Cinta itu buta, ya mungkin itu adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaan cinta kakaknya Zahra pada istrinya. Dika begitu mencintai Sinta walaupun sikap dan perilaku Sinta yang pemalas, suka memerintah, dan semena-mena pada Bu Ami yang merupakan mertuanya, sekaligus Ibu dari Dika dan Zahra. Dika akan tetap membela Sinta walaupun sebenarnya Sinta sudah melakukan kesalahan. Ibu Ami menganggap Sinta sudah seperti anak sendiri. Tetapi Sinta dengan teganya berbuat semena-mena pada Bu Ami. Bu Ami selalu sabar menghadapi perlakuan Sinta padanya, tetapi Zahra sebagai seorang anak tak terima jika ibunya diperlakukan seperti pembantu oleh Sinta. Bagaimana Zahra akan membela ibunya dari sikap semena-mena kakak iparnya?
View MoreBab 42Pov Dika 2"Ada apa Mas? Kenapa sepertinya ada sesuatu yang penting? " tanya Sinta yang sudah duduk di ujung ranjang kamar kami. Sememtara anak-anakku masih berada di depan televisi. Aku mengajak Sinta ke kamar agar anak-anakku tak mendengar keributan kami nanti. "Eh, tapi tunggu, Mas. Aku mau cerita, masak si Ratih itu hamil di luar nikah. Nggak nyangka aja ya kalau .... ""Sudah berapa kali kamu berbuat buruk kepada Ibuku? " tanyaku tak memedulikan pertanyaan Sinta yang menurutku tak lebih penting dari apa yang akan aku sampaikan. "A-apa? Mas bi-bicara apa sih? " Sinta tampak gugup. "Sudah berapa kali kamu berbuat buruk pada Ibuku? " tanyaku dengan nada meninggi. "A-aku ng-nggak pernah berbuat buruk pada Ibu, Mas, " ucap Sinta tergagap. "Jangan bohong! " bentakku dengan nafas memburu.Sinta tampak terkejut dan menatapku takut. "Cepat jawab! " desakku lagi. "Iya! " teriak Sinta akhirnya. "Aku memang meminta Ibu kamu mengerjakan pekerjaan rumah,dan juga aku menjadikan I
Pov Dika"Mas, kamu sudah pulang? Bagaimana kondisi Ibu? Ibu baik-baik saja, kan? "Aku yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung di berondong pertanyaan Sinta yang ternyata belum kembali tidur. "Kenapa belum tidur? " tanyaku datar, tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bingung harus bersikap seperti apa kepada istriku ini. Haruskah aku percaya pada ucapannya yang mengatakan dia tak pernah berbuat jahat pada ibuku, ataukah ucapan Zahra tentang Sinta yang benar? Aggh rasanya aku begitu pusing memikirkan ini semua. "Aku khawatir dengan kondisi Ibu, jadi aku tak bisa kembali tidur, " ucapan Sinta membuatku menatapnya. Tetapi tak kutemukan raut kesedihan di wajahnya. Hanya seperti ..., sedih yang dibuat-buat. "Duduk dulu, Mas. Kamu pasti capek, kan? Biar ku buatkan teh hangat untukmu, " ujar Sinta lembut sembari menuntunku duduk di depan televisi. Sinta berlalu menuju dapur, sementara aku mengusap wajahku kasar. Apa mungkin Sinta yang lemah lembut seperti itu bisa tega melukai hati ib
"Sudah, Zahra. Ibu pasti akan baik-baik saja, " ucap mas Dika yang duduk di sebelahku. "Ini semua gara-gara istri kamu itu, Mas, " ujarku lirih tanpa menoleh ke arah mas Dika. "Apa maksud kamu, Zahra! " ucap mas Dika dengan nadatau tinggi membuat beberapa orang yang duduk tak jauh dari kami menoleh menatap ke arah kami. "Ya! Ibu sakit seperti ini karena ulah istri yang kamu cintai itu! " bentakku tak kupedulikan tatapan aneh yang dilayangkan oleh pengunjung rumah sakit lainnya. Ya, kami sedang berada di ruang tunggu rumah sakit. Sementara ibu sedang di tangani di IGD. "Mohon maaf Mas Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini ya. Takut menganggu pasien lainnya, " ucap suster yang sudah berdiri di depan kami. "Baiklah, Sus. Kami minta maaf, " ucap mas Dika. Sementara aku memilih diam menenangkan diri. "Kenapa kamu bisa bicara seperti itu, Ra? " tanya mas Dika yang nampaknya sudah lebih tenang. "Coba saja Mas Dika tanya sama istri kamu itu, Mas. Apa yang dia lakukan kepada Ibu,
"Siapa kira-kira ya? Kenapa dia tau aku sedang bersedih? Apa mungkin Amanda? Tapi kenapa tiba-tiba dia ganti nomer? Ah, mungkin saja dia kehabisan kuota lalu pinjam ponsel adiknya, " gumamku lalu mengetik balasan untuk pesan itu. [Iya, Man. Terimakasih, ya. Maaf tadi aku ninggalin kamu, ]balasku dengan disertai emoticon wajah sedih. Pesan yang aku kirim langsung centang dua biru, dan tak lama ada tulisan mengetik pada profilnya. [Man? Maksudnya? ]Aku mengernyit kenapa Amanda membalas seperti itu? Atau jangan-jangan dia bukan Amanda? Tapi siapa? Hanya Amanda yang tau aku sedang bersedih. Aku sudah akan mengetik balasan pesan itu, sampai terdengar suara lirih ibu memanggilku. "Nak? Zahra? Apa itu kamu? " panggil ibu lirih, segera aku beranjak dari duduk ku dan mendekat ke ranjang ibu. "Iya, Bu. Ini Zahra, Bu. Ibu butuh sesuatu? " tanyaku sendu. "Nak, tolong jangan tinggalkan Ibu sendiri ya. Ibu takut, " ucap lirih ibuku dengan mata yang sayu. Aku menaikkan satu alis, ada apa de
"Assalamualaikum! Ibu! " seruku sembari terburu-buru masuk ke rumah. Setelah mendapat kabar dari mas Dika tadi, aku yang baru selesai bekerja langsung berlari ke jalan raya mencari taksi atau tukang ojek. Karena hari sudah larut malam, tak ada satupun taksi yang lewat. Bahkan dari tadi aku mencoba memesan taksi online, tapi tak juga ada yang menyahut. Tapi tiba-tiba kak Rayhan datang dan menawari ku untuk mengantarku pulang. Karena kekhawatiranku terhadap ibuku, aku berusaha menghilangkan kekesalanku kepada kak Rayhan. Aku di antar kak Rayhan pulang menaiki sepeda motornya. Tak ada percakapan selama perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh kekhawatiranku terhadap ibuku. Sampai di depan rumahku, aku langsung turun dari sepeda motor kak Rayhan. Dan karena aku semakin cemas dengan kondisi ibu, aku lupa untuk berterimakasih kepada kak Rayhan, karena aku langsung berlari masuk ke dalam rumah. Tak menunggu jawaban salamku dari dalam rumah, aku segera melangkah menuju kamar ibu. Melewati ru
Pyar"Zahra? Ada apa ini? " tanya bu Lina yang tampak terkejut mendengar suara gelas terjatuh. "Emm, maaf, Bu. Saya nggak sengaja mecahin gelas, " ucapku merasa bersalah. Entah kenapa tiba-tiba tanganku merasa gemetar dan tak sengaja menjatuhkan gelas yang sedang aku bawa dalam nampan. Dan entah kenapa juga perasaanku menjadi tak enak seperti ini. Ada apa sebenarnya denganku ini? "Kamu sakit, Ra? " Pertanyaan bu Lina menyadarkanku dari pemikiranku. "Oh, enggak kok, Bu. Saya sehat-sehat saja. Cuma tadi sedikit kurang fokus saja, " ujarku mengulas senyum. "Kalau sakit lebih baik kamu istirahat dulu saja, Ra. Kebetulan kan pelanggan hari ini tak terlalu banyak," ucap bu Lina kemudian. "Enggak apa-apa kok, Bu. Saya masih bisa bekerja kok, " jawabku meyakinkan. Mungkin karena banyak pikiran jadi aku sedikit kurang fokus tadi. Tapi kenapa aku jadi kepikiran tentang ibu ya. Sudah lama juga aku tak berkomunikasi dengan beliau. Semoga beliau sehat-sehat selalu. "Ya sudah kalau begitu s
Pov Dika"M-mas Di-Dika ..." ucap Sinta terbata kemudian melepaskan cengraman tangannya dari lengan ibuku yang sudah meringis kesakitan. "Mas Dika kapan pulang? Kok nggak ngabarin aku sih? " ucap Sinta merubah ekspresinya menjadi seperti biasa. Aku tak menjawab pertanyaan Sinta. Dengan nafas memburu menahan amarah, aku berjalan cepat menuju tempat Sinta berdiri. Plak"M-mas Dika .... "Sinta menatapku dengan mata membola serta memegang pipinya yang sedikit memerah. Mungkin dia terkejut atas apa yang baru saja aku lakukan. Ya, aku menampar Sinta, untuk pertama kali aku berbuat kasar padanya. Selama ini aku tak pernah bermain tangan ataupun menyakiti hati Sinta, karena aku sangat amat mencintainya. Sebenarnya aku sudah beberapa kali melihat Sinta berlaku sedikit buruk kepada ibuku, tapi aku hanya berpikir kalau Sinta sedang kelelahan jadi emosinya naik turun. Tapi kalo ini Sinta sudah sangat keterlaluan, bagaimana tidak dia dengan beraninya mencengkram lengan ibuku dan menyeretnya
Pov Sinta 2"Ibu! Sindi nangis! " teriakku dari depan televisi. "Ibu! " teriakku lagi. Tak lama terlihat ibu mertua yang lari tergopoh-gopoh dari arah dapur. "Nak, ibu lagi nyuci baju. Tolong kamu tenangin anak kamu dulu ya, " ucap Ibu mertua yang sudah berdiri di dekatku. Mendengar hal itu, aku yang sedang menonton televisi sembari makan, menoleh ke arah ibu mertua. "Apa Ibu nggak lihat? Aku lagi makan! " bentakku sambil mata melotot. "Ta-tapi, Nak. Baju Ibu basah, kasihan Sindi kalau nanti ikut kedinginan, " ujar Ibu mertua ketakutan. "Halah, alasan aja Ibu ini! Tinggal ganti baju apa repotnya sih! Aku tuh harus makan supaya asiku lancar. Apa Ibu mau Sindi kekurangan ASI? " tanyaku memberi alasan. Karena aku yakin Sindi itu nangis gara-gara buang air besar. Aku yang sedang makan tak ingin melihat kotorannya, bisa-bisa aku muntah. Tanpa menjawab lagi, ibu mertua langsung melangkah cepat ke kamarnya. Tak lama dia keluar dengan pakaian yang berbeda, langsung melangkah menuju k
Pov Sinta"Astaga! Aku lupa kalau Zahra juga bekerja di rumah makan viral itu," gumamku menepuk keningku."Untung saja tadi aku nggak jadi kesana bersama Mas Dika. Kalau tidak, huhh ..., pasti Mas Dika akan tau dimana keberadaan Zahra, " lanjutku sembari kembali menscroll akun sosial mediaku. Tapi kebanyakan postingan yang lewat diberandaku adalah foto teman-temanku yang sedang berfoto di rumah makan viral itu. Aku jadi ingin kesana, tapi ada Zahra disana. "Aish, anak manja itu memang membuatku jengkel! " geramku mengingat Zahra. "Tapi ..., semoga saja Mas Dika terpengaruh dengan ucapanku tadi. Sehingga dia nggak perlu mengurusi Zahra lagi, " gumamku berharap. Gosip yang aku buat sudah menyebar ke ibu-ibu tetangga, apalagi ibu-ibu julid itu pasti juga akan menambah-nambah bumbu-bumbu gosip agar semakin enak digosipkan.Syukurin kamu Zahra, nama baik kamu sudah tercoreng. Itu semua karena kamu berani melawan ku. Rasa kantuk menyerang, aku lihat Sindi sudah tidur dengan pulasnya,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.