Share

Ibu Susu untuk Bayi Kakakku
Ibu Susu untuk Bayi Kakakku
Автор: Syalvadd

1. Pinangan Mengejutkan

“Owaa, owaa!”

Suara tangisan bayi seketika mengejutkan seorang wanita yang sedang sibuk melakukan tugasnya. Dengan cepat, wanita itu bergegas untuk menghampiri sumber suara.

Sembari berusaha menenangkannya, Sarah memandang sendu bayi kecil yang tengah berada di dalam gendongannya. Sesekali, wanita itu berusaha menghapus air mata yang berkelinang di pelupuk matanya.

Pasalnya, Sarah tak kuasa kala menatap bayi laki-laki bernama Azka yang baru saja kehilangan ibunya sendiri. Ibu Azka itu adalah kakak dari Sarah, Laras namanya. Sara merasa, sungguh malang nasib Azka sehingga harus tumbuh tanpa seorang ibu di sisinya. Namun, di sisi lain, Sarah juga bangga kepada kakaknya yang rela mempertaruhkan nyawanya dan bahkan ‘menukar’ kehidupannya demi hadirnya seorang malaikat kecil di tengah-tengah keluarga mereka.

“Kalau Azka sudah besar, aunty akan cerita dengan bangganya di hadapan Azka bahwa Azka punya mama yang hebat untuk Azka,” gumam Sarah.

Bayi yang baru berumur 3 minggu itu menggeliat dan mengulas senyuman tipis di wajahnya. Sarah yang melihat itu pun ikut tersenyum, Azka benar-benar seolah bisa mendengar apa yang dikatakan oleh auntynya sehingga dia bisa tersenyum dengan manis seperti ini.

“Azka senang ya, kalau aunty bicarakan mama kamu? Aunty juga rindu sama mamanya Azka.” gumam Sarah lagi.

Berat sebenarnya untuk berada di posisi Sarah. Sarah adalah orang yang paling dan sangat dekat dengan Laras. Bagaimana pun, terlepas dari keduannya yang memang berstatus sebagai adik dan kakak, hubungan keduanya sangat baik dan selalu saling mendukung.

Bagi Sarah, Laras adalah saudaranya, kakaknya, mamanya, kotak curhatnya dan segalanya. Jadi, ketika dikabarkan bahwa Laras meninggal oleh kedua orang tuanya, orang yang paling terpukul di sini adalah Sarah. Dia yang paling histeris ketika sang kakak dimakamkan di tempat terakhirnya, bukan mamanya ataupun Baskara, suami dari Laras.

Sarah mengusap air matanya ketika dia kembali mengingat kenangannya bersama dengan Laras. Meski terasa sedih, Sarah terus berusaha untuk kuat demi menjadi aunty yang baik untuk keponakan pertamanya itu.

Saat sedang fokus menatap Azka, tiba-tiba kedua orang tuanya, bersama dengan keluarga kakak iparnya, datang dan berkumpul di ruang keluarga.

“Sarah, bagaimana Azka? Dia cocok aja sama susu formulanya?” tanya Ayu, ibunya.

“Cocok aja, Bu. Azka gak rewel, anteng dan benar-benar ngerti keadaan rumah,” jawab Sarah sembari tersenyu.

Sejak kepergian kakak kandungnya, Sarah lah yang menjaga Azka. Sarah juga yang mengurus semua keperluan Azka, sehingga Sarah yang selalu ada di samping Azka. Bahkan, dia juga sudah menganggap Azka sebagai anaknya sendiri.

Sementara Baskara, kakak ipar dan juga ayah kandung Azka, biasanya mengunjungi Azka seusai bekerja.

“Mama berterima kasih ya, karena nak Sarah sudah mau mengurus Azka. Baskara benar sedang sibuk akhir-akhir ini. Pekerjaan kantornya terpaksa diabaikan sejak kelahiran Azka dan kematian Laras, jadi dia harus mengurus beberapa pekerjaan yang belum usai sekarang,” ucap mama Mala, orang tua dari kakak iparnya.

“Nggak apa-apa tante, dengan senang hari. Kebetulan, aku juga nggak ada kegiatan di rumah. Dengan adanya Azka, aku jadi nggak ngerasa kesepian. Kalau lagi sendiri dan kesepian, aku selalu ingat kakak soalnya,” jawab Sarah seraya tersenyum manis ke arah mertua dari kakaknya itu.

Bu Ayu tersenyum dan mengelus rambut anak bungsunya itu. Bu Ayu dan bu Mala memang sedang mengadakan makan malam untuk membahas sesuatu yang tak diketahui oleh Sarah. Kemungkinan besar, membahas hal yang ada sangkut pautnya dengan almarhumah kakaknya.

“Nanti malam, Baskara mau ke sini, sekaligus kamu mau membawa Azka untuk menginap di rumah kami untuk beberapa hari ke depan, bagaimana?”

“Baik, Tante. Bagaimana pun juga, Azka ‘kan anak dari mas Baskara dan cucu dari tante. Jadi, aku gak punya hak untuk melarangnya.” jawab Sarah, maniknya sesekali mengarah ke Azka yang berada di pangkuannya.

Mendengar itu, Mala tersenyum dan mengelus punggung Sarah dengan lembut. “Terima kasih ya, dan panggil mama aja, sama seperti yang lainnya. Jangan panggil tante.”

Sarah mengangguk, “Siap, Ma.”

Selanjutnya, mereka mulai terlibat obrolan kecil tentang Azka yang banyak belum mereka ketahui. Sarah yang menceritakan itu semua, hingga tiba-tiba, obrolan mereka terhenti ketika seorang lelaki yang mereka tunggu kehadirannya datang.

Dengan setelan jas berwarna biru dongkernya, pria itu datang sembari menyapa seluruh keluarganya, termasuk Sarah.

“Maaf, saya terlambat, tadi ada sedikit masalah di kantor,” ucapnya seraya tersenyum ke arah semua orang yang berada di ruangan tersebut.

Sarah hanya bisa mengangguk kepada Baskara Atmaja Josephine, kakak iparnya, lelaki yang kini menyandang status duda tinggal mati. Meskipun umurnya yang bisa dibilang sudah tak muda, wajah tampan, rahangnya yang tegas, serta profesinya sebagai CEO di perusahaan turun temurun keluarganya, membuat kakak iparnya itu masih berkharisma.

“Nggak apa-apa, kita juga lagi santai dan nggak terburu-buru. Memangnya, perusahaan lagi sibuk banget ya, Bas?” tanya sang ayah mertua.

“Iya pa, kerjaannya menumpuk karena kemarin banyak yang belum sempat aku kerjakan.” jawab Baskara seraya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

“Ya sudah, yang penting kamu tetap jaga kesehatan kamu, ya.” timpal Mama Ayu.

Sebagai tanggapan, Baskara hanya menganggukan kepalanya. Justru, pandangan lelaki itu kini beralih pada adik iparnya—lebih tepatnya pada anaknya yang berada di gendongan sang wanita. Sudah dua hari dia tidak berkunjung ke sini karena pekerjaannya yang mengharuskan dirinya untuk lembur, rasa rindu dia kepada anaknya sudah tidak bisa dia tahan.

“Mau gendong mas?” tanya Sarah pada Baskara ketika tersadar manik iparnya terus menatap ke arah Azka yang berada di pangkuannya.

Pertanyaan Sarah membuat Baskara tersenyum, namun, dia menggelengkan kepalanya dengan lembut, “Mas belum bersih-bersih. Nanti aja.”

Sarah mengangguk dan kembali diam seraya menepuk-nepuk pelan bokong Azka yang terlihat terganggu.

“Ma, Pa, aku mau ke atas, ya? Kayanya Azka nggak nyaman kalau tidur dalam posisi gini.”

“Jangan pergi dulu, Sarah. Ada yang ingin kami jelaskan kepada kamu,” ucap ayahnya. Entah mengapa, wajahnya seketika menunjukkan ekspresi yang sangat serius.

Entah mengapa, saat itu, ada perasaan tidak enak yang memenuhi hatinya. “Ada apa, Pa?”

Ketika Sarah pikir ayahnya akan bersuara, justru kini ayahnya terdiam. Tak hanya itu, semua orang tampak mengalihkan tatapannya ke arah Baskara. Mereka seolah memberikan kesempatan kepada Baskara untuk menjelaskan sesuatu.

Baskara gugup, dia berusaha menetralkan raut wajahnya. Meski begitu, dia mulai membuka suaranya dan—

“Sarah, apakah kamu bersedia menikah dengan saya dan menjadi ibu untuk Azka?”

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status