Ratih baru sampai di rumah, jamu yang dijual juga sudah habis. Dia sengaja lewat pintu samping karena tahu ada tamu yang bertandang ke rumahnya.
Setelah meletakkan rinjing dan mencuci kaki serta tangan, barulah Ratih ke kamar, inginnya, tapi karena letak kamar yang memungkinkan bisa melihat siapa tamunya, Ratih pun ikut bergabung di ruang tamu.
“Mas Prapto,” sapanya sambil ikut duduk di sebelah ibunya.
Ibu Ratih menelan ludah. “Kamu sudah pulang? Kapan?” Itu adalah pertanyaan konyol, tapi ibunya Ratih tetap menanyakan ke putrinya.
“Barusan, Bu. Mas Prapto, kenapa ke sini?” Ditolehnya Prapto, “Kemarin kan belum memesan jamu, Ibu pasti belum membuatkannya, iya kan, Bu?” Ratih tersenyum sambil menoleh ke ibunya lagi, ternyata jamu ibunya kemarin menyelamatkan hidupnya.
Ibu Ratih pun tersenyum masam, menarik tangan putrinya agar tak berkata sembarangan, “Nduk, Tuan Prapto—“
“Aku ke sini untuk menikahimu.” Prapto memotong ucapan ibunya Ratih, terlalu lama jika membiarkan perempuan tua itu basa basi, meski dengan putrinya sendiri.
Mata Ratih membola, candaan macam apa ini?
Seringai yang memenuhi wajah Prapto tidaklah menyeramkan, dia tak takut sedikit pun. Ratih tak ingin menjawab. Dia lebih memilih untuk menoleh ke ibunya, dan saat ibunya mengangguk dengan wajah serius serta setengah ketakutan, barulah Ratih menelan ludah. Tak ada yang bisa dia katakan untuk membela dirinya atau berlari dari perkara ini.
“Semua istriku tidak ada yang haid, kurasa kamu sudah tahu kenapa aku malah menikahimu. Itu karena kamu yang berjanji akan memberiku seorang anak jika ke tiga istriku tak ada yang subur, kan? Apa kamu melupakan janjimu sendiri?” Prapto terkekeh. Dia sangat suka dengan wajah pucat Ratih.
“Kami akan membayar kelancangan putri kami, Tuan Prapto.” Bapak Ratih kini berbicara. Pria tua itu tak sudi jika putrinya dijadikan istri ke-4 dari blantik kejam seperti Prapto.
Mendengar itu, Prapto terkekeh. “Dengan apa? Kebun tebu milikmu yang disewa pabrik gula yang belum waktunya panen itu? Kamu juga sakit tidak bisa berjalan begitu, siapa yang akan percaya dan memberikan pinjaman kalau kamu mau membayarnya dengan uang hasil berhutang?”
Bapak Ratih memejamkan mata. Keadaannya saat ini memang tak memungkinkan. Sudah lebih dari dua tahun dirinya hanya berbaring di ranjang seperti bunga ranjang, hidupnya tak berguna, hanya bisa merepotkan istri dan juga putrinya saja.
“Kami akan menjual tanah kami, Tuan Prapto. Berapa uang yang harus kami berikan agar hutang Ratih lunas?” Kali ini, ibunya Ratih yang bertanya. Dia juga tak akan tega membiarkan Ratih tinggal dengan tiga istri tua Prapto. Akan jadi apa putrinya nanti?
Ratih pun tak buang waktu. Dia segera berlutut di kaki Prapto.
“Apa kiranya yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku, Tuan Prapto?” tanyanya sambil menangis.
Prapto terkekeh kembali, menyandarkan punggung karena dia pun juga lelah menunggu Ratih sedari tadi. Bahkan, dia sampai habis dua gelas teh manis aroma melati yang dibuat oleh Ibu dari perempuan ini.
“Aku tak pernah meminta apa pun. Aku hanya menagih apa yang sudah kamu katakan kemarin!” Prapto menarik dagu Ratih agar menatapnya dan tidak menunduk seolah dia saja yang jahat di sini, “kamu mengatakan kamu sendiri akan memberiku anak dari rahimmu kalau istriku tidak bisa hamil. Sekarang, kalau aku menagihnya apa aku yang salah?”
Entah mengapa, Prapto menikmati tangisan di wajah Ratih sekarang. Di sisi lain, ibu dan bapak Ratih hanya bisa saling melempar pandang. Prapto memang sudah mengatakan maksud dan tujuan saat pertama datang ke rumah ini tadi. Orang tua Ratih pun sudah menolak dengan cara sopan sampai kasar karena tak kuat membayangkan apa yang akan terjadi jika hal itu benar-benar terjadi pada putrinya.
“Jamu Ibuku memang tidak manjur, Mas Prapto.” Ratih mengakui kesalahan sambil menangis lalu berkata, “Aku akan membayarnya dengan uangku dan uang orang tuaku. Berapa totalnya, Mas Prapto?”
Biar saja setelah ini jamunya tak laku lagi bila Prapto menyebarkan pengakuannya ke seluruh kampung. Yang penting, dia tidak ingin menjadi Istri ke-4 Tuan Tanah ini.
Sanyangnya, Prapto justru mengerutkan kening. Dia terlihat tak percaya pengakuan Ratih, “Benarkah itu? Kau harus membayar 100 juta jika jamu ibumu tak manjur”
Meski Ratih menoleh, Prapto tetap membuang muka. Dia justru menoleh ke ibunya Ratih, “Buatkan aku jamu yang sama dengan jamu yang diberikan Ratih kemarin. Kalau Ibu berani membodohiku, aku akan meratakan rumah ini.”
Prapto akan membuktikan sendiri! Setelah melihat reaksi Ratih yang ketakutan, Prapto makin yakin kalau ada yang tidak beres meski belum dia temukan di sisi yang mana.
Ibunya Ratih pun segera berdiri, ke dapur untuk membuatkan jamu agar diminum Ratih. Itu adalah ramuan yang sama untuk mengetes kesuburan bagi perempuan. Mencampurkan bunga kenanga, kunyit, gambir, dan juga daun luntas serta sirih merah, ibunya Ratih tak tahu apa yang dia pertaruhkan. Hanya saja, dia tahu bahwa dirinya tak mungkin menghindar atau bahkan pergi dari permainan Prapto yang kejam.
“Jangan, Bu! Jangan, Bu! Ratih gak mau, jangan, Bu!” Ratih segera berdiri, menyudahi aksinya menyembah Prapto karena tak menghasilkan apa pun.
Perempuan itu berganti dengan berlari mendekati ibunya, berniat menyembah ibunya agar berhenti sekarang, tapi apa? Cengkeraman di tangannya membuatnya tak akan pernah sampai di tempat ibunya. Ratih hanya bisa menggeleng, air matanya sudah memenuhi seluruh wajah. Jika bercermin, mungkin sudah tak karuhan penampilannya saat ini.
Prapto terus mengeratkan cengkeraman di pergelangan tangan Ratih, “Apa yang kamu takutkan, Ratih?” menyeringai, kalau jamu yang diminumkan ibunya Ratih tidak berhasil di diri Ratih, mungkin Prapto akan membantai semua anggota keluarga ini. Gelengan yang Ratih pamerkan, semakin membuat Prapto tertawa, ketakutan dan ke tidak berdayaan, itu adalah hal yang paling Prapto sukai di dunia ini.
“Ini, Tuan Prapto.” Ibu Ratih ke luar dari dapur, membawa segelas jamu yang baru saja dia ramu.
“Tidak, Ibu!” tolak Ratih lantang, dia tak menyangka ibunya benar-benar membuatkan jamu yang berarti menyerahkan dirinya ke blantik kejam ini.
Prapto menoleh ke kusir yang juga ikut masuk, mengangguk sekali, dan segera mengambil gelas berisi jamu itu setelah kusirnya memegangi tangan Ratih agar tidak banyak bergerak dan memudahkannya untuk menyuapi Ratih dengan jamu itu.
“Tidak, Ibu. Tuan Prapto, jangan, jangan, hm—akh! Jang—uhuk, uhuk, uhuk!” Ratih terbatuk setelah meneguk jamu itu dengan paksa. Prapto menekan rahangnya, membuat Ratih tak bisa menolak jamu itu. Cairan itu belepotan ke seluruh tubuh bagian atas di depan, tapi lebih dari itu, hampir sebagian besar masuk melalui tenggorokan dan mengisi lambungnya.
“Lepas!” Prapto memerintah ke kusirnya, kembali duduk di kursinya dengan Ratih yang tetap terduduk di lantai.
Ratih segera berlari ke belakang, dia akan melogok mulutnya dan memuntahkan jamu yang baru saja dia minum. Sangat dalam, dia memuntah tanpa mengeluarkan apa pun, membuatnya semakin kesakitan dan berakhir dengan tangisannya lagi.
“Hahahaha. Lakukan sesukamu, Ratih. Kita lihat siapa di sini yang akan terbongkar kebusukannya, berdoa saja kalau jamu itu memang tidak manjur, dan aku akan mendapatkan 100 juta darimu, itu cukup untuk membeli dokar lagi karena dokar yang ini sudah tidak nyaman dudukannya.” Prapto yang tadi mengikuti ke mana perginya Ratih, berbalik, dia ke kursinya lagi. Prapto tak akan pergi selangkah pun sebelum mengetahui apa reaksi dari jamu yang baru saja diminum Ratih.
Ratih terus menangis. Jarik yang dia kenakan, di bagian bawahnya, telah basah oleh air kamar mandi. Namun, Ratih tetap tak pergi. Penyesalan membuatnya sangat bersedih, apa yang akan terjadi setelah ini andai dia harus membayar semua ucapannya dengan uang 100 juta atau bahkan seorang bayi? Hanya membayangkannya saja rasanya tidaklah kuat.
Ibunya Ratih mendekat, membantu putrinya berdiri. “Maafkan Biyung, Sayang. Semua sudah terjadi, kita serahkan saja ke Yang Maha Kuasa. Dengan apa kita membayar perbuatanmu nanti? Ibu dan bapak akan melakukan yang terbaik untuk putrinya, jangan menangis, ya?” ucap sang Ibu terus memeluk Ratih hingga pakaiannya pun ikut terasa basah.
Sumi... Di sisi lain, istri pertama Prapto sangat kawatir karena suaminya tidak pulang sejak pergi tadi pagi. Dia hanya bisa duduk dengan cemas di teras. Dua adik madu Prapto dari tadi juga bertanya tentang suasa hatinya, tetatpi tak terlalu digubris juga oleh Sumi.Mbok Jum datang dengan membawakan teh serta ketela bakar, menyajikannya untuk Sumi. “Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya sambil duduk di sisi Sumi.“Kakang Prapto ... beberapa hari ini dia sangat aneh, aku rasa ada yang kakang Prapto sembunyikan,” jawab Sumi yang tak mampu menyembunyikan kegelisahannya.Mbok Jum tersenyum. “Kamu ini istri tertua, apa yang membuatmu takut? Bahkan, nasib semua istri Prapto juga sama denganmu. Malang sekali memang putraku yang satu itu.” Mbok Jum pun juga bersedih hati.“Tapi karena kemarahan Prapto kemarin,” Mbok Jum mengingatkan Sumi tentang bayi yang baru saja mati beberapa hari yang lalu, “apa yang akan kamu lakukan jika dia pulang dengan membawa seorang istri? Hahahaha.”Mbok Jum tertawa
Ratih menangis di kamar. Banyak yang diucapkan untuk mendebat Prapto sampai semua idenya habis. Namun, Prapto tetap tak membiarkannya pergi. Kini dirinya tengah duduk di depan meja rias, dipoles oleh dua perempuan yang bisa menyulap wajahnya lebih cantik dari biasa. Hanya saja, Ratih tetap tak ingin melihat pantulan dirinya sendiri di cermin itu.Saat panggilan terdengar jelas menyebut namanya, barulah Ratih mencari dan menemukan ibunya yang berdiri di ambang pintu. Bibir Ratih bergetar, air mata yang sempat mengering, kembali membelah pipinya yang sudah merona oleh sapuan bedak kemerahan.“Ibu,” panggilnya.Ibu Ratih mendekat, “Maafkan Ibu, Nduk ayu. Andai Ibu tidak memintamu untuk ikut berjualan jamu, tanah yang kita punya jika dijual juga tak cukup untuk membayar ganti rugi yang diminta Prapto, Ibu tidak rela kamu menikah dengan Prapto, tapi kita bisa apa, Nduk?” Ikut menangis juga, hatinya pilu dan meraung, tapi tak berdaya oleh keadaan ini.“Jangan berkata seperti itu, Bu. Prapto
Ratih menelan ludah. Kehidupan baru sepertinya dimulai. Tanpa sadar, dia menunduk untuk menghindari tatapan Sumi. “Siapa kamu? Dari mana bisa bertemu dengan kakang Prapto?” tanya Sumi. Dia bersedekap dada, menunggu jawaban Ratih tanpa mengalihkan se-inchi pun tatapannya. “Ak—aku berjualan jamu, mas Prapto ...sedang beli jamu waktu itu,” jawab Ratih. “O ...penjual jamu?” ulang Sumi. Dia jadi tahu dari mana Prapto pulang dengan membawa jamu, ternyata Ratih jawabannya. “Kamu kenal sudah lama? Kamu merayunya sudah lama? Dengan tubuhmu?” tanyanya lagi dan tertawa setelahnya. Ratih mengepalkan tangan, harga dirinya diinjak-injak dengan pertanyaan tak pantas itu. Sumi masih tertawa, “Wajahmu seperti orang marah. Padahal, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu seperti diingatkan kembali dengan kelicikanmu?” Sumi menyeringai, “Menjijikkan!” desis Istri pertama Prapto di akhir. “Hati-hati dengan ucapanmu, Mbak Sumi! Apa yang terlihat di luar terkadang tak lebih berbahaya dari per
“Ada apa, Aden Prapto?” tanyanya Tejo, kusir sekaligus orang kepercayaan Prapto. Dia baru saja duduk di samping perapian yang baru saja dinyalakan sambil menunggu ketela pohon, tetapi kedatangan juragannya membuat Tejo bingung. Prapto hanya menggeleng.“Aku hanya heran, kamu tahu sendiri, di pasar sapi banyak perempuan yang mendekat. Jangankan jadi istriku, jadi simpananku saja mereka pasti mau. Bukan hanya dua atau tiga orang, bahkan bisa dikatakan puluhan, mereka ingin tinggal di rumah besar ini, dan menikmati uangku.” Prapto memegangi dagunya sendiri dan mengusapnya, “Ratih berbeda, kemewahan sudah ada di depan mata, tapi gadis kecil itu tetap angkuh, dia menentangku terang-terangan, dan aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat ini.” Tejo terkekeh. “Maaf kalau saya lancang. Ini hanya pendapat saya saja. Ndoro Ratih sebelumnya tidak pernah tahu tentang Anda, terlebih lagi dia juga anak zaman sekarang. Mungkin saja, pemikirannya juga berbeda. Pernikahan kemarin sangat mendadak
‘Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Sopan santun, tata krama, anggun, bagaimana pun juga Kakang Prapto adalah suami kita, kita harus menjunjungnya setinggi mungkin, apa ucapanku salah sampai kamu tega menyiramku begini?’‘Sudah, biarkan Ratih melakukan apa yang dia mau, dia masih kecil, kita yang waras ini harus banyak mengalah.’Ratih meremas selimutnya, gema suara itu membuatnya semakin geram, “Ternyata mbak Sumi dan mas Prapto sama saja, aku harus berhati-hati, mereka hanya menginginkan anak, kan?” monolog Ratih, “Ya, aku akan memberinya dan segera pergi dari sini.” Ratih mematikan lampu, memejamkan mata dan siap untuk tidur, tapi matanya membuka kembali, “Apa aku akan mengalah begitu saja? Enak sekali? Aku akan membuatmu meminta maaf padaku dan juga ibuku dulu, baru kamu akan mendapatakan anak itu, mas Prapto.” Ratih terkekeh, bisa dia bayangkan seperti apa peperangan yang sudah dia mulai sebentar lagi.***Hari berganti, ruang makan ramai dengan piring yang beradu dengan sendo
Prapto membuang napasnya kasar, tak habis pikir kenapa Ratih tak peka, seolah umur itu memang belum siap untuk membina sebuah rumah tangga.“Aden Prapto, makan siang sudah siap.” Kata pelayan yang mendekat ke juragannya.Prapto mengangguk, “Aku mandi dulu.” Segera ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri, memakai surjan rapi dengan jarik berwarna senada, baru ke ruang makan. Dirinya hanya seorang diri, Prapto pun menoleh ke pelayannya, “Ratih tidak makan?” tanyanya.“Ndoro Ratih belum lapar katanya. Aden Prapto, mau saya ambilkan?” tawar pelayan itu.Prapto menggeleng, mengambil makanannya sendiri dan mengisi perutnya. Selesai makan, Prapto ke kandang, melihat ditaruh mana kelinci yang tadi dibelinya, membuat angannya memikirkan Ratih kembali. Seolah meraba, dirinya atau Ratih yang salah saat ini, tapi kalau hanya keegoisan saja yang diandalkan, maka semua perselisihan tak akan usai. “Selesaikan, aku masuk dulu.” Pamitnya ke pekerja yang sibuk di kandang. Prapto ke kamar Ratih, pin
Ratih mencuci tangan setelah puas memberi makan kelinci pemberian Prapto. Hari ini terasa rumah besar ini begitu sepi, tak seramai biasanya, dan itu membuat Ratih rindu dengan ibu dan bapak yang dia tinggalkan tak lebih dari sebulan itu. Dia pun pergi ke dapur, para pelayan yang sibuk segera menunduk hormat, dan itu membuatnya canggung. Ratih hanya diam di tempat saat ini.“Ndoro Ratih, membutuhkan sesuatu atau ingin membuat sesuatu?” tanya pelayan pribadi Ratih.“Apa ...aku boleh menggunakan dapur?” tanya Ratih.“Tentu saja. Mari, Ndoro Ratih.” Pelayan itu mempersilakan juragannya. “Ndoro lainnya juga menggunakan dapur ini, Njenengan bisa ke sini kalau ingin masak sesuatu, saya akan membantu dan mencarikan apa pun yang tidak tersedia di dapur bersih ini.” ucap pelayan itu lagi.Ratih tersenyum, mendekat ke dapur yang ditunjuk pelayan itu, dia membuka almari, banyak bahan makanan dan perabotan yang bagus. Ratih tersenyum semakin lebar, tangannya yang lincah segera menghasilkan karya,
Ratih membuka mata, ini bukan kamarnya, dan cuitan burung di luar seolah menyadarkan kalau hari sudah berganti. Lebih mengejutkan lagi saat Prapto terlelap di sebelahnya. Ratih segera bangun, dia menimang bagaimana dirinya bisa lancang naik ke ranjang dan tidur, kalau Prapto tahu? Ratih segera menggeleng, turun dan duduk di tempat yang semalam didudukinya. Tangannya dengan enggan mengulur untuk menyentuh kening Prapto, dingin melebihi tangannya sendiri, Ratih yakin kalau Prapto sudah membaik. Dia pun ke luar dari kamar itu, “Akh!” Terkejut saat melihat Fitri di depannya.“Ratih? Kamu tidur di kamar kakang Prapto?” tanya Fitri heran.“Hm ...Mbak Fitri ...kapan pulang?” tanya Ratih sambil menunduk.Fitri tak akan terpengaruh, “Baru saja, mbak Iis masuk mandi, tapi kenapa kamu sepagi ini di kamar kakang Prapto? Kamu—““Ada apa?” Prapto baru muncul dari balik pintu kamarnya.Fitri menarik salah satu sudut bibirnya, “Kakang Prapto, semalam tidur dengan Ratih?” tanyanya yang diangguki oleh