“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka.
‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya.
‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras.
Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
Hallo! Jika kalian menyukai part ini, silahkan pertimbangkan untuk memberikan vote, rating dan komen^^ Thank youuu!!!
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Ayo semuanya lari! Enggak ada yang jalan ya! Lari semuanya lari!” teriak para senior, dengan pakaian serba hitam dilengkapi pita merah yang terikat di lengan mereka, sudah berdiri di ambang pintu gerbang kampus. Ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kampus yang akan menjadi almamaterku kelak. Tentu saja sebagai mahasiswa baru yang sedang dalam masa orientasi. Kami menggunakan kemeja putih dengan bawahan hitam dan tak lupa dengan beragam aksesoris yang sudah ditentukan oleh panitia masa orientasi, yang sejujurnya membuatku risih. Aku berlari melewati para senior galak yang terus berteriak. Entah mereka benar-benar galak atau berusaha memunculkan kesan galak. Hanya mereka dan teman-temannya yang tahu.Setelah berlari mengikuti rombongan mahasiswa baru, tanpa sadar aku sampai di sebuah danau. Danau tersebut terletak di tengah area kampus. Semua murid baru yang sedang dalam masa orientasi
Keadaan kampus siang ini sangat cerah dan panas dengan awan yang terlihat seperti es krim vanila berkumpul menjadi satu. Bagaimana bisa kota Bandung, yang terkenal dingin, mempunyai panas semenyengat ini? Salah satu alasanku memilih universitas di daerah Bandung adalah untuk menghindari panasnya Jakarta, dan tentu saja mengikuti Saras. Aku dan Saras mempunyai mimpi bersama yaitu mempunyai studio game yang keren. Kebetulan universitas yang kami pilih mempunyai jurusan game yang cukup terkenal. Benar-benar menarik perhatian kami berdua.“Es krim vanila pasti enak nih dimakan siang-siang begini,” seruku membayangkan bagaimana es krim vanila dapat memanjakan lidah dan kerongkonganku yang menderita akibat serangan panas siang ha
Waktu istirahat, sebuah waktu yang berharga bagi mahasiswa baru di universitas kami yang sedang dalam masa orientasi. Pasalnya, para senior tidak akan mengijinkan kami untuk ke toilet kecuali pada waktu istirahat. Toilet wanita yang hanya memiliki 4 bilik tersebut selalu ramai. Aku memasuki bilik toilet ke-4 dari pintu masuk. Saat aku berada di dalamnya untuk menuntaskan urusanku, sayup-sayup terdengar percakapan beberapa wanita dari luar.“Tadi dengar, kan? Katanya kita harus nulis surat cinta dan cokelat buat senior, terus kasih ke mereka di hari ke-4 ospek.”“Lo udah tau mau kasih surat ke siapa?”“Gue kayaknya mau kasih ke kakak-kakak yang pegang kamera tadi deh. Yang rambut sebahu itu loh. Dia keren banget! Tipe gue.”“Lo ya
Aku terdiam sambil melipat tanganku di depan meja belajar, ditemani dengan secarik kertas kosong dan sebuah amplop merah muda yang sudah aku siapkan untuk surat cinta. Kata-kata apa yang harus aku gunakan? Memikirkan rangkaian kata-kata untuk surat cinta membuat kepalaku pusing. Ini lebih sulit dibandingkan dengan memikirkan konsep game terbaru yang akan aku dan Radit rancang di masa depan.Halo, Kang Brian… Perkenalkan, aku Saras…“Ewh, ayolah Saras, ini bukan surat untuk sahabat pena atau kencan buta. Pikirkan hal yang kira-kira bisa bikin Brian terkesan,” rutukku. Aku mengacak-acak rambutku, pusing. Kira-kira Brian suka hal berbau apa ya? Atau sesuatu yang dapat membuatnya terkesan. Hmm kutipan?
“Gimana mood lo hari ini, Bri?” Sekar menghampiri Brian dan menyodorkan minuman botol yang baru saja ia beli di kantin. “Nih, seperti biasa less sugar.”Brian yang sedang membersihkan lensa kameranya pun memberi jeda dan menerima minuman pemberian Sekar. “Lo kenapa sih mau tau mood gue banget? Berisik!” sahutnya. Sekar yang mendengar itu pun mendengus kesal. Pasalnya, gara-gara mood Brian yang sering hancur tiba-tiba dapat langsung membuat suasana tegang secara drastis. Para panitia masa orientasi, yang bertanggung jawab agar aca
Hari ini terasa lebih lama dari hari-hari ospek sebelumnya. Apa karena ini adalah hari terakhir? Atau karena aku terlalu overthinking tentang Brian? Kalau dipikir-pikir, rasa gugupku mengalihkan semuanya. Aku jadi tidak bisa membedakan mana kenyataan dan tidak. “Dit, gue bener-bener udah kasih surat cinta ke Brian, ‘kan?” Aku bertanya hal ini pada Radit untuk memastikan kenyataan. “Udah, Ras. It’s done. Ini ke 30 kalinya lo nanya hal serupa. Everything's gonna be okay. Udah, ah! Jangan overthinking.” Radit merangkul p
Aku, Radit, dan Sekar menghabiskan hari terakhir ospek dengan hangout bersama di restoran ramen. Siapa sangka restoran ini mempunyai banyak boardgame. Alhasil, kami bermain sampai makan malam tiba. Sebenarnya aku sedikit kecewa. Ekspektasiku untuk bertemu Brian hari ini sirna. Kunciran pita merah yang aku anggap sebagai jimat keberuntungan, kali ini tidak berfungsi. Hmm, kalau dipikir-pikir berfungsi sedikit, sih. Aku bisa mendapatkan info tentang kecerobohan Brian di balik kesan seramnya. Makan malam pun tiba. Aku, yang sudah tidak mempunyai ekspektasi apapun lagi, akhirnya memesan kembali Ramen Katsu untuk makan malam. Sekarang aku tahu mengapa Brian sangat menyukai menu ramen ini. Setelah aku bandingkan dengan ramen milik Sekar dan