sendirian di sini, melainkan ada dua perempuan lainnya yang membantuku. Mereka terlihat kebingungan denganku. Tentu saja, aku sudah berlagak layaknya orang gila. 

"Tidak apa. Lanjutkan saja." Kata ku dingin. Ia membantuku merapihkan lagi baju yang terakhir ini. Setelah beberapa kali memasang, memperlihatkannya dengan malas pada Ryan, dan menggantinya lagi dengan model yang lain. Tapi yang terakhir ini sepertinya sangat lah spesial. Ketat, hitam mengkilat, bahkan sangat lah terbuka. Sama sekali tidak pantas untuk digunakan di keadaan mana pun. Tapi, aku terlihat cantik memakainya, meski sedikit nakal. 

"Baby girl! Keluarlah!" Teriaknya. 

Menghela nafas panjang, keluar dan memperlihatkannya. Agak kesusahan memang, apalagi saat berjalan. Ditambah lagi dengan AC yang ada di kamar ini, semakin membuat bulu kudukku bergidik ngeri.

"Perfect!" Ucapnya, sambil memberikan applause. Hanya dengan sedikit gerakan tangannya, ia membuat beberapa orang di kamar ini keluar, menyisakan diriku dengannya. 

Ia mendekat, menatapku dengan tatapan yang paling aku benci. Tatapan itu selalu membuatku menjadi semakin hina setiap kali dia melakukannya padaku. Andai, ada rasa cinta diantara kita berdua, mungkin aku akan melakukan hal yang sama dengannya. Saling tatap menggoda dan berakhir di ranjang. Sayangnya, Mash jauh dari kata itu.

Mengintariku, jari kuat nan berurat itu menyentuh kain penutup tubuhku, yang secara tidak langsung juga bersentuhan dengan tubuhku sendiri karena begitu tipis dan ketatnya baju ini. 

Jujur, aku merinding diperlakukan seperti ini. Apalagi ketika jarinya menyentuh perutku, seperti ada kupu-kupu yang terbang di perutku. Lepas kendali, aku sampai menutup mataku saking menikmati sentuhan tangannya.

"Kamu terlihat nakal dengan memakai baju ini, baby girl. Dari sekian baju yang kamu coba, aku paling suka melihatmu memakai ini." Bisiknya, tepat di pinggir telingaku. Tidak hanya di situ saja, ia sengaja meniup telingaku membuatku tidak sadar berpegangan pada bahunya. 

"Sepertinya kamu sudah tidak tahan, baby girl." 

Aku langsung tersadar, menghindar darinya. Bukankah sangat menyakitkan? Rasa nikmat yang hendak di raih itu harus terputus seketika, dikalahkan oleh rasa benci padanya. Entah, sekarang siapa yang akan menjadi pemenangnya. Antara tubuhku dengan hatiku, keduanya bertolak belakang.

"Sama sekali. Saya tidak menyukai baju ini." Ucapku ketus. Masuk ke kamar mandi dan menggantinya cepat. 

***

"Aku hanya mengambil baju yang terakhir." Ucap Ryan. Aku langsung membulatkan mata, tidak percaya dengan dirinya. 

Kenapa dari sekian baju yang aku coba, dia hanya memilih baju hitam nakal itu, dibandingkan dengan baju sopan yang lain. Dengan begitu, aku juga bisa memakainya di hari biasa. 

"Tidak. Aku pilih yang pertama saja." Ujarku. 

"Yang terakhir saja!" 

Mereka kebingungan dengan kami berdua. Bertengkar, mempersalahkan perihal baju antara baju pertama yang terkesan sopan, atau baju kedua dengan segala kenakalannya.

"Aku tidak punya baju ganti kamu pilih baju yang terakhir!" Teriakku. 

"Kamu bisa pakai bajuku, sepuasnya." Bisik Ryan, tapi terdengar jelas oleh mereka. Sampai-sampai mereka lah yang tersenyum salah tingkah dibandingkan denganku yang sama sekali tidak terpengaruh olehnya. 

"Kalau begitu, saya bungkus keduanya saja, pak. Nanti bapak bisa bicarakan harganya dengan bos kami." Ucap salah satu. 

Aku dan Ryan saling tatap-tatapan. Tidak ada yang mau mengalah. 

"Tidak perlu!. Bungkus semuanya dan saya akan bayar sekarang juga!" Ucapnya. Melengos mendekati mereka dan melakukan transaksi. Entah berapa uang yang dia habiskan untuk membeli semua baju ini.

Ah, terserah. Itu adalah urusannya.

Drrttt... Drrttt...

Aku mengambil ponsel Ryan yang bergetar di atas ranjang. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya. 

Paramita. Istri pertama Ryan.

Baru saja mengambilnya, Ryan langsung merebutnya paksa. Dia tidak menjawab panggilan itu, malah memasukkan ponselnya ke saku balik jasnya.

"Aku akan pulang nanti malam. Pakai baju yang terakhir. Ingat!"

Ia mengecupku singkat sebelum benar-benar keluar dari kamar. Aku bahkan tidak bisa mengatakan apapun padanya. Dan apa katanya? Memakai baju terakhir?. Mimpi saja, Tuan Kaya!.

"Bawa baju yang hitam itu. Nanti aku yang bicara dengan Ryan!" Ucapku pada mereka. 

***

"Kenapa kamu tidak memakai baju yang terakhir?" 

"Memangnya aku bonekamu? Suruh saja istri pertama mu memakainya!" Jawabku ketus. Menaikkan selimut dan tidur lebih dulu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status