Share

2. Demi Cinta

Siti tidak dapat hidup tanpa Kumbang. Dia terus mencari kekasihnya yang hilang. Tidak kalah pun dia dengan kesusahan meski harus meninggalkan harta dan takhtanya, Siti rela asalkan bisa bersama Kumbang. Suatu hari ketika perdagangan asing di buka. Diam-diam Siti mengikut kapal pelayaran ke Nusantara tepatnya ke pulau Sumatra. Dari mulut ke mulut Siti mendengar kabar kalau Datuk termasyhur itu tidak lagi tinggal di Minang Kabau, dia menghilang, benar-benar menghilang.

“Kau dengar kemarin baru saja terjadi perampokan lagi di kampung kita.”

“Iya, sekarang sering sekali terjadi hal meresahkan di sini. Perampokanlah, penculikan anak gadis, sampai anak bayi pun jadi korban.”

“Itulah, semenjak Datuk Kumbang pergi dari kampung, banyak penjahat yang berdatangan.”

Siti yang tengah minum di warung makan menjadi tertarik dengan percakapan lelaki di sebelahnya. Dia sedikit mendekat ke arah para pemuda itu. “Adakah Tuan sekalian tahu keberadaan Datuk Kumbang sekarang?”

Para pemuda di samping Siti menoleh “Awak pun tak tahu, tapi dengar sekelebat berita katanyo dia pergi ke dunia gaib untuk memperdalam ilmu.”

“Gaib? Bagaimana caranya bisa pergi ke sana?”

Para pemuda itu tertawa menanggapi pertanyaan Siti. “Uni harus berilmu dulu baru bisa pergi ke dunia-dunia seperti itu.”

“Berilmu?”

“Ya, ilmu gaib. Ada juga yang bilang kalau bertapa di gunung Marapi kita bisa pergi ke dunia lain. Ke dunia siluman, dunia kerajaan-kerajaan gaib. Tapi jarang lah orang yang mau pergi ke sana.”

“Kenapa?”

“Ya karena banyak hal mistis terjadi. Semidi mereka pasti mendapat halang rintangan dari penunggu setempat. Itu pun jarang orang yang selamat.”

Tak pedulilah apa kata orang, dengan berbekal nekat setinggi apa pun gunung tetap Siti tapaki demi cintanya pada Kumbang. Meski harus menempuh jarak ribuan kilo meter. Walau harus bersakit-sakit dan kelaparan. Cinta membutakan Siti yang kala itu masih berumur delapan belas tahun.

Setelah menempuh perjalanan cukup lama dan menghabiskan sisa tenaganya, akhirnya Siti sampai di gunung Marapi yang dianggap sebagai tempat keramat. Perkataan orang memanglah benar, dia harus mengalahkan ketakutan karena kerap mendapat gangguan. Beruntung Siti bertemu seorang nenek tua yang juga sedang bersemedi di dalam gua.

“Kau baru ke sini?” tanya sang Nenek masih memejamkan mata.

“Iya, Nek.” Siti ragu-ragu menduduki batu di sebelah si Nenek berambut kusut. Dia mengikuti cara duduk nenek tua dengan menyilangkan kaki.

“Siapa namamu? Kau tampak masih muda.” Padahal si Nenek tidak membuka matanya sedari tadi. Sepertinya dia sangat sakti hingga bisa melihat Siti meski terpejam.

“Saya Siti, saya memang baru pertama kali ke sini. Kalaulah boleh tahu, siapakah gerangan Nenek sakti ini?”

Nenek itu tertawa singkat. “Panggil saya Serintil. Apa kau tak takut bersemedi di sini?”

Siti menceritakan hal apa yang membawanya hingga ke Marapi. Sebenarnya dia sangat mengharapkan petuah dari seseorang agar hidupnya tidak terus terombang-ambing dalam pencarian tanpa ujung. Siti bingung harus bagaimana dan bertanya pada siapa. Namun sepertinya sang Maha Kuasa mempertemukannya pada orang yang tepat.

“Kau benar-benar nekat. Bagaimana bila di tengah jalan kau bertemu penjahat yang bisa menghabisimu seketika?”

“Hidup saya seolah tak berarti lagi tanpa dia, Nek. Saya berani melawan apa saja asal bisa bersama Datuk.”

“Gadis muda ... gadis muda ... kau yakin cinta lelaki itu tulus padamu?” Serintil akhirnya membuka mata dan menghadapkan wajahnya pada Siti.

“Sangat yakin Nek.”

“Baiklah, akan kubantu agar kau bisa bertemu dengannya.”

“Benarkah Nek? Bagaimana caranya?”

Siti berilmu pada Serintil sang nenek sakti. Dia harus mempelajari ilmu hitam sang nenek agar mendapat kekuatan menembus alam gaib. Bukan sehari dua hari Siti mempelajarinya, tapi bertahun-tahun dia menekuni apa yang Serintil ajarkan sampai ilmunya mumpuni.

Waktunya tiba, Serintil membolehkan Siti masuk ke dunia gaib yakni dunia para siluman. Berbagai bentuk siluman baru dijumpai Siti. Ada yang berkepala manusia berbuntut ular, ada yang  seperti kera dan ada yang berbentuk naga. Dunia asing ini diterima Siti dengan keberanian dan tekat kuat. Dia pun memulai petualangannya dengan ilmu silat bercampur sihir, menjadikan yang tidak ada seolah ada, dengan saling bekerja sama dengan kaum siluman pemuja iblis. Siti kini merasa bangga dengan pencapaiannya, artinya bila suatu saat dia bertemu kumbang mereka mempunyai drajat yang sama karena Siti bukan lagi seorang manusia tidak berdaya.

“Saya sudah berilmu, dan sudah berhasil bertahan hidup di dunia siluman ini Nenek. Lantas, kapan saya bisa bertemu dengan Kumbang?”

Serintil sedang asyik mengamati senjata saktinya. Sebuah tombak itu dia seka berkali-kali dengan kain putih dicampur minyak melati. “Sabarlah serahkan semua pada Batara Kala. Karena kau sudah sampai titik ini. Aku yakin Batara Kala tidak akan tinggal diam.” Srintil melempar tombaknya pada Siti yang sigap menangkap. “Siapkan dirimu. Karena kita akan berperang melawan pasukan Ki Putih.”

Sesungguhnya Siti tidak suka ikut dalam perang memperebutkan kekuasaan apalagi perang kerajaan ini mempertaruhkan nyawanya. Dia berusaha melawan ketakutan besar demi tidak mengecewakan sang guru. Beginilah cara Siti membalas budi.

Saat perang tiba Pasukkan ilmu hitam berhasil menguasai pasukan Ki Putih. Ada perasaan puas tersendiri yang Siti rasakan, pasalnya dia baru saja ikut andil ke medan perang tapi sudah berhasil menumbangkan lawan. Siti berbangga hati ketika berhasil melibas puluhan Siluman. Dia pun menghampiri prajurit lainnya menawarkan bantuan.

“Mana lagi yang harus saya enyahkan?” tanyanya sambil mengayuh tombak pemberian Serintil.

“Di sebelah sana, ada yang sulit dikalahkan, panglima besar perang. Hati-hati dengannya! Kau bisa saja terbunuh di tangannya.”

“Saya tak takut! Meski harus melawan dedemit besar pun saya tak takut.”

Siti berlari pada sosok yang tengah dikepung oleh pasukan Serintil. Diangkat tombaknya tinggi-tinggi. Menerobos tubuh-tubuh yang menutupi bayangan seseorang di sana yang dia tuju sambil berseru pada yang lainnya agar membuka jalan, “minggir!”

Langkah Siti terhenti sejurus tombak ditangannya terjatuh ke tanah, matanya mengerjap kemudian membelalak lebar saat seseorang yang hendak dia tusuk membalikkan tubuh. Pun begitu seseorang itu, dia menurunkan pedangnya, mematung mengetahui siapa di depan mata.

Seorang gadis kesatria, rambut hitam terurai tampak berantakan, tak ada lagi perhiasan bahkan mahkota di atas kepalanya. Pipi lembut itu kini terdapat beberapa goresan pedang. Mata indahnya kini terdapat bara api yang seketika redup padam. Merebak bulir jernih dari pandangan Kumbang, betapa wanita yang dirinduinya kini benar-benar nyata.

“Dinda ....”  

Kumbang menjatuhkan pedangnya segera menghampiri Siti lalu menyentuh sisi wajah wanitanya. “Apakah ini mimpi?”

Tidak kuasa Siti menahan tangis. Apa yang diharapkannya kini terwujud. Jerih payah berilmu  terbayar sudah. Siti meraba wajah Kumbang, pundak dan dadanya demi memastikan dia lah kekasih yang selama ini Siti cari. Batin Siti terus berucap, “benar dia ... dia kekasihku kumbang.” Rindu menyeruak di antara haru biru.

"Tidaklah kita bermimpi. Siti memang menjumpai Datuk.” Siti menggenggam tangan Kumbang di pipinya yang basah air mata. “Siti sangat rindu Datuk, sangat rindu ....”

“Awak pun Dinda ... Awak pun,” balas Kumbang masih berkaca-kaca.

Air mata Siti berhenti mengalir begitu melihat di balik tubuh Kumbang ada seseorang yang hendak membidikkan anak panah.

“Datuk!” belum sempat Siti menarik tubuh Kumbang mata panah sudah menancap sempurna di punggung lelaki itu, menembus dada.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Cowok Inisial R
ih linu ampe nancep gitu
goodnovel comment avatar
Nur Cahaya
.........️... keren ceritanya
goodnovel comment avatar
Al Vieandra
sedih banget, baru ketemu dah dapat bahaya aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status