Jam 10 aku baru selesai mandi. Aku duduk lemas di kursi meja makan. Di atas meja makan sudah tersaji makanan yang kemarin ingin sekali aku makan. Sop buntut. Ya, satu panci sedang sop buntut sudah Farida masak. Namun, aku tak berselera.
Aku merogoh ponsel di saku celana jeans, lalu cepat mengaktifkan mode pesawat. Jangan sampai atasanku melihatku aktif di sosial media, sedangkan aku tak memberi kabar apapun hari ini tak masuk kerja.Tiba-tiba perutku meminta haknya untuk diisi. Aku lalu mengambl sedikit nasi dari magic com ke atas piring dan menuang sop buntutnya, itupun hanya sedikit.Aku lalu makan dengan tidak berselera. Masakan Farida yang selalu enak di lidahku, jadi tak terasa karena pikiranku gusar begini. Biasanya, aku paling lahap makan dengan sop buntut.Selesai makan, aku masih di meja makan. Tidak buru-buru beranjak. Aku bingung harus apa. Tiba-tiba Farida masuk ke dapur sambil membawa tabung gas melon. Ia lalu memasangkan regulator pada tabungnya.Cetrek! Kompor kembali menyala. Ia lalu melanjutkan menumis bumbu saos yang tadi belum selesai.Ternyata Farida sudah pandai memasang regulator sekarang. Aku hanya diam tak bicara apapun padanya. Aku masih tak habis pikir, Farida sekarang berani melawanku. Bahkan ia berani akan melayangkan tabung gas itu andai tak ingat dosa.Huh … inilah akibatnya jika dia masih dekat dengan si Mila. Farida-ku yang dulu penurut dan lembut kini ia selalu membantah dan galak.Selesai membuat bumbu saos, Farida kembali ke warungnya. Sementara aku, masih duduk di kursi meja makan. Beginilah kalau tak masuk kerja, bosan.Tiba-tiba aku terpikir untuk pergi keluar. Ya, daripada bosan lebih baik aku pergi saja. Aku ingin ke dataran tinggi yang sedang ramai di aplikasi huruf F. Dari rumahku membutuhkan waktu kurang lebih dua jam untuk sampai ke sana.Cepat aku beranjak, menuju kamarku dan memakai jaket. Memakai masker dan helm. Kemudian mengeluarkan motorku yang masih berada di dalam rumah.Saat mengeluarkan motor, di warung Farida tidak ada pembeli. Tapi, ia sibuk memasak. Di mejanya juga sudah berjejer bungkusan yang entah apa isinya."Dek, Mas mau keluar," ucapku begitu motor sudah berada di luar."Iya," jawabnya singkat. Ia masih sibuk dengan jualannya. Padahal di warungnya tidak ada pembeli."Kamu kok, sibuk banget. Gak ada yang beli padahal, Dek?" Aku bertanya heran."Kata siapa? Pelangganku udah pada kirim pesan ini, Mas!" jawabnya dari dalam warung.Aku melihat jam tanganku, sudah jam 11 siang. Biasanya melihatku pergi begini, Farida akan sangat cerewet. Dia akan bilang, Mas jangan kemana-mana mending bantuin aku. Mas mau kemana, jangan lama-lama, Mas. Mas pulangnya aku titip makanan ya, Mas.Tapi sekarang, ia malah sibuk menyiapkan pesanan pelanggannya. Cepat aku menyalakan motorku untuk menghangatkannya sebentar. Saat tengah menghangatkan motor, Jana datang dengan motornya. Pakaiannya pun rapi sekali, tidak seperti biasa saat sedang bekerja di bengkelnya."Eh, Ris, mau kemana?" tanyanya setelah menepikan motornya di depan rumahku."Keluar, Jan," jawabku."Gak kerja emang?" tanyanya lagi."Gak, Jan. Telat. Tumben lu ke sini, mau apa Jan?" tanyaku heran."Biasa, mau pesan sama Rida," jawabnya."Kok gak kirim pesan aja, Jan?""Soalnya banyak, Ris. Temen-temen motor gue mau main ke rumah, makanya bengkel gue tutup dulu ini," terangnya. Pantas saja pakaiannya rapi, ternyata mau ada teman-temannya."Jan, gue pergi dulu," ucapku."Oke, Ris. Hati-hati!" balasnya sambil menepuk pundakku.Aku lalu pergi dengan motorku. Setelah sampai ke jalan utama, kulihat bengkel Jana memang tutup. Karena ini adalah hari kerja maka jalanan pun cukup ramai.Aku melajukan motor nm*x putihku dengan kecepatan sedang. Motor yang kubeli cash tahun lalu dan membuatku merasa gagah saat mengendarainya.Setelah satu jam perjalanan, aku menepikan motorku di sebuah minimarket dan masuk ke dalamnya untuk membeli air mineral dan sedikit makanan ringan. Menurut komentar orang-orang di aplikasi huruf F, tempat yang akan ku datangi ini adalah tempat yang nyaman untuk bersantai.Selesai dari minimarket dan istirahat sebentar di atas motor. Aku melanjutkan perjalananku. Sekarang jalan yang kulewati cukup lengang.Beberapa menit lagi sampai, jalanan mulai menanjak. Kanan kiri jalan yang kulalui sudah terlihat pemandangan yang cukup indah.Setelah sampai, aku lalu memarkirkan motor dan menitipkan helm. Di lihat dari motor yang ada di tempat parkir, sepertinya tidak terlalu banyak pengunjung karena sekarang merupakan hari kerja.Aku berjalan memasuki kawasan pohon pinus. Udaranya sangat sejuk. Sampai di atas, aku memesan satu hammock. Aku melihat ke sekitar, ada beberapa pengunjung yang sedang berfoto-foto. Ada yang sedang menikmati mie instan dan minuman hangat di warung kopi. Tapi, mereka berpasangan. Sementara aku sendirian.Aku lalu duduk di atas hammock yang sudah kupesan. Menikmati makanan ringan yang tadi kubeli sambil menikmati pemandangan. Ah, indah sekali.Tempat yang nyaman untuk bersantai. Aku lalu mengeluarkan ponselku, masih dengan mode pesawat. Aku lalu membuka kamera. Melepas masker dan berfoto-foto. Kuperhatikan fotoku, memanglah aku ini tampan. Tak sia-sia aku merawat wajahku karena hasilnya wajahku sangat bersih. Tidak ada masalah di kulit wajahku.Setelah puas berfoto, aku lalu berbaring di atas hammock dengan kedua tanganku sebagai bantal.Aku menghirup udara dalam-dalam. Sejuk. Sejenak, aku lupa kegusaranku. Saking sejuknya di sini hingga membuatku merasa mengantuk.***Aku terbangun, kulihat jam tanganku, sudah jam 4 sore ternyata. Setelah sepenuhnya sadar aku lalu turun dari hammock. Gegas ke parkiran dan membayar sewa motor. Aku lalu mengendarai motorku untuk pulang kembali.Perjalanan pulang sedikit macet karena sore hari pasti berbarengan dengan orang yang pulang bekerja. Maka setengah tujuh malam, aku baru sampai.Ketika sudah berada di depan rumah, warung Farida setengah tutup. Cepat aku masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka."Assalamu'alaikum," ucapku."W*'alaikumsalam," jawab Farida yang sedang mencatat di kursi ruang tamu.Aku kemudian menghempaskan bobotku di kursi yang berada dihadapannya. Farida masih terus mencatat. Di samping buku catatannya, terdapat uang recehan yang lumayan banyak. Kemudian ia menghitung uang receh dan memasukkannya ke dalam dompet. "Mau kemana, Dek?" tanyaku saat Farida beranjak dari duduknya."Tutup warung," jawabnya sambil terus melangkah keluar rumah.Sebenarnya aku penasaran, berapa uang yang Farida dapatkan dalam sehari jualan. Baru tadi aku melihat Farida menghitung uangnya, ternyata lumayan banyak. Pantas saja ia bisa membeli motor bekas dan yang lainnya. Tapi, Farida tidak pernah mau memberi tahu berapa keuntungan jualannya.Terdengar Farida mengunci pintu warungnya, namun bukannya kembali ke rumah malah ia masuk ke rumah Mila.Hmm … aku sudah pulang begini, bukannya diperhatikan malah ditinggal. Apa ia tak mau tahu tadi aku pergi kemana?Sudah jam delapan malam. Aku duduk selonjoran sambil bersandar pada sandaran kasur di dalam kamar. Saat aku keluar dari dapur tadi, kudapati Farida sedang menyetrika pakaian sambil menyalakan televisi. Ditemani segelas minuman coklat dan biskuit.Aku mengambil ponselku dan mulai mengaktifkan datanya. Muncul pesan dari Malik.[Ris][Bro][Bapak lu ngamuk bro!]Bapak yang Malik maksud ialah Pak Mulyo, Kepala Administrasi, atasanku. Pastilah ngamuk, pekerjaan kemarin harus selesai hari ini aku malah tidak masuk. Hanya ada pesan dari Malik, tidak ada pesan apapun dari Farida. Bahkan sekadar menanyakan aku kemana saja, tidak.Aku lalu membuka galeri, melihat lagi foto-fotoku tadi siang. Bagus. Ingin sekali aku meng-uploadnya di status WhatsApp atau sosmed yang lain, tapi nanti bisa ketahuan kalau siang tadi aku pergi.Aku lalu berpindah ke aplikasi berhuruf F, ada satu pesan masuk. Dari akun bernama 'Mey Rindu'.Degh.Seketika hatiku berdegup. Apa mungkin pesan dari Rindu. Tapi seingatku,
Jam istirahat, aku makan siang di pantry area. Setelah menikah dengan Farida, aku selalu membawa bekal, tidak pernah lagi membeli makan di kantin pabrik. Aku menatap makananku tak bersemangat. Hilang nafsu makanku setelah diceramahi panjang lebar Pak Mulyo tadi."Ngapa itu muka, kusut bener!" ucap Santo yang datang bersama Malik. Mereka duduk di hadapanku.Sama sepertiku, Santo juga membawa bekal. Tapi kadang-kadang, ia masih suka jajan di kantin. Sedangkan Malik, dia kadang menitip masakan jadi pada Santo. Atau membeli makan siang di kantin pabrik. Begitulah nasibnya yang masih bujangan."Diamuk bapaknya, To!" Malik menjawab cepat."Gara-gara?" Santo bertanya penasaran."Kemaren gak masuk," jawab Malik."Gemblung! Kemaren kerjaan lagi banyak malah gak masuk. Rasain! Pantesan kemaren gue gak liat," ledek Santo.Aku mendecak. Bukan prihatin dengan keadaan temannya, malah asik meledek. Sial.Aku tak menanggapi mereka, hanya mengaduk-aduk makanan yang ada ada dalam wadah bekal.Santo me
"Dek, Bu RT mau apa malam-malam kemari?" Aku bertanya pada Farida. Ia sedang melepas kerudungnya di depan cermin meja rias. Sementara aku sedang bersandar di atas kasur."Oh, besok pagi aku diminta masak, cucunya mau syukuran ulang tahun." Farida menjawab sambil menyisir rambutnya yang hitam tebal."Cucunya yang mana?""Alisa.""Anaknya si Fahri?Farida mengangguk."Berapa tahun emangnya?""Satu tahun.""Dek, dulu si Fahri nikahnya beda seminggu dengan pernikahan kita. Tapi dia sudah lebih dulu punya anak.""Ya, udah waktunya, Mas.""Kita kapan ya, Dek, punya anaknya?"Farida tidak menjawab, masih menyisir rambutnya karena memang panjang. Ya, sudah dua tahun aku dan Farida menikah namun belum ada tanda-tanda Farida hamil."Dek …""Hmmm."Aku beranjak ke bibir ranjang, duduk di belakang Farida yang masih di depan cermin rias."Tanggung jawab, Dek," ujarku.Seketika Farida memutar badannya. "Tanggung jawab apa?"Aku menunjuk bibirku. "Nih!"Farida mengulum senyumnya. Kemudian ia berbali
Aku sampai rumah jam tujuh malam. Selesai mandi dan makan malam, kini aku duduk sendirian di atas kasur dalam kamarku. Farida sedang menonton televisi. Entah apa yang dia tonton, sampai tertawa-tawa.Pikiranku teringat kembali dengan kejadian tadi dengan Rindu. Ia menangis sesenggukan sambil memelukku, tapi tidak mengatakan apapun. Terkadang, wanita adalah makhluk yang paling sulit dimengerti. Mereka selalu mengatakan kalau lelaki adalah makhluk yang tidak peka. Mereka, para wanita, selalu ingin dimengerti oleh lelaki tanpa mereka katakan apa maunya.Mereka inginnya lelaki mengerti tanpa mereka ucapkan apa keinginannya. Apa mereka pikir, lelaki itu punya kemampuan menembus dan membaca hati wanita?Karena Rindu hanya terus menangis tanpa mengatakan apa pun, terpaksa aku mendorong tubuhnya agar tidak terus-menerus memelukku. Setelah berhasil melepaskan pelukannya, aku lalu menaiki motorku. Aku tinggalkan dia sendirian yang masih duduk.Hingga dia berteriak memanggilku yang berlalu de
"Dek, kamu beli mesin cuci?" tanya Mas Risfan, suamiku. Jam 7 malam, ia baru selesai mandi. Mungkin saat mandi tadi ia melihat ada mesin cuci di kamar mandi."Kredit, Mas," jawabku malas.Mas Risfan lalu menghempaskan bobotnya di hadapanku yang sedang menghitung uang hasil jualan hari ini."Mas, mana uang ganti paket waktu itu? Sampai sekarang belum diganti juga?" pintaku setelah selesai menghitung."Nanti, Dek. Uangmu itu masih banyak! Ditambah uang bulanan dari, Mas! Gak usahlah nagih-nagih uang yang cuma 150!" jawabnya enteng."Gak usah nagih gimana? Itu uangku, hasil jualanku, buat putar modal, Mas! Tapi sekarang aku butuh uangnya buat nambahin DP mesin cuci itu!" jelasku."Memang berapa DP nya?" tanyanya lagi."300 ribu, Mas, soalnya lagi ada promo. Uangku buat DP kurang 150, makanya cepat Mas ganti!" sahutku."Pakai uang yang ada dulu, Dek, apa susahnya? Mas juga sudah kasih uang bulanan, pakai itu dulu, Dek!"Aku mendelik. "Ini buat belanja lagi, Mas!""Kalau gak ada uangnya, b
POV Risfan———Kapan lagi kutulis untukmuTulisan tulisan indahku yang duluPernah warnai duniaPuisi terindahku hanya untukmuMungkinkah kau 'kan kembali lagiMenemaniku menulis lagiKita arungi bersamaPuisi terindahku hanya untuk...mu———Suara Malik sedang bernyanyi di iringi petikan gitar, membuatku dan Santo saling menoleh. Baru kali ini aku dan juga Santo mendengar suara Malik. Bagus juga ternyata suaranya.Minggu siang ini, aku dan Santo berniat ke rumahku untuk bermain Ps. Di tengah perjalanan menuju rumahku Santo memintaku untuk mengajak Malik sekalian."Suara lu bagus juga, Lik?" ucap Santo. Pintu kontrakan Malik yang terbuka membuatku dan Santo masuk begitu saja.Malik hanya tersenyum sambil menyimpan gitarnya."Tapi lagunya sedih, lu galau? Lu 'kan jomblo, mana ada jomblo galau?" Santo meledek."Terserah gue lah!""Emang lu galauin sapa, sih?" tanya Santo."Ya, galauin mantannya itu, To!" selaku."Daripada galau, mending lu ikut ke rumah si Risfan, kita tanding Ps!" ajak
"Dek, mau kemana?" Aku bertanya heran. Farida keluar kamar dengan membawa tas pakaian."Ke kampung, Mas," jawabnya."Loh, kok, mendadak? Memangnya ada apa?""Gak ada apa-apa, aku hanya rindu Emak sama Abah, Mas.""Tapi, Dek, ini sudah jam 8 malam, ke sana butuh waktu 4 jam, Mas juga belum izin kalo besok gak masuk ker—""Aku pulang sendiri, Mas!"Aku mengernyit. "Mana berani kamu, Dek?"Farida tak menggubris ucapanku."Dek, pulang besok saja, biar pagi-pagi Mas antar kamu ke terminal," ucapku lagi."Aku bisa sendiri, aku pergi dulu, Mas!" pamitnya seraya keluar.Aku hanya melongo di kursi ruang tamu. Tak seperti biasanya. Jika pergi, Farida selalu meminta izinku dan mencium tanganku, tapi barusan, ia pamit begitu saja. Bukan tak ingin mengejarnya, tapi aku lelah baru pulang dari pabrik karena ada lembur. Kenapa lagi istriku ini?Tiga hari Farida menutup warungnya, terakhir berjualan ialah hari Minggu saat Santo main ke rumah. Kuperhatikan tiga hari kebelakang, ia hanya meringkuk dalam
Aku mematikan layar komputer yang kupakai bekerja. Sudah jam 5 sore, waktunya pulang.Kucabut ponsel yang baru sempat di charge, setelah mati dari siang tadi. Kemudian mengaktifkannya dan kumasukkan ke dalam saku celana.Drrt! Drrt!Baru saja melangkah hendak meninggalkan ruang kerja, tiba-tiba ponsel dalam saku celana bergetar.Aku menghentikan langkah lalu merogoh ponsel. Kulihat, ada inbox masuk di akun F milikku. Rupanya aku belum mematikan data selulernya. Kemudian aku membuka aplikasi berlogo F itu, dan ternyata Rindu yang mengirim.pesan.Dia ini masih tidak berhenti mengejarku. Masih terus saja mengirimku pesan lewat aplikasi, padahal sudah jelas-jelas aku menolaknya tempo hari. Sekarang mengirim apa lagi dia ini?Aku coba membuka pesan yang dikirim olehnya. Mataku membelalak begitu melihat pesan yang dikirim Rindu.Rasanya sesak dadaku. Pesannya berupa sebuah foto yang menampilkan Farida sedang menangis di dada Malik, dan Malik memeluknya.Kuperhatikan foto ini dengan seksama