Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Apa yang kau pikir ketika mendengar kata ibu? Seseorang yang mengandung dan melahirkanmu atau sosok tegar yang tetap membesarkanmu dengan kasih sayang meski hati tertoreh luka.~~~Gadis kecil itu terseok-seok. Beberapa kali kaki mungilnya tersandung dan hampir tersungkur. Namun, wanita bergaun hitam yang tengah menarik kasar tangannya seolah tak peduli, tetap berjalan dengan cepat. Bibir berlipstik merah darah tak sedikit pun menyungingkan senyum, membuat si gadis kecil memasang wajah muram.Surtini, begitulah nama yang diberikan wanita bergaun hitam untuk si gadis berusia 5 tahun. Nama itu diberikan dengan asal setelah mendengar berita korban pembunuhan di televisi. Tega, kejam, mungkin kata-kata itu pantas disematkan kepadanya. Namun, dia tak peduli. Anak semata wayangnya itu memang tak pernah diharapkan."Bu ... pelan-pelan jalannya," lirih Surtini. Dia melirik takut-takut. Bukan sekali dua kali, tubuh mungilnya dihantam dengan ikat
"Aduh, bagaimana kalau Pak Karta berbuat jahat sama anak itu?"Surtini semakin resah. Berurusan dengan rentenir culas macam Karta hanya akan meninggalkan banyak masalah. Bukan hanya dia, Rukmini dan Hastuti bisa saja ikut terseret. Gadis itu pun mondar-mandir tak jauh dari gudang."Paman jahat! Tolong!" Jeritan anak kecil dari dalam gudang semakin memilukan."Argggh! Aku tidak bisa membiarkan ini!"Surtini meletakkan keranjang kue di tanah. Dia bergegas menuju gudang. Sialnya, pintu gudang itu dikunci dari dalam."Tolong! Tolong! Huaaaa! Lepaskan aku, Paman Jahat!" Suara anak kecil di dalam gudang terdengar semakin memprihatinkan.
"Kakak itu tidak bersalah!" Jeritan melengking seketika menghentikan keributan.Warga yang tadi berdesakan hendak menghakimi Surtini refleks menepi. Mereka kompak menoleh ke asal suara. Ada empat orang berdiri di sana, dua orang dewasa, seorang remaja, dan gadis kecil yang hampir menjadi korban Karta."Itu orangnya, Ma, Pa! Itu dia orangnya, paman jahat yang mau buka-buka baju aku!" adu si gadis kecil, sambil menunjuk Karta. Mata bundarnya melotot, seakan-akan bisa keluar dari tempatnya.Warga saling berpandangan, lalu berbisik-bisik. Mereka mulai meragukan kebenaran ucapan Karta. Surtini yang tadi dicengkeram bersama-sama tak sengaja terlepas. Rukmini tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia cepat mengamankan putrinya."Penjarakan pam
"Sebelumnya, maaf dulu, saya tidak bermaksud menyinggung ...." Aris tak melanjutkan ucapannya, malah mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari, membuat Rukmini mengerutkan kening."Iya, Pak? Jadi, apa yang ingin di sampaikan?""Begini, saya dan istri sudah sepakat ingin memberikan tawaran untuk Surtini."Aris mengatur napas sejenak. Amira mencolek lengannya karena tidak sabaran dengan tingkah sang suami yang memang suka tidak enakan. Rukmini menatap suami istri itu dengan perasaan serba salah, ingin bertanya tetapi takut dianggap tidak
"Kakak Peri! Kakak Peri! Coba liat, sekarang Reina jadi tuan putri!"Seruan Reina membuat Surtini gelagapan. Namun, dia cepat-cepat tersenyum hangat, tak ingin gadis kecil itu khawatir. Surtini mencubit pelan ujung hidung Reina."Ada apa, Anak Manis?""Ini lho, Kak, mahkota bunga buatan Kak Bagus, cantik banget, bikin aku jadi kayak putri-putri Disny gitu," celoteh Reina sambil berputar-putar, membuat roknya mengembang ala-ala tuan putri.Meskipun sedikit cemburu, Surtini tak ingin rasa itu meracuni hati. Dia menyengir lebar sembari mengacungkan jempol."Iya, Reina jadi cantiiik sekaliii, seperti Putri Salju yang ada dalam dongeng," komentarnya.Surtini memang menjadi teringat Dongeng Putri Salju saat melihat Reina. Rambut berkucir kuda yang hitam pekat seperti kayu eboni, kulit putih cerah, juga bibir mungil kemerahan milik si gadis kecil cocok sekali dengan deskripsi sang putri. Seandainya, ada live action dongeng tersebut versi Indo
Ruang tamu rumah Rukmini kembali dipenuhi gelak tawa anak-anak. Reina terus berceloteh riang. Berkali-kali dia mengungkapkan keinginannya agar Surtini mau tinggal bersama keluarga mereka. Sementara Rehan hanya melirik diam-diam dengan sorot mata penuh harap. Keluarga Pratama memang datang lagi seminggu dari kedatangan yang pertama untuk mendengar keputusan Surtini atas tawaran mereka.Aris berdeham, lalu kembali berbicara, "Jadi, bagaimana, Nak? Kamu mau menerima tawaran kami?"Surtini tampak menelan ludah. Dia terdiam dalam waktu yang cukup lama sebelum bersuara."Tawaran Om dan Tante adalah kesempatan besar bagi saya, tapi ...," Surtini menunduk dalam sebelum melanjutkan, " maaf, Om, Tante, saya tidak bisa menerima."Semua yang ada di ruang tamu tampak terperanjat. Rukmini sendiri bahkan menatap anak tirinya dengan sorot mata tak percaya. Selama seminggu sejak mendapat tawaran bantuan dari Keluarga Pratama, Surtini memang tidak pernah membic