Selepas kepergian kedua orang tuanya, Tsani dipaksa menikah dengan anak rentenir yang meminjamkan hutang kepada orang tuanya. Tsani yang tidak bisa melunasi sisa hutang orang tuanya itu akhirnya menyetujui syarat pelunasan tersebut. Namun, sayangnya pernikahannya dengan Bimo, anak sang rentenir itu tidak bertahan lama. Lika-liku rumah tangga pun kian mendera, saat Bimo mengkhianati pernikahannya. Bimo lebih memilih Dini, cinta di masa lalunya dan meninggalkan Tsani serta anaknya yang masih berusia satu tahun.
“Mas ... aku mohon tetaplah di sini, lihat anak kita, lihatlah aku, Mas .... Terserah jika Mas mau menikah lagi dengannya, aku rela. Asalkan Mas tetap bersama kami. Melani butuh kamu, Melani butuh kita, aku mo---hon, Mas ---,” tangisan Tsani bak pengemis 1 tahun yang lalu masih terekam jelas dalam memorinya. Sangat menyayat.Tsani, wanita yang bergelar istri sah sampai merendahkan harga dirinya di depan Dini demi mempertahankan rumah tangganya. Namun, semuanya sia-sia. Tetap saja Bimo tidak mempedulikan permohonan Tsani.Mereka hanya mampu mengarungi bahtera rumah tangga selama lima tahun. Pernikahan karena hutang piutang orang tua sehingga Tsani terpaksa dinikahkan dengan Bimo, anak rentenir desa. Kedua orang tua Tsani yang hanya seorang petani. Mereka sudah meninggal dunia karena bencana longsor, disaat tengah menggarap sawah milik ayah Bimo. Bekerja tanpa upah karena hanya bisa membayar hutang dengan tenaga.Semenjak awal pernikahan, Bimo sangatlah kasar kepada Tsani, bahkan Tsani baru di beri nafkah batin di usia pernikahan mereka yang kesatu tahun, itu pun karena terpaksa. Pria beralis tebal itu selalu pulang malam dan tak jarang pula dalam keadaan mabuk. Tsani hanya mampu meratapi nasib seorang diri tanpa tahu harus kepada siapa ia mengadu, selain kepada Gusti Allah.💙💙💙“Melani ... mainnya jangan jauh-jauh ya, Nak,” teriak Tsani dari dapur yang sedang berkutat dengan basrengnya.“Iya, Mah.” Anak 2 tahun berambut keriting itu bermain dengan teman sebayanya di halaman rumah Tsani yang penuh dengan bunga anggrek.Rumah berukuran kecil, yang hanya terdapat 1 kamar tidur, kamar mandi yang sempit berjejer dengan dapur dan ruang tamu adalah rumah peninggalan orang tua Tsani. Rumah yang menjadi hunian ternyaman Tsani dan putrinya, Melani saat ini. Setelah terpaksa ke luar dari rumah Bimo, satu tahun yang lalu walaupun sudah di tahan oleh mertuanya untuk tetap tinggal di sana.“Alhamdulillah pesanan basreng hari ini lumayan banyak, bisa buat beli token listrik dan beli beras buat makan besok,” gumam Tsani sembari mengusap keringat di keningnya. Bibir tipisnya mengulas senyum bahagia. Tsani bersyukur sekali walaupun dengan pendapatan minim wanita yang sekarang berstatus janda atau bukan, tidak sampai memiliki hutang di warung. Kehidupannya sangat prihatin.Semenjak kepergian Bimo yang menyisakan luka trauma, dan kebencian satu tahun lalu, di mana Melani baru berusia 12 bulan. Wanita yatim piatu itu ditinggalkan tanpa ada ucapan talak dari Bimo. Status pernikahannya kini mengambang tiada kejelasan. Namun, kehidupan ini akan terus berjalan dengan ada atau tidaknya Bimo dalam hidup Tsani. Ia harus menghidupi buah hatinya dengan menjual basreng yang dititipkan ke warung tetangga dan penjual jajanan pagi di pinggiran jalan. Tsani sengaja memilih basreng untuk menyambung hidup mereka karena makanan itu bisa tahan dalam beberapa hari.Bukan tanpa alasan Bimo meninggalkan istri dan darah dagingnya, melainkan karena wanita yang dianggap Bimo lebih lihai dalam urusan ranjang. Padahal, usia wanita jalang itu masih 20 tahun. Jauh dari Tsani yang berusia 28 tahun waktu itu. Namun, keahlian Dini merebut suami orang sangatlah handal.“Ante ... Ante Ani, ada penghahat mau ulik Meyani.” Mita, teman bermain Melani lari terbirit-birit ke arah dapur dan menunjuk ke halaman rumah.“Mah ... olong Meyani, Mah,” teriakan gadis berusia 2 tahun itu membuat Tsani berlari kocar-kacir menghampiri sumber suara.“Astaghfirullah, kamu di sini saja ya, Mit. Jangan ikut keluar!” perintah Tsani dan berlari cepat.Ternyata betul, seorang laki-laki dengan tangan kiri yang menggendong bayi, berpakaian kumal dengan wajah tak terawat sedang memeluk Melani.“Lepaskan putriku!” bentak Tsani dari ambang pintu lalu berlari dan bergegas meraih anak semata wayangnya.“Mamah ... Meyani atut ...,” tangis Melani pecah dalam gendongan Tsani.“Tenang sayang sudah ada Mamah di sini, ayo kita masuk.” Tsani melangkah mundur dan berbalik arah menuju rumah dan segera mengunci pintu.“Tsani ...,” lelaki itu menyebut nama Tsani dengan suara parau.Tsani tak menggubrisnya karena takut dan merasa tak mengenali lelaki itu.Tidak gentar dengan bentakan wanita berkulit kuning langsat itu, lelaki tersebut malah mendekat ke rumah dan mengetuk pintu rumah Tsani.“Tsan ... Tsani, izinkan aku masuk. Aku ingin memeluk Melani.”“Mas Bimo ...,” Tsani bergeming di dalam hati.Suara itu, suara di balik pintu itu sangat Tsani kenali. Seketika badan Tsani longsor ke lantai, duduk bersender di tembok.“Owe ... owe ...” suara tangisan bayi di luar sana.“Tsani, aku mohon, izinkan aku bertemu dengan putriku. Aku sangat rindu padanya.”Tsani masih saja terdiam, kesakitan yang hampir sembuh kini menganga kembali bersama munculnya Bimo sekarang.“Mah, Om itu ciapa?” tanya Lani yang kini sudah terlihat tenang dari ketakutannya.“Itu olang hahat, Meyani. Makanya Ante Ani no no uka intu,” jawab Mita dengan polosnya khas anak kecil.Tsani mengepakkan kedua tangannya, Lani dan Mita langsung masuk dalam dekapan Tsani yang masih terduduk di lantai.“Kalian jangan takut, ada Mamah di sini.” Tsani mengecup kening kedua anak itu.Tangisan bayi belum juga selesai, bahkan makin keras terdengar.“Sabar ya, Nak ... sabar. Sebentar lagi kamu bisa minum, masih Ayah usahakan,” suara parau Bimo menenangkan bayinya.Bimo yang sudah tiga hari terlantung-lantung di jalanan bersama bayinya, kini sudah tidak tahu lagi mau ke mana. Tujuan ia pulang ke rumah orang tuanya sudah jelas tidak akan diterima. Semenjak Bimo mencoreng nama baik keluarga karena lebih memilih Dini, wanita yang mereka anggap kotor. Bimo sudah tidak lagi diakui sebagai anak oleh orang tuanya dan sekarang Bimo diusir oleh wanita pilihannya.“Tsan, jangan kau pedulikan aku, tetapi kumohon dengan sangat. Berikanlah sedikit hatimu untuk bayiku. Dia sangat kehausan.”Segala rasa berkecamuk dalam hati Tsani saat ini. Di satu sisi, kebencian tengah berkobar karena masa lalu yang menyakitkan. Di sisi lain ada hati nurani seorang ibu yang tidak tega mendengar rintihan seorang bayi. Sekalipun Tsani tahu, bahwa bayi digendongan Bimo adalah hasil pengkhianatannya dengan wanita jalang itu.“Mah, dede ayi itu acihan cekali, Meyani mau olongin dede ayi itu ya, Mah ... oleh?” Tangan mungil Melani menggoyang lirih lengan Tsani.Mata Tsani kini banjir, bukan karena sakit dan benci yang ia rasakan, tetapi sebab Melani. Putri kesayangannya berbesar hati ingin menolong bayi itu. Andai Melani tahu siapa sebenarnya mereka, pasti Melani akan sedih mungkin lebih dari kesedihan yang Tsani rasakan. Akan tetapi, anak sekecil Melani belum paham akan hal ini.“Lani ... Mita ... bisakah kalian ke kamar dulu, Nak? Ada yang mau Mamah selesaikan,” titah Tsani, “dan kalian janji ya, apapun yang terjadi kalian tidak boleh ke luar kamar, baik Lani ataupun Mita. Mamah mohon.”“Iya, Mah ...” sahut mereka secara bersamaan dengan lari kecil mereka meninggal Tsani.Setelah mereka masuk ke kamar, Tsani bangkit dari duduknya. Menyeka dengan kasar air mata yang terus berlinang.“Ini harus segera aku selesaikan, aku tidak mau rumahku jadi tontonan tetangga.”Pintu rumah terbuka, netra Bimo memancarkan binar-binar kelegaan. Namun, berbeda dengan Tsani yang masih menatap Bimo dan bayi itu dengan penuh kebencian.Selepas kepergian kedua orang tuanya, Tsani dipaksa menikah dengan anak rentenir yang meminjamkan hutang kepada orang tuanya. Tsani yang tidak bisa melunasi sisa hutang orang tuanya itu akhirnya menyetujui syarat pelunasan tersebut. Namun, sayangnya pernikahannya dengan Bimo, anak sang rentenir itu tidak bertahan lama. Lika-liku rumah tangga pun kian mendera, saat Bimo mengkhianati pernikahannya. Bimo lebih memilih Dini, cinta di masa lalunya dan meninggalkan Tsani serta anaknya yang masih berusia satu tahun.💙💙💙“Akhirnya, kamu membukakan pintu untuk kami juga, Tsan.” Bimo terharu dan bersyukur sekali Tsani mau menerima kedatangannya.“Apa tujuan Anda berani menginjakkan kaki di rumahku!” Dengan ketusnya Tsani bertanya.“Tsan, aku meminta maaf tulus kepadamu.”Masih di ambang pintu, Bimo melakukan tindakan yang tak diduga oleh Tsani sehingga Tsani mundur dua langkah.“Jika harus dengan bersujud di hadapanmu bisa membuat kamu memaafkan dosa-dosaku, akan aku lakukan selama apapun yan
Tsani dan Bu Rosi saling menatap. Ibu Rosi pun menggelengkan kepala. Mereka berdua sama-sama terherannya terhadap Melani yang berbicara seperti itu.“Melani, Sayang. Ayah Melani kan sudah pergi. Ayah Melani sudah bobok panjang, tidak mungkin bisa dipeluk sama Melani."Rayuan Tsani kali ini benar-benar kelewatan. Hatinya sudah termakan kebencian terhadap Bimo.“Yayah ada, Mah, Yayah ada ...” rengek Melani sambil menunjuk ruang tamu yang hanya berbatas satu tembok dengan kamar Tsani.“Sudah Melani, diam!” bentakan Tsani membuat Melani terkekeh dan menangis.“Mamah no no ayang Meyani ...,” tangis gadis bermata belo itu makin menjadi. Kini dia dipeluk oleh Bu Rosi.“Mbak, sudah. Jangan marah-marah, kasihan Melani,” ujar Bu Rosi sembari memeluk Melani.“Aku sudah tidak sudi, Bu jika lelaki itu menyusup lagi di kehidupan kami. Kami sudah sangat bahagia hanya hidup berdua saja, tetapi mengapa dia h
“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”Suara lelaki yang terdengar dari balik tembok pembatas ruang tamu dan teras. Hanya terdengar suaranya, tetapi sosoknya belum juga nampak. Semua mata tertuju ke arah sumber suara, seakan menantikan kemunculan lelaki tersebut.“Saya tidak merelakan cucu kesayangan saya diambil oleh anak saya sendiri,” ucap ulang lelaki itu.Kini sosoknya sudah terlihat. Lelaki paruh baya yang menggandeng wanitanya masuk ke rumah Tsani.“Papah, Mamah,” ucap Bimo dan Tsani bersamaan.Melihat kedatangan kedua orang tua Bimo, Pak RT, Bu Rosi dan Bu Farida serta Mita berpamitan pulang.“Sepertinya sudah saatnya saya permisi, Pak, Bu,” pamit Pak RT.“Silakan, Pak. Terima kasih sebelumnya sudah direpotkan atas masalah anak-anak kami,” sahut ayah Bimo.Sampai detik ini suasana rumah Tsani masih begitu tegang, bahkan le
Di malam hari setelah insiden yang sangat menguras emosi dan air mata itu berlalu, Tsani terlihat sangat murung. Tidak seperti malam-malam biasanya. Sebelumnya ibu satu anak ini tidak pernah absen membacakan buku dongeng untuk Melani sebagai penghantar tidur anak kesayangannya. Malam ini ia begitu kalut. Ia berada di satu persimpangan jalan mana yang harus ia pilih. Rujuk kembali atau mundur dari kehidupan Bimo.Luka trauma yang telah Bimo berikan masih begitu menancap dalam batinnya. Laki-laki yang ia harap bisa berubah setelah kehadiran putri pertama mereka, justru makin tidak bertanggung jawab. Tsani seakan kehilangan penopang dalam hidupnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya. Tsani harus bekerja keras untuk menyambung hidup bersama adiknya, Dendi. Sebelum akhirnya Tsani diminta untuk menikah dengan Bimo.Semenjak kericuhan di rumah Tsani, Bimo dan bayinya tinggal di rumah Papah Rusli. Terhitung sudah lima hari berlalu, hitungan yang sama pula kun
"Ternyata kau sudah bisa mengambil hati anakku, Mas!"Wanita berbadan ramping dengan tinggi semampai itu melempar tatapan dingin kepada Bimo yang kini tengah memeluk Melani."Bukankah Melani ini anakku juga, Tsan? Darah dagingku. Sudah sepatutnya seorang anak dekat dengan ayahnya. Terlebih dia anak perempuan, ayah kandungnyalah yang menjadi cinta pertamanya.""Jangan terlalu bangga hanya dengan meninggikan status seorang ayah kandung, Mas. Pasti Melani akan bisa memilih dengan siapa dia akan hidup jika nantinya keputusanku tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan.""Aku pastikan Melani tidak akan memikirkan hal tersulit dalam hidupnya. Kita akan bersama lagi. Aku yakin itu."Keyakinan Bimo begitu kuat. Dengan membuat Melani menjadi nyaman senyaman-nyamannya bersamanya, itu akan mempersulit Tsani untuk penolakan rujuk. Bimo begitu paham dengan Tsani, apapun akan dia lakukan untuk membuat orang yang ia sayangi merasa bahagia. Contohnya Tsani yang masih mau mengurus mertuanya yang s
Pyar!!!Suara pecahan terdengar dari ruang tamu, tempat Melani bermain boneka."Yayah ... akit ...."Tangisan Melani mengadu kesakitan membuat semua orang panik dan berhamburan ke luar dari kamar Bimo."Astaghfirullah, Melani ... kening kamu berdarah, Nak?" Kakek Melani panik."Tolong ambilkan kotak P3k, Mah. Cepat.""Iya, Pah."Mamah Astrid berlari mengambil kotak P3K di ruang tengah."Pah, ini apa?"Bimo menemukan sesuatu yang tergeletak tidak jauh dari posisi duduk Melani. Ternyata batu yang terbungkus kertas dengan tulisan yang berbau ancaman. "JAUHI TSANI!!! JIKA TIDAK INGIN MENERIMA TEROR YANG LEBIH MENGERIKAN LAGI!!!"Batu dengan ukuran cukup besar yang telah mendarat tepat di kening Melani hingga anak kecil itu berdarah dan menangis sejadi-jadinya."Isi tulisannya apa, Bim?" tanya Papah Rusli.“Seperti ancaman, Pah.”Bimo menyerahkan kertas kusut itu kepada papahnya."Siapa yang sudah berani meneror keluarga kita, Bim?""Bimo juga tidak tahu, Pah. Bentar Bimo cek dulu ke luar.
Sengaja Bimo pulang melewati jalan depan rumah Tsani. Jalan alternatif menuju perkotaan. Sekalian ingin memanggil tukang pasang CCTV yang kebetulan tetangga rumah Tsani.Mobil sudah terparkir di depan rumah jasa pasang dan service CCTV."Pak, lagi sibuk nih?"Bimo menyapa seorang laki-laki berumur 45 tahun yang sedang berkutat dengan laptopnya."Eh, Mas Bimo. Apa kabar? Sudah lama banget tidak bertemu. Sini-sini duduk."Warga di kampungnya memang banyak yang mengenal Bimo. Secara Bimo adalah anak orang terpandang dan dulu sewaktu masih bujangan Bimo juga sering bergaul dengan muda-mudi di kampung. Dari segi itu sudah bisa membuat Bimo terkenal, terlebih lagi dengan kasus rumah tangganya dengan Tsani satu tahun yang lalu. Kasus yang tidak bisa disembunyikan karena Tsani juga termauk gadis yang banyak dikenal warga sebab keramahannya."Kabar saya baik, Pak. Bapak sendiri bagaimana?""Alhamdulillah ... baik juga, Mas.""Alhamdulillah. Oh, ya, Pak. Nanti sore bisa ke rumah tidak? Saya mau
"Lancang kamu bicara seperti itu, Tsan!"Tangan Bimo seketika melayang di udara hampir mendarat ke pipi Tsani. Tinggal sejengkal lagi tato merah cap lima jari menempel di sana. Beruntung sekali, ada tangan malaikat tak bersayap datang di waktu yang tepat."Jangan pernah kasar kepada wanita, Bung!"Dengan cepat tangan kekar Bimo dicengkram erat lalu diputar ke belakang tubuhnya. Sampai ia meringis kesakitan. Bimo juga belum sempat melihat wajah sosok lelaki yang datang itu."Siapa Anda!" tanya Bimo kepada yang datang.Tsani yang merasa ketakutan, masih menutupi sebagian wajahnya. Selang beberapa detik Tsani angkat bicara."Pakdhe Tresno.""Kau sudah diapakan lagi sama orang ini Tsani?""A-aku baik-baik saja, Pakdhe. Beruntung Pakdhe datang tepat waktu," jawab Tsani sedikit lega.Lelaki brewok itu melepaskan genggamannya terhadap Bimo. Bimo masih merasa kesakitan. Cengkeraman erat Pakdhe Tresno sampai membekas merah melingkar di tangan kanan Bimo.Pakdhe Tresno adalah kakak dari ayah Ts