Share

Teman Baik ku

Tuan Faizal merangkak di atas lantai, menyeret wibawanya di kaki sang putri untuk memohon. "Jika kau tidak melakukan ini, apa kau ingin melihat ayah mati?"

Dengan air mata yang berjatuhan, Zylva dengan wajah datar menarik dalam napas yang sesak, dengan suara putus-putus lalu berkata, “Ayah, apa tidak pernah... sedikit saja, walau hanya satu setetes saja... Ayah mencintai aku?”

TES!

Jatuh air mata gadis itu tepat di tangan ayahnya. Tuan Faizal terdiam, dia bangun dan menatap putrinya dengan kemarahan. "Kau ini bicara apa? Ha?!"

Zylva yang tadi tidak menatap mata sang ayah, membalikkan tubuhnya dan mulai tersedu-sedu sembari berkata,

"Dalam hidupku, sekali pun, aku bahkan tidak pernah punya waktu untuk mengasihani diriku. Terserah kalian." Dia berlari dengan cepat, menabrak pintu, dan menabrak tubuh Cya tanpa mengatakan apa pun lagi.

Di depan sebuah gang, Zylva memanjati pagar beton yang tak begitu tinggi. Dia duduk di atasnya dengan kedua kaki yang ditekuk, lalu menggigit sepotong apel yang sejak entah kapan ada di dalam tas.

"Oi Zylva!"

Maya, teman sejati Zylva muncul seperti jelangkung. Dia selalu saja datang tanpa diundang, dan pergi begitu saja tanpa aba-aba. Maya bukan orang kaya seperti Zylva, dia hanya orang biasa yang beruntung karena punya teman sebaik Zylva yang suka traktir makan.

"Ya ampun, kau bisa kena marah kalau manjat tembok lagi! Turun!"

Meski begitu, ini pertama kali selama mereka berteman, Zylva tidak menanggapi kehadiran temannya. Dia terus menggigit apel dan wajahnya tidak baik-baik saja.

Dengan kebodohan yang sama, Maya akhirnya ikut memanjati tembok dan duduk di sebelahnya.

"Hei, kau kenapa?"

Zylva hanya menggeleng, lalu kembali menggigit apel tanpa suara.

"Va, kau baik-baik saja, kan?"

Lagi-lagi Zylva hanya diam saja dan mengangguk cepat. Air mata tiba-tiba jatuh, membuatnya harus berusaha keras untuk bersembunyi.

"Hei, hei. Kau menangis?"

Pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Zylva melempar sisa apel ke seberang jalan yang jauh di sana, lalu menangis dan berkata dengan iba, "Aku tidak baik-baik saja. Aku sangat buruk. Aku benar-benar sangat buruk, May." Dia menangis di depan Maya.

Maya meraih kedua tangannya dan menggenggamnya lama. "Apa yang terjadi? Apa kau bertengkar dengan ibumu? Apa Ayahmu memarahimu lagi?"

Zylva menggeleng cepat.

"Oh, ini pasti ulah kakakmu. Apa dia mencari masalah lagi?" Zylva mengangguk.

"Ya ampun, masa karena itu saja kau harus menangis? Bukankah kau ini tangguh? Kau bahkan tidak menangis ketika dipukul, tapi menangis karena kakakmu? Aku sepertinya bermimpi sekara--"

"Aku akan menikah," potong Zylva. maya yang mendengar awalnya terdiam, lalu tiba-tiba saja tertawa cekikikan. "Hahaha! Menikah apanya? Kau saja tidak punya pacar, bagaimana mau meni--”

"Gara-gara gadis licik sok polos itu aku harus menggantikan dia menikah, apa itu lucu? Aku masih sangat muda sekarang!"

Maya sempat meredakan tawanya karena dia sangat tahu apa yang sekarang sedang Zylva pikirkan, tapi dia merangkul pundak sang sahabat lalu mengembalikan tawa dan berkata, "Harusnya yang sekarang menangis itu adalah pria yang akan jadi suamimu.”

"Aiss! Aku sedang sedih sekarang tapi kau malah menghinaku."

Maya tersenyum genit, lalu merangkul lebih erat dan menambahkan, "Harusnya kau bersyukur bisa menikah. Bagaimana kalau beberapa tahun ke depan tidak ada yang mau pada perempuan norak dan bodoh sepertimu?" ledeknya.

Maya melepaskan rangkulannya, lalu kembali bertanya, "Memangnya pada siapa? Apa dia karyawan ayahmu? Apa dia PNS atau guru honor? Atau polisi? Atau Dosen? Yang penting dia punya kerjaan yang bagus dan menjamin hidupmu. Lagi pula memangnya ini zaman apa sih? Kok harus dipaksa menikah?"

"Ayahku punya masalah yang serius. Dia meminta Cya menikahi putra Tuan Dony, tapi malah aku yang jadi tumbal."

Maya yang sedang membuka permen karet seperti acuh tak acuh pada perkataan temannya ini, tapi tiba-tiba....

Crrrtttt!

... permen karet yang baru saja dia makan, ia semburkan keluar.

"Siapa katamu tadi? Sepertinya aku lupa congkel telinga hari ini."

"Putra Tuan Dony," jawab Zylva polos.

maya yang mendengar terbelalak hingga matanya membesar seperti mangkuk.

"Zylva... kau tahu kan seberapa populer dan kayanya Tuan Dony, dan ... dan dia punya putra-putra yang kaya dan tampan. Kau pasti akan menjadi menantu kesayangannya.

Bagaimana bisa... bagaimana... ya ampun, bagaimana bisa kau yang terpilih sebagai wanita beruntung yang akan jadi menantu di keluarga itu?” Maya seperti orang yang tidak lagi peduli pada keindahan dunia.

"Kalau aku jadi kau, aku akan menerbangkan balon-balon ke udara dan berteriak. Semua orang punya mimpi untuk jadi istri mereka, bagaimana bisa... bagaimana bisa kau terpilih... aku rasa, aku sudah gila sekarang.” Maya terus menunjukkan rasa tidak percaya yang luar biasa. Raut wajah Maya sekarang sangat berbeda. Dia sepertinya sangat mendukung pernikahan ini.

"Dengan yang mana, dengan putra yang mana katanya kau akan menggantikan kakakmu?”

Zylva menyipitkan matanya saat menatap temannya yang terlihat begitu antusias. "Aku tidak tahu. Aku tidak mau tahu," jawab Zylva masih merasa begitu sakit.

"Hei Zylva. Kau juga tidak akan bisa lari, kan? Kau harus tahu yang mana yang akan jadi suamimu. Ini sangat penting." Maya menurunkan kakinya untuk berayun ke bawah.

Dia menyingkirkan jarak di antara mereka dan duduk berdempetan. "Biar aku beritahukan ini padamu. Tuan Dony itu punya Tiga orang putra. Satu di antara mereka sudah menikah, dan itu adalah putra pertama. Kau mungkin akan menikahi putra kedua atau putra ketiganya, ya ampun ... sepertinya kau telah menyelamatkan galaksi di kehidupan masa lalu. Kau sangat beruntung."

Dari seluruh percakapan itu, Zylva tidak perlu bertanya mengapa Maya tidak menyebutkan putra ke empat. Ya, semua orang tahu alasan ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status