"Jadi istri saya!"
Tepat setelahnya, mulut Cecil membuka lebar. Pupus sudah harapan Cecil. Ia tidak menyangka jika Devan bisa segila ini. Menikah bukan sebuah permainan yang harus dimenangkan. Ini benar-benar sudah kelewatan!
Bagaimana mungkin laki-laki itu bisa dengan mudah menyuruhnya menjadi seorang istri? Ini terdengar sangat konyol. Menikah tidaklah semudah itu. Banyak pertimbangan, terlebih pernikahan bukanlah hal yang remeh.
Cecil menggeleng pelan. Ia masih tidak percaya ini. "Pak Devan benar-benar gila! Kalau Bapak dendam sama saya, nggak perlu main-main seperti ini, Pak! Bapak pikir ini lucu? Pernikahan bukan lelucon yang bisa dimainkan seenaknya. Di dalam pernikahan ada janji suci yang terucap dengan Tuhan sebagai saksinya. Jangan main-main dengan hal itu!"
Cecil menatap nanar laki-laki yang ada di hadapannya. Rasanya, ingin sekali ia mencakar wajah tampan yang sesat itu.
"Saya juga tidak main-main! Kamu butuh uang kan? Saya juga butuh seorang istri yang bisa menyelamatkan saya dari desakan keluarga yang menyuruh saya untuk segera menikah. Dengan begitu, kita sama-sama untung. Kamu bisa menyelamatkan nyawa ibumu dan saya tidak perlu repot-repot mencari seorang istri."
Devan menyeringai. Cecil pun ikut terkekeh.
"Haha ... seorang Devano Nicolas, CEO dari perusahaan ternama, kaya raya, tampan, mapan, incaran banyak wanita, tapi mencari istri dengan cara murahan begini? Saya curiga kalau bapak tidak suka lawan jenis. Apa jangan-jangan, Bapak mau nikah sama saya, hanya untuk menutupi kelainan Bapak yang belok itu ya?"
Tudingan Cecil membuat Devan semakin murka. Emosinya pun sudah tak terkendali lagi. Ia tidak terima jika dituduh sebagai laki-laki tidak normal.
"Tutup mulutmu! Saya ini pria normal!" geram Devan dengan gigi yang gemertak. Rahang kokohnya mengeras sempurna. Laki-laki itu mengepal keras, hingga buku-buku jarinya memutih.
"Kenapa? Bapak marah saya bilang tidak normal? Kalau Pak Devan normal, kenapa Bapak ingin menikah dengan saya? Pak Devan punya kuasa. Bukannya di luar sana banyak wanita cantik yang bisa Bapak beli semaunya? Menikah saja dengan salah satu dari mereka!" Suara Cecil terdengar meninggi. Gadis itu juga terlihat sangat emosi.
"Karena saya tidak percaya sama cinta. Semua perempuan hanya mengincar harta dan ketampanan saya. Tidak ada yang tulus mencintai saya, seperti cinta Mama pada anaknya. Jadi, saya tidak suka berurusan dengan wanita. Semuanya sama saja. Hanya uang dan tampang yang mereka incar."
Plak!
Tamparan keras dari Cecil mendarat mulus di rahang Devan. Cecil tidak terima jika Devan menganggap semua perempuan seperti itu. Bagi Cecil, ini sama saja seperti hinaan besar untuknya.
Mendapat tamparan dari Cecil, Devan pun melotot tajam. Ia sudah tak bisa lagi membendung emosi. Hampir saja, tangannya melayang di pipi mulus gadis itu. Tapi ia urung dan tangannya pun hanya melayang di udara, mengingat jika di hadapannya ini adalah perempuan. Pantang bagi Devan menyakiti perempuan.
"Beraninya kamu menampar saya?! Semua yang saya katakan itu benar! Di luaran sana, banyak perempuan cantik yang bisa didapatkan dengan mudah saat uang dan tampang berbicara. Perempuan itu sampah dan murah!"
"Bukankah mama Pak Devan juga perempuan? Apa mana Bapak juga sampah?!" ucap Cecil penuh amarah. Bosnya ini sudah benar-benar keterlaluan.
"Kecuali mama saya! Karena Mama saya, perempuan terhormat!" ucap Devan dengan entengnya.
"Saya juga bukan perempuan seperti yang Bapak pikirkan! Saya memang butuh uang, Pak. Tapi uang itu tidak untuk kepentingan saya sendiri. Saya butuh uang untuk menyelamatkan nyawa ibu saya. Hanya Ibu yang saya punya di dunia ini. Saya tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu! Dan sekarang, ibu saya tengah bertarung melawan penyakitnya! Jangan anggap semua perempuan seperti itu, Pak! Kami juga punya harga diri!"
Isak tangis terdengar dari bibir kecil gadis itu. Ia sudah tidak bisa membendung emosinya lagi. Apa yang Devan pikiran soal perempuan, itu salah besar. Tidak semua perempuan memiliki pemikiran picik seperti itu.
Devan memegang pelan bahu Cecil yang masih bergetar. "Oke, saya minta maaf soal itu. Tapi tolong kamu pikirkan sekali lagi tawaran saya. Saya tahu, kamu bukan perempuan seperti itu, karena cuman kamu satu-satunya perempuan yang tidak tertarik dengan pesona saya. Mangkanya saya menawari kamu kerja sama ini. Saya tahu kamu butuh uang. Saya janji akan menanggung semua biaya ibu kamu di rumah sakit dengan imbalan kamu harus menjadi istri saya selama satu tahun. Anggap saja, saya bayar kamu menjadi istri kontrak saya. Hanya satu tahun, tidak lebih dari itu. Saya juga tidak akan ikut campur urusan kamu selama itu tidak menyangkut pernikahan kita di mata keluarga. Saya tidak akan sentuh kamu sampai waktu yang ditentukan."
Cecil menggeleng. Ia tidak bisa menjadi istri bayaran seperti ini. Pernikahan adalah suatu hal yang sakral. Ia tidak ingin mengotori janji suci pernikahan, dengan bermain dengan yang namanya pernikahan. Impiannya untuk menikah sekali seumur hidup juga akan sirna jika ia menerima tawaran ini. "Maaf, tapi saya tidak bisa. Bagi saya, pernikahan itu sakral. Saya tidak mau bermain-main dalam menjalani pernikahan."
Devan menyeringai, mengusap pipi Cecil pelan lalu bergerak semakin mendekat dan berbisik,"Jangan egois! Pikirkan nyawa ibu kamu! Saya tunggu jawaban kamu besok pagi! Nyawa ibu kamu sekarang berada di tangan kamu. Semoga kamu tidak salah mengambil keputusan."
Devan menepuk pelan pundak Cecil, lalu pergi dari ruangan pribadinya, meninggalkan Cecil yang masih mematung di tempat.
"Arghh! Kenapa nggak ada yang bisa dipilih?! Keduanya sama-sama mencekik. Aku harus apa?" Cecil mengerang kesal di ruangan Devan. Matanya sembab setelah mengeluarkan tetesan kristal cair dari sudut matanya.
Air matanya kembali menetes, setelah mengingat apa yang Devan katakan. Nyawa ibunya saat ini berada di tangannya. Kalau sampai dirinya tidak bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi, ibunya padati tidak akan tertolong.
Cecil pun memilih untuk duduk, menenangkan sejenak pikirannya agar bisa berpikir jernih.
Setelah isak tangisnya Reda, gadis cantik itu kembali ke ruangannya. Pekerjaannya hari ini harus segera terselesaikan. Jika tidak, waktu yang seharusnya ia gunakan untuk menjaga ibunya di rumah sakit, akan tersita dengan lembur karena pekerjaan yang belum selesai. Dengan semangat, Cecil pun segera berkutat dengan berkas-berkas yang ada di atas mejanya.
Hufttt!
Cecil menarik napas lega saat semua pekerjaan telah usai sebelum waktu pulang tiba. Jadi, ia bisa siap-siap untuk pergi ke rumah sakit.
Tiba-tiba, suara dering telepon memenuhi ruangannya. Ia pun bergegas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.
Dengan cepat, Cecil menekan tombol hijau setelah tahu jika yang menelepon adalah pihak rumah sakit.
"......."
"Apa? Ibu saya semakin drop?"
"......."
"Baik, saya ke sana sekarang juga!"
Tut ... tut ..
Setelah mendapat telepon dari rumah sakit yang memberi tahu jika kondisi ibunya semakin menurun, Cecil pun segera menyambar tasnya.Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan yang masih menunjukkan pukul 3 sore. Itu berarti, jam pulang masih kurang satu jam lagi.Cecil tidak bisa menunggu selama itu. Ia harus bergegas pergi ke rumah sakit karena ibunya sedang tidak baik-baik saja.Tanpa pikir panjang, Cecil pun nekad menemui Devan dan meminta izin untuk pulang lebih awal dari jam pulang kantor. Ia tidak peduli kalau Devan memarahinya nanti. Yang penting, sekarang ia harus cepat sampai rumah sakit.Dengan langkah tergesah, Cecil berjalan menemui Devan di ruangannya.Tok ... tok ....Suara pintu yang terketuk."Masuk!"Setelah mendapat perintah, Cecil pun langsung masuk ke dalam."Permisi, Pak," ucuapnya ragu dengan raut wajah cemasnya.Devan memperhatikan Cecil dari atas sampai bawah. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ini masih jam berapa, Cecilia Hutama
Senyum Devan tersungging sempurna. Akhirnya, gadis itu menyerah juga. "Kamu tenang saja. Semua biaya akan saya tanggung dan ibu kamu akan menikmati fasilitas terbaik di rumah sakit ini."Devan menatap dokter serius. "Dok, lakukan yang terbaik untuk pasien ini. Soal biaya, saya akan lunasi sekarang.""Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu untuk menyiapkan operasinya."Dokter pun bergegas keluar untuk menyiapkan semuanya. Sementara Cecil menatap Devan dengan tatapan sendunya."Kamu tunggu di sini. Saya urus dulu biaya administrasinya."Cecil mengangguk, lalu membiarkan Devan berlalu dari hadapannya.Di dalam ruangan itu, Cecil menangis tanpa suara. Ia tidak tahu, apakah keputusan yang diambilnya sekarang sudah benar atau justru malah menjerumuskan dirinya ke dasar jurang. Cecil tidak bisa berpikir jernih. Yang terpenting baginya saat ini hanyalah kesembuhan ibunya. Biarkan jika setelah ini, ia akan menderita atau bahkan disiksa hidup-hidup oleh Devan yang menyebalkan itu.Sudah sa
Sesampainya di pujasera, Cecil celingukan mencari meja yang kosong. Kantin rumah sakit ini terlihat sangat ramai. Banyak dari keluarga pasien yang mencari makan di sore hari seperti ini. "Mau duduk di sebelah mana? Mejanya penuh semua," ujar Cecil sambil menatap lesu sang atasan. Perutnya sudah keroncongan, ditambah tidak ada tempat untuk dirinya makan, membuat gadis itu menahan rasa kesal. Devan pun mengedarkan pandangannya. Di meja paling ujung, terlihat sepasang kekasih tengah beranjak dari tempat duduknya. Dengan cepat, Devan mengambil langkah lebar dan menggeret tangan Cecil untuk berjalan mengikutinya. "Ayo!" "Aduh, duh!" gerutu Cecil yang kesusahan mensejajarkan langkahnya dan Devan. Gadis itu sampai terseok-seok karena tangannya terus diseret. "Duduk!" perintah Devan saat keduanya berhasil menempati meja kosong itu. Cecil menatap kakinya yang memerah. Sepatu heels yang kekecilan, membuatnya harus meringis menahan sakit. Ia pun hanya melirik sekilas pada Devan, lalu duduk d
"Iya ... saya tidur." Devan menyeringai licik. "Pintar! Cepat tidur, besok pagi temani saya bertemu klien." Di balik wajah yang tertutup oleh tangannya, Cecil terlihat sedikit mengintip. "Nyuruh tidur, tapi diajak bicara. Gak jelas banget!" "Tidur!" galak Devan sambil menenggelamkan wajah Cecil di dada bidangnya. *** Hangat mentari mulai menyapa, menimbulkan deretan jingga yang menyilaukan mata. Cecil pun terbangun karena tak nyaman dengan silau sang surya yang menembus jendela kaca itu. Cecil menggeliat dengan mata yang sayup-sayup mulai terbuka. Entah mengapa, tidur kali ini terasa begitu nyenyak. Cecil merasa bagai tertidur di atas sutra, hangat dan nyaman. Saat ingin beranjak, Cecil menyadari sesuatu berat menindih perutnya. Kakinya pun terasa sulit digerakkan. "Ada yang aneh?" ujarnya pada diri sendiri. Cecil mulai merambah bagian perutnya yang terasa janggal. "Ada tangan?" Gadis itu mengernyit bingung, lalu detik berikutnya ia berteriak kecang. "Aaaahhh!!!" Suara meng
"P-- Pak Devan kok balik lagi?" Cecil bersua dengan langgam yang memelan. Ia tampak grogi melihat Devan berdiri mematung di depannya. Bukan apa-apa, gadis itu hanya tidak enak karena sudah membicarakan bosnya di belakang. "Kalau saya tidak di sini, mungkin saya tidak akan tahu jika sekretaris saya suka gosipin bosnya di belakang. Bagus ya, kamu? Apa saya bayar kamu cuman untuk membicarakan saya di belakang?" Sambil mengambil barangnya yang tertinggal, Devan melirik sinis pada Cecil. Gadis itu terlihat tengah merunduk dalam. Ia merasa tidak enak hati, karena sudah kepergok. "Emmm ... saya minta maaf, Pak," Ragu-ragu, Cecil mulai mengangkat kepalanya, menatap mata Devan yang masih penuh kilatan amarah. Melihat mata teduh milik Cecil entah kenapa hati Devan menjadi tentram. Ia seperti disiram bongkahan es batu yang terasa sangat dingin. "Saya cuman mau ambil baju yang Zaki bawakan. Kamu ... jangan ulangi lagi! Awas saja kalau sekali lagi saya dengar kamu mengatai saya di belakang!" Na
Sesampainya di kantor, Cecil bergegas mengikuti langkah Devan yang berjalan menuju ruang direktur. Gadis itu tampak kewalahan menyeimbangkan langkahnya dan Devan yang cukup panjang. "Pelan-pelan, bisa tidak? Saya capek ngikutin Bapak!" gerutu Cecil dengan napas tersengal. Ia pun berhenti sebentar, mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Sementara Devan hanya menatapnya tanpa rasa kasihan dan tetap melanjutkan jalannya. Saat masuk ke dalam lift, sorotan mata rekan kerjanya, semua tertuju pada Cecil. Ia pun merasa kikuk diperhatikan seperti itu. "Pak, saya naik lift sebelah saja ya? Nggak enak, dilihatin yang lainnya," nyali Cecil menciut. Ia tidak ingin mendengar gosip miring tentang dirinya setelah ini. Pasalnya, lift yang dinaikinya adalah lift yang khusus dirancang untuk direkrut. Siapapun tidak ada yang boleh menikmati fasilitas kantor itu selain direktur dan tamu penting. "Ngapain? Buang-buang waktu saya! Sudah, hiraukan saja." Devan mengedarkan pandangannya Karen lift tak kunjung
Mendengar kata anak, Cecil membulatkan matanya. "Ini gak adil!Saya keberatan! Saya gak mau! Enak saja, itu namanya merugikan saya!" protes Cecil tak terima."Merugikan apanya? Orang tinggal kasih. Bikin anak mudah kok." Cecil semakin geram dibuatnya. Bagaimana mungkin, laki-laki itu berujar kalau syarat yang ia kasih dibilang mudah? Sementara ia harus mengorbankan semuanya demi pernikahan itu?"Ya rugi di saya! Pokoknya saya gak mau jadi janda anak satu. Apalagi di usia muda. Hiii, mengerikan." Cecil bergidik, membayangkan apa yang akan menimpanya di masa depan. Laki-laki mana yang akan menerimanya nanti?"Oke. Berhubung kamu tidak mau menuruti syarat dari saya, saya berhak mencabut deposit biaya rumah sakit Ibu Nira. Itu kan yang kamu mau?"Cecil semakin tercengang dibuatnya. Mulutnya tertahan, tak bisa berkata. Tenggorokannya serasa kering tak bertenaga. Kakinya pun terasa lemas hingga menjalar ke sekujur tubuh."J--jangan! Saya butuh uang Bapak. Saya gak mau pengobatan ibu dihent
Cecil tampak gugup ketika dipertemukan dengan keluarga Devan. Gadis itu meremas pelan ujung roknya, dengan netra bergerak gelisah, seperti mengisyaratkan jika dirinya membutuhkan bantuan.Devan yang menyadari kegelisahan Cecil, ia pun berusaha membuat gadis itu tenang. "Jangan gugup, bersikap sopan," bisiknya diselingi rangkulan manja di pinggang ramping milik Cecil.Hanya anggukan pelan yang mampu Cecil berikan. Ia pun tersenyum kikuk di hadapan mama dan papa Devan.Devan menarik kursi, agar Cecil bisa bergabung di meja makan. Namun sebelum itu, ia memperkenalkan Cecil terlebih dahulu."Ma, Pa, kenalin, ini Cecil, calon istri Devan."Mama Devan tampak antusias dengan kedatangan Cecil di rumahnya. "Saya Utari, mamanya Devan dan ini suami saya, namanya Nicolas."Dengan sopan Cecil meraih tangan Nicolas dan Utari. "Saya Cecilia Hutama, Om, Tante.""Hutama?" Nicolas seperti tidak asing dengan nama itu.Cecil mengangguk, perasaannya tidak enak. Apa ada yang salah dengan nama itu?"Nama or