“Kalau saja wajah kamu setenang ini setiap natap aku, Mas, pastinya rasa bersalah di hatiku sedikit berkurang.”Gina sudah duduk di sana selama 5 menit; di sisian tempat tidurnya sembari memandangi wajah sang suami yang terlihat begitu lelap dalam mimpinya.Namun tiba-tiba pandangannya beralih pada tangan Endra yang terkulai di sisi tubuh lelaki itu, membuat Gina memiliki pemikiran lain yang ia rasa hanya ini kesempatan satu-satunya untuk merealisasikannya dengan cepat. Jadi dengan pelan ia sentuh tangan besar itu, ia angkat perlahan dan ia bawa ke atas perut besarnya yang sudah mengeras. Rasa hangat perlahan singgah di sana, di atas baju tipis yang langsung terhubung ke permukaan kulitnya.Perlahan, ia gerakan tangan itu dengan gerakan mengusap, mencoba senatural mungkin seolah Endra yang dengan sukarela melakukannya.“Gimana, Nak? Hangat, kan, tangan Ayah?” gumamnya sambil terkekeh pelan.Di lain sisi, Endra yang hanya berpura-pura tertidur mencoba untuk menahan matanya agar tidak b
“Apa itu salah?”Endra malah menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain yang membuat hati Gina semakin berdenyut sakit.Seharusnya, ia sudah terbiasa dengan itu. Safira adalah cinta pertama Endra yang masih memegang tahta tertinggi di hati lelaki itu hingga detik ini. Mustahil jika Endra akan membiarkan Safira mengalami sesuatu yang buruk di luar sana.Lain halnya dengan Gina. Mungkin jika ia mati pun, Endra hanya akan menemani jenazahnya sebagai bentuk tanggung jawab saja, bukan kehilangan.“S-semoga, Safira selalu berada dalam lindungan Tuhan,” ujarnya dengan senyum tipis yang menyimpan banyak arti. “Kamu istirahat saja di sini. Kalau ada apa-apa, aku ada di ruang tengah.”Tanpa menunggu respon dari Endra, Gina segera membereskan alat makan tadi untuk segera dicucinya. Ia juga harus menumpahkan air mata yang terlanjur menggenang di pelupuk matanya.Setelah kepergian Gina, Endra kembali mengeluarkan kedua foto tadi dari saku celananya; pas foto kecil Gina ketika menjadi mahasiswa,
“Mama? Papa? Lihat, aku sama siapa?”Gina muncul dari balik pintu dan langsung tersenyum lebar ke arah kedua mertuanya yang tampak terkejut dengan kehadirannya.“Ya ampun… Ini menantu Mama kok nggak bilang-bilang mau datang? Jadinya Mama belum siapkan apa-apa.”Irma menghampiri Gina dan langsung memeluknya dengan erat. Jangan salah, rasa sayang yang ia berikan pada Gina sama besarnya dengan yang ia berikan pada Endra maupun Anna.Pelukan itu Irma lepaskan dan Gina beralih pada Papa mertuanya yang juga sangat baik. Ia menyalami Ardi dan memeluknya sekilas.“Maaf ya, Ma, Pa, Gina baru bisa datang sekarang.”“Nggak perlu minta maaf. Ayo sini masuk, kamu mau makan? Atau mau apa? Mama ambilkan.”“Nggak usah, Ma, nanti kalau mau Gina bisa ambil sendiri.”Irma menuntun Gina untuk duduk di sofa, diikuti oleh Anna yang duduk di sebelahnya.“Gimana cucu Papa? Sehat? Dia nggak rewel?” Ardi bertanya dengan senyuman yang masih terpatri di bibirnya. Jika dipikir-pikir, senyuman Endra sangat mirip d
“Kak Gina…”Itu suara Anna yang menggumamkan namanya tepat ketika ia akan menaiki mobil Endra untuk pulang.Gina tahu Anna sedang mengkhawatirkannya, jadi ia hanya tersenyum, berusaha menyakinkan gadis itu bahwa ia akan baik-baik saja.Akhirnya mobil itu melesat membelah jalanan ibukota. Endra fokus menyetir, sementara Gina memilih untuk melihat pemandangan di luar melalui jendela di sampingnya. Bias cahaya sore menjadi salah satu hal indah yang ia lihat di antara padatnya jalanan yang cukup ramai.Diam-diam Endra melirik Gina yang masih sibuk dengan hal tadi. Ia tidak berniat membuka obrolan, apalagi meminta maaf atas kejadian yang terjadi di rumahnya tadi pagi. Benar ia terlampau emosi, tapi ia rasa itu wajar karena ini memang kecerobohan sang istri.Begitu sampai di rumah, Gina bergegas masuk ke dalam sementara Endra memasukkan mobilnya terlebih dahulu ke garasi. Gina harus segera membersihkan kekacauan tadi pagi karena Endra tidak boleh melihat darahnya untuk yang kedua kali. Ia t
Kali ini Gina benar-benar menangis di hadapan Endra. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini jatuh tanpa bisa dihalangi lagi. “Kenapa kamu bicara seolah-olah aku selalu punya niatan buruk untukmu dan keluargamu?”Isakan pedih itu Gina keluarkan tanpa pengahalang, ia lampiaskan semuanya di depan Endra. “Aku nggak pernah menuntut kamu buat perlakukan aku sebagai seorang istri. Aku nggak pernah minta kamu buat turuti semua keinginanku segaimana suami lain berlaku seperti itu ke istrinya. Satu-satunya yang kuminta tanpa izin darimu adalah kehangatan keluargamu. Maaf kalau aku lancang dan kamu kurang berkenan dengan itu, Mas.”Gina semakin terisak karenanya. Ia menunduk, sekali lagi tak berani menatap sang suami.“Setelah ini, aku janji nggak akan kunjungi mereka selama itu bukan darurat. Aku janji akan sedikit menghindar dari Mama, Papa dan juga Anna kalau itu yang kamu mau. Setelah ini, aku harap nggak ada lagi hal-hal negatif yang kamu pikirkan tentang aku yang dekat dengan keluargamu
“Maaf…”Tampaknya keterdiam Gina membuat Darren tidak nyaman, jadi ia mengucapkan kata maaf itu dengan harapan Gina akan memaklumi perkataannya.“Bagaimana pun, alasan kita berpisah dulu bukan karena udah nggak saling cinta. Maaf, karena harus tinggalkan kamu dan nggak bisa temani kamu saat kamu sedang berduka.”Iya, Darren adalah mantan pacar Gina 4 tahun lalu, tepatnya ketika ia masih mengenyam pendidikan sarjana. Mereka terpaksa berpisah karena Darren mendapatkan beasiswa magisternya ke luar negeri, sementara Gina sendiri tidak bisa berada dalam hubungan jarak jauh.Komunikasi masih sering mereka lakukan. Namun ketika kedua orang tua dan kakak Gina meninggal, Gina menghilang bak ditelan bumi. Darren sama sekali tidak bisa menghubungi Gina meski ia sudah bertanya hampir pada semua orang yang Gina kenal.“Itu sudah lama, Kak. Sekarang, aku baik-baik aja. Nggak perlu minta maaf,” tutur Gina. Ia tidak ingin menggali luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam. Lagipula, sekarang sudah ad
Pagi ini Gina memutuskan untuk kembali memasakkan sarapan untuk Endra terlepas dari sang suami yang sebenarnya tidak meminta. Hanya saja, aneh rasanya jika kebiasaan yang hampir tiga tahun ia lakukan harus tiba-tiba dihentikan.Yang berbeda kali ini adalah Gina tidak menunggu Endra di meja makan, melainkan langsung kembali ke kamar dan akan berdiam di sana sampai Endra benar-benar pergi untuk bekerja. Entah kenapa perasaannya sering memburuk akhir-akhir ini, berakhir dengan memutuskan untuk sedikit mengurangi interaksi dengan sang suami agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kandungannya sudah memasuki bulan terakhir, ia tidak ingin terjadi apa-apa pada anaknya.Endra masih belum turun dari lantai atas, jadi Gina memutuskan untuk pergi ke kamar andai saja suara ketukan pintu tidak terdengar.Ketika membukanya, ia terkejut karena menemukan Irma bersama dengan wanita paruh baya yang memasang senyum ramah padanya.“Mama?”“Nah, Bi Asih. Ini menantu saya yang saya ceritakan.”“
Tanpa bicara lagi Endra memasuki area jemuran yang sebetulnya berupa halaman kecil dengan tembok tinggi sebagai pembatasnya. Itu masih termasuk ke dalam rumahnya. Dulu ia berencana menjadikannya kolam ikan tapi urung ketika Irma melarangnya.“A-aku belum sempat beli yang baru.”“Yang mana yang rusak?”Gina terdiam sebentar, ia terlalu terkejut dengan sikap Endra. “I-ini. Kalau ditimpa jemuran yang masih basah dan berat, tumpuannya makin lebar.”“Mana lagi?”“Penyangga yang bagian ini dan ini lepas.”“Ini masih bisa dibetulkan,” ujarnya.Lantas Endra kembali masuk ke dalam untuk membawa beberapa peralatannya.Beberapa saat kemudian, keduanya disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Endra yang sibuk dengan perbaikan jemurannya, dan Gina yang tengah mencuci piring.“Andhika sudah ditangkap, tapi dia belum mau mengaku.”Gina terdiam sebentar sebelum kembali melanjutkan kegiatannya. “Dulu, Andhika bukan orang yang sering lari dari tanggung jawab. Mungkin ada hal yang buat dia jadi seperti