Share

Ibu Susu Untuk Anak Gundikmu
Ibu Susu Untuk Anak Gundikmu
Автор: Arini Asrini

1. Bayi dan Ayahnya.

Selepas kepergian kedua orang tuanya, Tsani dipaksa menikah dengan anak rentenir yang meminjamkan hutang kepada orang tuanya. Tsani yang tidak bisa melunasi sisa hutang orang tuanya itu akhirnya menyetujui syarat pelunasan tersebut. Namun, sayangnya pernikahannya dengan Bimo, anak sang rentenir itu tidak bertahan lama. Lika-liku rumah tangga pun kian mendera, saat Bimo mengkhianati pernikahannya. Bimo lebih memilih Dini, cinta di masa lalunya dan meninggalkan Tsani serta anaknya yang masih berusia satu tahun.

“Mas ... aku mohon tetaplah di sini, lihat anak kita, lihatlah aku, Mas .... Terserah jika Mas mau menikah lagi dengannya, aku rela. Asalkan Mas tetap bersama kami. Melani butuh kamu, Melani butuh kita, aku mo---hon, Mas ---,” tangisan Tsani bak pengemis 1 tahun yang lalu masih terekam jelas dalam memorinya. Sangat menyayat.

Tsani, wanita yang bergelar istri sah sampai merendahkan harga dirinya di depan Dini demi mempertahankan rumah tangganya. Namun, semuanya sia-sia. Tetap saja Bimo tidak mempedulikan permohonan Tsani.

Mereka hanya mampu mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun. Pernikahan karena hutang piutang orang tua sehingga Tsani terpaksa dinikahkan dengan Bimo, anak rentenir desa. Kedua orang tua Tsani yang hanya seorang petani. Mereka sudah meninggal dunia karena bencana longsor, disaat tengah menggarap sawah milik ayah Bimo. Bekerja tanpa upah karena hanya bisa membayar hutang dengan tenaga.

Semenjak awal pernikahan, Bimo sangatlah kasar kepada Tsani, bahkan Tsani baru di beri nafkah batin di usia pernikahan mereka yang kesatu tahun, itu pun karena terpaksa. Pria beralis tebal itu selalu pulang malam dan tak jarang pula dalam keadaan mabuk. Tsani hanya mampu meratapi nasib seorang diri tanpa tahu harus kepada siapa ia mengadu, selain kepada Gusti Allah.

💙💙💙

“Melani ... mainnya jangan jauh-jauh ya, Nak,” teriak Tsani dari dapur yang sedang berkutat dengan basrengnya.

“Iya, Mah.” Anak 2 tahun berambut keriting itu bermain dengan teman sebayanya di halaman rumah Tsani yang penuh dengan bunga anggrek.

Rumah berukuran kecil, yang hanya terdapat 1 kamar tidur, kamar mandi yang sempit berjejer dengan dapur dan ruang tamu adalah rumah peninggalan orang tua Tsani. Rumah yang menjadi hunian ternyaman Tsani dan putrinya, Melani saat ini. Setelah terpaksa ke luar dari rumah Bimo, satu tahun yang lalu walaupun sudah di tahan oleh mertuanya untuk tetap tinggal di sana.

“Alhamdulillah pesanan basreng hari ini lumayan banyak, bisa buat beli token listrik dan beli beras buat makan besok,” gumam Tsani sembari mengusap keringat di keningnya. Bibir tipisnya mengulas senyum bahagia. Tsani bersyukur sekali walaupun dengan pendapatan minim wanita yang sekarang berstatus janda atau bukan, tidak sampai memiliki hutang di warung. Kehidupannya sangat prihatin.

Semenjak kepergian Bimo yang menyisakan luka trauma, dan kebencian satu tahun lalu, di mana Melani baru berusia 12 bulan. Wanita yatim piatu itu ditinggalkan tanpa ada ucapan talak dari Bimo. Status pernikahannya kini mengambang tiada kejelasan. Namun, kehidupan ini akan terus berjalan dengan ada atau tidaknya Bimo dalam hidup Tsani. Ia harus menghidupi buah hatinya dengan menjual basreng yang dititipkan ke warung tetangga dan penjual jajanan pagi di pinggiran jalan. Tsani sengaja memilih basreng untuk menyambung hidup mereka karena makanan itu bisa tahan dalam beberapa hari.

Bukan tanpa alasan Bimo meninggalkan istri dan darah dagingnya, melainkan karena wanita yang dianggap Bimo lebih lihai dalam urusan ranjang. Padahal, usia wanita jalang itu masih 20 tahun. Jauh dari Tsani yang berusia 28 tahun waktu itu. Namun, keahlian Dini merebut suami orang sangatlah handal.

“Ante ... Ante Ani, ada penghahat mau ulik Meyani.” Mita, teman bermain Melani lari terbirit-birit ke arah dapur dan menunjuk ke halaman rumah.

“Mah ... olong Meyani, Mah,” teriakan gadis berusia 2 tahun itu membuat Tsani berlari kocar-kacir menghampiri sumber suara.

“Astaghfirullah, kamu di sini saja ya, Mit. Jangan ikut keluar!” perintah Tsani dan berlari cepat.

Ternyata betul, seorang laki-laki dengan tangan kiri yang menggendong bayi, berpakaian kumal dengan wajah tak terawat sedang memeluk Melani.

“Lepaskan putriku!” bentak Tsani dari ambang pintu lalu berlari dan bergegas meraih anak semata wayangnya.

“Mamah ... Meyani atut ...,” tangis Melani pecah dalam gendongan Tsani.

“Tenang sayang sudah ada Mamah di sini, ayo kita masuk.” Tsani melangkah mundur dan berbalik arah menuju rumah dan segera mengunci pintu.

“Tsani ...,” lelaki itu menyebut nama Tsani dengan suara parau.

Tsani tak menggubrisnya karena takut dan merasa tak mengenali lelaki itu.

Tidak gentar dengan bentakan wanita berkulit kuning langsat itu, lelaki tersebut malah mendekat ke rumah dan mengetuk pintu rumah Tsani.

“Tsan ... Tsani, izinkan aku masuk. Aku ingin memeluk Melani.”

“Mas Bimo ...,” Tsani bergeming di dalam hati.

Suara itu, suara di balik pintu itu sangat Tsani kenali. Seketika badan Tsani longsor ke lantai, duduk bersender di tembok.

“Owe ... owe ...” suara tangisan bayi di luar sana.

“Tsani, aku mohon, izinkan aku bertemu dengan putriku. Aku sangat rindu padanya.”

Tsani masih saja terdiam, kesakitan yang hampir sembuh kini menganga kembali bersama munculnya Bimo sekarang.

“Mah, Om itu ciapa?” tanya Lani yang kini sudah terlihat tenang dari ketakutannya.

“Itu olang hahat, Meyani. Makanya Ante Ani no no uka intu,” jawab Mita dengan polosnya khas anak kecil.

Tsani mengepakkan kedua tangannya, Lani dan Mita langsung masuk dalam dekapan Tsani yang masih terduduk di lantai.

“Kalian jangan takut, ada Mamah di sini.” Tsani mengecup kening kedua anak itu.

Tangisan bayi belum juga selesai, bahkan makin keras terdengar.

“Sabar ya, Nak ... sabar. Sebentar lagi kamu bisa minum, masih Ayah usahakan,” suara parau Bimo menenangkan bayinya.

Bimo yang sudah tiga hari terlantung-lantung di jalanan bersama bayinya, kini sudah tidak tahu lagi mau ke mana. Tujuan ia pulang ke rumah orang tuanya sudah jelas tidak akan diterima. Semenjak Bimo mencoreng nama baik keluarga karena lebih memilih Dini, wanita yang mereka anggap kotor. Bimo sudah tidak lagi diakui sebagai anak oleh orang tuanya dan sekarang Bimo diusir oleh wanita pilihannya.

“Tsan, jangan kau pedulikan aku, tetapi kumohon dengan sangat. Berikanlah sedikit hatimu untuk bayiku. Dia sangat kehausan.”

Segala rasa berkecamuk dalam hati Tsani saat ini. Di satu sisi, kebencian tengah berkobar karena masa lalu yang menyakitkan. Di sisi lain ada hati nurani seorang ibu yang tidak tega mendengar rintihan seorang bayi. Sekalipun Tsani tahu, bahwa bayi digendongan Bimo adalah hasil pengkhianatannya dengan wanita jalang itu.

“Mah, dede ayi itu acihan cekali, Meyani mau olongin dede ayi itu ya, Mah ... oleh?” Tangan mungil Melani menggoyang lirih lengan Tsani.

Mata Tsani kini banjir, bukan karena sakit dan benci yang ia rasakan, tetapi sebab Melani. Putri kesayangannya berbesar hati ingin menolong bayi itu. Andai Melani tahu siapa sebenarnya mereka, pasti Melani akan sedih mungkin lebih dari kesedihan yang Tsani rasakan. Akan tetapi, anak sekecil Melani belum paham akan hal ini.

“Lani ... Mita ... bisakah kalian ke kamar dulu, Nak? Ada yang mau Mamah selesaikan,” titah Tsani, “dan kalian janji ya, apapun yang terjadi kalian tidak boleh ke luar kamar, baik Lani ataupun Mita. Mamah mohon.”

“Iya, Mah ...” sahut mereka secara bersamaan dengan lari kecil mereka meninggal Tsani.

Setelah mereka masuk ke kamar, Tsani bangkit dari duduknya. Menyeka dengan kasar air mata yang terus berlinang.

“Ini harus segera aku selesaikan, aku tidak mau rumahku jadi tontonan tetangga.”

Pintu rumah terbuka, netra Bimo memancarkan binar-binar kelegaan. Namun, berbeda dengan Tsani yang masih menatap Bimo dan bayi itu dengan penuh kebencian.

Комментарии (1)
goodnovel comment avatar
Neny nina
cerita keren. lanjuut
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status