Tepat pukul dua belas siang Renata menyelesaikan laporannya, bertepatan dengan jam makan siang. Wanita itu menggerakkan tubuhnya pelan-pelan karena Naya masih tertidur di atas pangkuannya. Kali ini dia percaya dengan ucapan Naren jika memangku Naya membuat tubuhnya pegal-pegal, itu benar adanya.Renata bangun perlahan karena harus menyeimbangkan tubuhnya, baru setelah itu berjalan menuju sofa dan meletakkan Naya di atasnya. Wanita itu meregangkan tubuhnya yang hampir kaku, melemaskan otot-otot tubuhnya agar kembali rileks. Lain kali, dia akan menuruti ucapan Naren agar tidak pegal dua kali."Merawat anak memang tidak mudah, heuh bu Mirna pasti kesusahan selama ini karena merawat banyak anak." Ujarnya pada dirinya sendiri.Dan setelah ini dia akan merasakan apa yang sudah bu Mirna rasakan, merawat seorang putri kecil. Walaupun Renata sudah banyak membantu mengasuh adik-adik pantinya dulu, tetap saja rasanya akan berbeda. Tanggung jawabnya adalah sebagai seorang ibu, bukan sebagai seora
Sore harinya mereka pulang bersama, ketiganya berjalan beriringan dengan Naya di antara Renata dan Naren sembari menggandeng kedua tangan orang tuanya. Wajah gadis kecil itu terlihat berseri-seri karena tahu mulai hari ini mereka akan tinggal bersama. Setiap hari dia bisa melihat wajah Renata saat bangun tidur, sarapan bersama, berangkat ke sekolah diantar dan yang paling Naya tunggu-tunggu adalah meminta Renata untuk membacakan dongeng sebelum tidur.Kebersamaan mereka mengundang banyak pertanyaan, tak banyak dari pegawai perusahaan menatap mereka bingung. Bagaimana seorang pemilik perusahaan berjalan bersama seorang pegawai biasa? Apa sebenarnya hubungan mereka sehingga terlihat sangat dekat? Begitulah kira-kira pertanyaan yang ada di kepala. Hingga ketiganya melesat pergi dari perusahaan untuk pulang, semua orang masih membeku tak percaya. Seorang Naren, pulang bersama perempuan biasa."Besok kita daftarkan pernikahan ke kantor agama, minggu depan kita melangsungkan resepsi. Kau su
Lima belas menit perjalanan, mereka sampai di apartemen dan Renata langsung mengemasi pakaiannya. Beberapa barang yang menurutnya penting dan berharga, dimasukkan ke dalam satu koper besar. Barang-barang yang berukuran besar dia tinggalkan untuk dikemasi esok hari oleh orang suruhan Naren.Di apartemen Renata tidak begitu memiliki banyak barang. Selain karena kondisi apartemennya yang sempit dia juga harus menghemat uang untuk kebutuhan yang lebih penting. Mungkin barang-barang yang ada di dalam apartemennya juga sidah tersedia di rumah baru.Setelah di rasa cukup, kopernya juga sudah penuh, Renata keluar dari kamar. Menarik koper miliknya lalu menghampiri Naren dan Naya yang duduk di sofa menunggunya. Mulai hari ini dia akan pindah dan hidup bersama Naren, mereka akan berada dalam atap yang sama."Sudah selesai?" Naren mengalihkan pandangannya dari ponsel begitu menyadari ada suara koper yang ditarik. Melihat calon istrinya itu sepertinya telah selesai berkemas Naren segera beranjak
Renata sudah menyiapkan hati ketika akan datang ke mansion keluarga Naren. Wanita itu sudah siap dicaci-maki seperti sebelumnya. Dia percaya setidaknya Naren akan membelanya sebab yang memintanya untuk menjadi istri adalah Naren sendiri. Wanita itu sudah rapi dengan gaun sederhana berwarna cream, membuatnya terlihat lebih elegan. Dia juga sudah selesai memandikan dan mempercantik Naya. Mereka berdua bahkan terlihat lebih akrab sekarang. Naya benar-benar seperti menemukan sosok yang selama ini dia cari, sosok ibu yang akan merawatnya dengan begitu baik. Dengan rambut digerai dan satu jepit pita di sisi kanan, Naya terlihat lebih cantik dan imut. Keduanya keluar dari kamar setelah benar-benar selesai bersiap, menunggu Naren di ruang tamu karena lelaki itu belum menunjukkan batang hidungnya. Mungkin masih belum selesai bersiap, sebab kata Naya, Naren memang membutuhkan waktu yang lama untuk bersiap-siap. Kini jantung Renata berdetak lebih kencang, telapak tangannya bahkan sedikit ba
"Kalau tetap memaksa, setelah menikah aku harap calon istrimu itu tidak akan menginjakkan kaki di mansion. Aku tidak sudi melihat wajahnya." "Kalian pikir aku akan merestui begitu saja? Di dalam mimpipun tidak akan aku lakukan! Memang tidak pantas perempuan rendahan sepertimu bersanding dengan putraku yang hebat!" Nawes berujar dengan menekan kata 'calon istri' yang berarti merujuk pada Renata. Setelahnya, lelaki paruh baya itu meletakkan alat makannya dengan keras, hingga berdenting ketika mengenai dasar piring. Dia pergi begitu saja, meninggalkan semua orang yang masih berada di tempat masing-masing dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. "Renata, maafkan Papa Naren. Mama benar-benar minta maaf atas sikap Papa." Raut penyesalan justru datang dari Aldeis. Mata wanita yang telah berumur itu sedikit bekaca ketika menahan malu atas sikap kasar dan sombong suaminya. Namun, dia tidak bisa melakukan banyak hal, dia tidak bisa membela Renata ketika suaminya menghina calon menantu
“Satu, dua, tiga, empat, lima, tuk-tuk.” Renata melirik seorang gadis kecil yang berjalan di sebelahnya dengan cara melangkah satu persatu ke dalam kotak marmer sembari berhitung. “Enam, tujuh, delapan, tuk-tuk.” Renata tanpa sadar tersenyum saat anak kecil itu kembali berhitung dan berjalan mendahuluinya dengan cara yang masih sama, melangkah dengan hati-hati agar tidak menginjak garis. Dress selutut berwarna merah muda serta jepit rambut berwarna senada yang anak itu kenakan menambah kesan manis.“Dia terlihat menggemaskan.” Gumam Renata masih memperhatikan gadis kecil yang mulai menjauh dari jangkauannya.Sudah lebih dari 3 tahun Renata bekerja di perusahaan ini, berawal dari staff biasa hingga berhasil mendapat promosi dan diangkat sebagai kepala devisi personalia karena kinerjanya. Perempuan berusia 25 tahun itu melangkah dengan yakin, sesekali menyapa pekerja lain yang juga mengenalnya.Selain dikenal mumpuni saat bekerja Renata juga dikenal baik oleh orang disekitarnya. Sayangn
“Mama, jangan lepas pelukanku!” Naya masih terus memeluk Renata bahkan setelah mereka keluar dari cafetaria, gadis kecil itu sama sekali tidak memberinya celah untuk berpisah. Cekalan tangannya pada lengannya sangat kuat, Renata jadi kualahan sendiri karena Naya yang terus mengikuti kemanapun ia pergi."Mama, pelan-pelan dong kakiku kan kecil." Protes Naya karena Renata yang berjalan cepat. Perempuan itu menunduk hanya untuk mendapati bibir Naya yang merengut."Tolong lepaskan tanganmu, Naya, aku ingin kembali bekerja." "Tidak, aku mau ikut mama. Ayo ke ruangan mama, aku akan beristirahat disana." Renata menghela napas pasrah saat Naya menariknya agar kembali berjalan. Perempuan itu bahkan belum setuju untuk menjadi mama Naya tapi, balita itu seolah tidak peduli. Jujur saja Renata takut pada Naren, bagaimana nasibnya jika Naren tahu putri kesayangannya ikut dengannya. Renata takut dimarahi, sebab Naren selalu mengintimidasi siapapun yang sedang berhadapan dengannya."Naya, apa kamu
Pukul empat sore tepat, Renata menutup laptop serta merapikan berkas-berkas penting yang harus ia lanjutkan besok. Perempuan itu meregangkan badan karena terlalu lama duduk, dilihatnya Naya yang tertidur di atas sofa dengan ponsel miliknya yang menyala digenggaman.Renata meminjamkannya sebab Naya merengek kebosanan, tidak ada buku gambar, tidak ada buku cerita maka Naya meminjam ponsel untuk menonton kartun.Renata beranjak menghampiri Naya, melihat balita itu yang tidur nyenyak membuat Renata tidak tega membangunkannya. Anak manis yang sangat berbeda saat terbangun, terlihat begitu polos dengan wajah cantik jelita, Renata baru sadar jika Naya mirip dengan Narendra. Seperti Narendra versi perempuan.Renata meraih ponselnya untuk disimpan, lalu tanpa berpikir panjang menarik Naya agar anak itu tertidur dalam gendongannya. Renata tidak mungkin meninggalkan Naya sendirian di ruangan sebesar ini hingga Naren menjemputnya."Mama...." Gumam Naya saat tidurnya terusik, balita itu tanpa ragu