Share

Bab 08. Kantor Polisi

Di dalam sebuah unit perumahan, terlihat seorang gadis kini sedang sibuk berkutat dengan peralatan dapur. Seorang gadis muda berusia 25 tahun itu tampak cantik dengan balutan dress selutut yang pas di tubuhnya, rambut yang digelung asal dan polesan make up tipis membuat kecantikan gadis itu bertambah, bahkan terlihat lebih natural. Tanpa polesan make up pun wajahnya sudah cantik dan manis.

Shanaya Alunda namanya, gadis cantik blasteran Indonesia-China itu tampak sedang sibuk menyiapkan masakan, untuk menyambut kepulangam seseorang yang teramat penting baginya.

Beberapa menit berkutat, akhirnya masakan pun sudah matang dan tersaji di meja makan. Ia melepaskan celemek yang menghalangi tubuhnya, kemudian membasuh tangannya agar bersih.

Drrtt ... drrttt ....

Suara deringan ponsel, membuat atensi gadis berwajah cantik itu beralih. Keningnya mengerut.

"Halo, mohon maaf, ini dengan siapa?" tanya Shanaya bertanya pada seseorang di seberang sana.

"Ini Daddy, Shana. Maaf sayang, Daddy tidak bisa pulang hari ini." Shanaya mematung di tempat duduk, hatinya mendadak tidak enak kala mendengar suara sang Ayah yang terdengar lemah.

Pikirannya jadi berkecamuk. Kenapa sang Ayah malah menelponnya dengan nomer asing? Dimanakah ponselnya?

"Loh kenapa Dad? Ponsel Daddy kemana? Kok malah nelpon pakai nomer baru," tanya Shanaya, bersikap setenang mungkin. Walau sebenarnya pikirannya berkecamuk.

"Daddy ... Daddy lagi di kantor polisi, Shana. Daddy dilaporkan karena kasus penggelapan dana." Terdengar suara isakan tangis Ayahnya di seberang sana.

Bagaikan tersambar petir disiang bolong, tubuh Shanaya jadi lemas ketika mendengar kabar jika Ayahnya berada di kantor polisi.

Air mata Shanaya menitik di mata lentiknya, dia sampai membekap mulut guna menahan isak tangis agar tidak terdengar oleh Ayahnya.

Ya Tuhan ... sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Ayahnya malah dibawa ke kantor polisi? Senyum yang terlukis di wajah cantiknya memudar begitu saja.

"Daddy di kantor polisi mana sekarang? Biar Shana ke sana sekarang!" Shana bangkit dari duduknya. Tubuhnya hampir limbung saking shock dengan kabar ini.

Suara isakan tangis sang Ayah terdengar begitu menyedihkan, sampai hati Shanaya teriris. Seumur hidupnya, Shanaya jarang melihat sang Ayah menangis sampai sesenggukan begini.

"Kau tidak perlu ke mari, Nak. Biar Daddy selesaikan urusan Daddy di sini. Kau tidak usah khawatir. Daddy baik-baik saja, sayang."

"Bagaimana bisa Dad? Why? Sekarang bilang sama aku, di kantor polisi mana Daddy ditahan?!" tanya Shanaya tak sabaran. Tanpa berpikir panjang, ia menyambar kunci mobil miliknya dan bergegas untuk ke garasi, ia akan menyusul Ayahnya di kantor polisi.

Ketika Ayahnya sudah memberitahukan dimana letaknya, Shanaya mematikan ponselnya dan mulai menancap gas, hingga mobil mewah miliknya meninggalkan pekarangan rumah besarnya.

Pak Amir menangis terisak ketika sudah bicara dengan putri semata wayangnya. Tidak perduli, di hadapannya ada banyak orang, dia tidak mau menghabiskan waktu di dalam penjara.

Ayah Aryan mendengar kabar, jika Pak Amir dilaporkan atas kasus penggelapan dana, bergegas datang ke kantor polisi bersama istrinya.

Mantan pemimpin Arsawijaya Copration itu menatap kecewa ke arah Pak Amir. Pak Amir sudah bekerja di perusahaannya bertahun-tahun lamanya, dia juga salah satu karyawan kepercayaannya sampai sekarang.

Tak bisa disangka, jika Pak Amir malah melakukan kecurangan. Yang membuat Ayah Aryan kecewa bukanlah soal nominal uang, tetapi kepercayaan. Orang yang sudah ia percaya malah merusak kepercayaannya.

"Saya tidak menyangka, jika kau akan melakukan tindakan seperti ini di kantorku, Amir. Puluhan tahun saya mempercayaimu. Kenapa kau malah merusak kepercayaanku?" tanya Ayah Aryan.

Pak Amir semakin menunduk malu. "Saya mohon, maafkan saya Pak Aryan. Saya benar-benar minta maaf atas kesalahan saya. Saya mohon, jangan penjarakan saya."

"Tidakkah kau sadar atas kesalahanmu itu, Amir? Penjara ini hukuman yang pantas untukmu, kau seorang koruptor, harus ditindak lanjuti!" tegas Ayah Aryan, tanpa menerima balas kasihan pada orang kepercayaannya itu.

"Saya terpaksa melakukan ini, Pak Aryan. Karena saya membutuhkan uang. Tolong Pak, jangan penjarakan saya. Jika saya di penjara, saya tidak tega meninggalkan putri saya sendirian," lirih Pak Amir.

Ayah Aryan membuang wajah murka. Ia baru ingat jika Amir mempunyai seorang putri. Tiga tahun lalu ia sudah melihat putrinya. Anak Pak Amir itu gadis cantik, sekarang mungkin lebih cantik.

"Dengar Amir. Jika kau membutuhkan uang, kenapa harus dengan cara seperti ini? Tindakanmu bisa membuat perusahaanku rugi," sergah Ayah Aryan, kembali menatap sinis ke arah Pak Amir yang terdiam.

Farraz memutar bola mata jengah. Sedari tadi dia hanya diam dan menyimak, sama sekali belum membuka suaranya. Toh, kasus penggelapan dana ini sudah diurus oleh kepolisian, untuk apa ia repot-repot berbicara.

"Emang paling benar kamu itu dipenjarakan, Amir. Kalau dibebaskan, keenakan nantinya. Apalagi kau sudah menghabiskan uang perusahaan demi kepentingan pribadi, 'kan?" sahut Arsinta tak kalah murka pada pegawai suaminya.

Jika bukan karena Shanaya, Pak Amir mungkin akan menerima hukuman atas perbuatannya. Sebagai orangtua tunggal, Pak Amir tidak tega harus meninggalkan putri semata wayangnya sendirian. Hanya Shanaya yang Pak Amir punya, putri kecil yang paling berharga dihidupnya.

"Daddy! Daddy!" Mendengar suara seorang wanita, mereka langsung menatap ke arah sumber suara.

Dari arah pintu masuk, tampak seorang gadis tengah tergesa-gesa dan berteriak memanggil Ayahnya. Air mata Pak Amir tidak bisa dibendung. Antara sedih dan malu pada putrinya.

Mungkin, Shanaya akan malu mempunyai Ayah seorang koruptor. Tidak bisa dibayangkan, sekecewa apa jika Shanaya tahu jika hadiah yang dia berikan uang hasil penggelapan dana perusahaan.

"Daddy!" Shanaya memekik dan berhambur ke dalam pelukan Ayahnya. Anak dan Ayah itu saling berpelukan satu sama lain, tanpa menghiraukan mereka yang memperhatikan.

"Why Dad? Kenapa bisa Daddy dilaporkan? Memangnya apa salah Daddy? Aku yakin, Daddy tidak bersalah. Merekalah yang bersalah karena sudah menuduh Daddy!" gerutu Shanaya.

Pak Amir mengusap belakang kepala anaknya agar Shanaya tenang. "Hei, tenang sayang. Daddy baik-baik saja. Tidak perlu menangis."

Shanaya melerai pelukan, mata berembunnya menatap ke arah keluarga Arsawijaya, karena sudah melaporkan Ayahnya.

"Kenapa kalian melaporkan Daddyku? Kalian pasti sudah salah paham, Daddyku tidak mungkin melakukan korupsi, aku yakin, kalianlah yang asal menuduh!" ketus Shanaya suaranya bergetar menahan tangis.

Arsinta maju ke depan, sontak saja Farraz memutar bola mata malas, melihat Arsinta seperti pahlawan kesiangan.

"Kami tidak akan melaporkan Ayahmu, jika dia tidak bersalah. Kenapa tidak kau tanyakan saja pada Ayahmu itu, apa kesalahannya!" timpal Arsinta.

Kepala Shanaya menggeleng cepat. "Nggak mungkin! Daddyku bukan orang seperti itu, Daddyku orang baik!"

Gadis cantik itu mengatupkan kedua tangan di depan dada sambil berhadapan dengan Aryan Arsawijaya. Selama Ayahnya bekerja di Arsawijaya Copration, Shanaya kenal dengan pria paruh baya itu.

Aryan Arsawijaya juga salah satu motivator dirinya, makannya dia tahu siapa pria yang berada di hadapannya itu.

"Sudah Shana, ini semua salah Daddy. Kau tidak perlu memohon-mohon seperti itu. Tolong Shana, jangan menjatuhkan harga dirimu demi pria brengsek seperti Daddy."

"Pak Aryan, aku mohon ... tolong bebaskan Daddy," pinta Shanaya, kedua matanya berkaca-kaca.

'Benarkah ini Shanaya 3 tahun lalu? Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, tentunya berpendidikan,' batin Ayah Aryan, matanya terpesona dengan kecantikan anak Pak Amir ini.

"Tidak bisa Shana, mau bagaimana pun juga Daddymu terbukti bersalah. Dia pantas mendapatkan hukuman," ucap Ayah Aryan.

"Tahu dirilah sedikit, karena ingin membahagiakanmu, Daddymu itu sudah membuat rugi perusahaanku!" sahut Farraz yang baru angkat bicara.

"Pak Farraz dan Pak Aryan benar Nak ... Daddy bersalah dan Daddy akan menerima hukumannya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status