****Aku terbangun karena sinar matahari yang masuk dari celah jendela kamar Nita.Kukucek mata serta meregangkan seluruh otot tubuh, lalu setelah itu berjalan ke luar kamar."Ibu mau ke mana?" tanyaku padanya yang sudah bersiap ingin berangkat. Padahal menurutku ini masih sangat pagi "Mau ke sawah, Nak. Lihat tanaman Ibu," jawab Ibu lembut."Lho, Ibu masih kerja. Damar kan udah bilang, nggak usah kerja. Biar Damar aja yang kirimkan uang buat Ibu." Aku mencoba melarangnya untuk pergi."Nggak papa, Nak. Ibu kalo di rumah suka cape, tapi kalo berkebun rasanya tubuh Ibu lebih sehat. Sekalian nanti mau nyari tukang buat perbaiki dapur Ibu, ada yang bocor soalnya," ujar Ibu."Biar Damar aja yang panggilin, Ibu kasih tau aja alamatnya di mana atau mau langsung di renovasi aja rumah Ibu?" tanyaku padanya yang langsung mendapatkan gelengan."Jangan! Ini rumah peninggalan bapaknya Nita, Ibu nggak mau ada yang berubah. Soalnya cuma rumah ini satu-satunya kenangan dari Bapak." Aku melihat raut
"Video itu ... video itu tersebar dan Ibu sudah melihatnya," ucap Ibu. Ibu memejamkan mata, tapi air mata menetes membasahi wajah keriputnya.Video apa? Pikirku.Astaga!Aku baru ingat video saat Nita terjatuh dan aku tak menolongnya."I-itu ...." Ibu mendongak dapat kulihat sorot matanya yang kecewa.Aku benar-benar terdiam tanpa bicara sekarang. Rasanya tubuhku tak ada lagi pondasi yang bisa membantunya tetap berdiri."Maaf, Bu," jawabku singkat."Selamat pagi!" Suara Aryo memecah ketegangan yang sempat terjadi di antara aku dan Ibu."Pagi, Nak." Kulihat Ibu mengusap air matanya. Ia lalu tersenyum ramah menatap Aryo."Ibu masuk dulu, ya. Oh, ya terima kasih ya Nak Damar," ucap Ibu padaku.Aku lalu mengangguk sambil tersenyum canggung."Ngomong apa kalian tadi barusan?" tanya Aryo padaku."Video itu," ucapku."Video apa?"Aku lalu cepat menggelengkan kepala.Belum selesai masalah satu, hadir lagi masalah lainnya."Ayo bantu aku buat benerin genteng rumah Ibu," ucapku pada Aryo."Bene
Aku memukul stir mobil berkali-kali."Woy, woy! Sadar woy, kita lagi di jalan. Gua masih pengen hidup, gila!" bentak Aryo padaku."Gue pusing, bang***!!! Argh, Nita ke mana sih! Bisa gila gua lama-lama!" teriakku penuh emosi."Belum lagi gue harus berhadapan sama bokap nyokap!!! Pengen mati rasanya gua!" teriakku lagi di dalam mobil.Aku menambah kecepatan mobil."Stop, Mar. Lu nggak bisa kayak gini, sama aja lu lari dalam masalah! Bunuh diri nggak bakalan nyelesain masalah, Mar! Istighfar lu, Anj**!" teriak Aryo yang berpegangan erat pada pengamannya."Jangan ngelakuin hal konyol yang bisa membahayakan nyawa lu sendiri! Ini bukan cara yang bener okey!" Aryo mencoba menenangkanku.Aku yang sudah terlanjur emosi tak peduli dengan ucapannya.Ciiiitttttt!!!Aku mengerem mobil secara mendadak. Hampir saja mobil ini menabrak pembatas jalan.Hening terjadi beberapa saat di antara kami berdua, aku mengusap wajah dengan kasar. Ke kampung ini berniat menemukan Nita, tapi apa yang kudapat. Koso
"Jangan sampai setelah ini lu mikir mau minum racun, biar bisa bunuh diri secara perlahan." Arti berucap sambil menatapku tajam.Yakali aku mau bunuh diri hanya karena hal ini. Tentu saja tidak, seorang Damar tidak akan melakukan hal sebodoh itu dan tak akan pernah. Lagian Nita juga bukan separuh nyawaku. Toh, dari awal aku bilang aku tak pernah mencintainya.Ya, aku tidak mencintainya, batinku.Pandanganku lalu beralih menatap pepohonan yang berada di pinggir jalan."Dengar nggak lu!" celetuk Aryo."Gua nggak akan ngelakuin hal gi*la itu. Paham lu?" ujarku pada Aryo."Bagus deh, awas aja ya!" ancamnya lalu fokus dengan jalanan yang sangat sepi ini. Hanya terdengar suara jangkrik yang saling bersahutan."Kalo capek bilang aja, biar nanti kita gantian." Aryo diam tak menjawab, aku memilih untuk melihat pemandangan dari balik kaca mobil, hingga kantuk mulai menyerangku.****Entah berapa jam aku tertidur, Aryo sempat berkeluh kesah padaku.Katanya perjalanan ini terasa sangat lama, s
"Kalo dia emang ditakdirkan buat gua, sejauh apapun dia pergi. Pasti ujung-ujungnya bakalan balik lagi ke gua," ujarku yakin."Wisss, tambah bijak aja lu sekarang semenjak ditinggal sama Nita." Aryo tertawa setelah mengucapkan kata itu."Gua cuma pengen belajar dari kesalahan dan semoga saja saat gua nemuin dia, kita berdua masih bisa kembali bersama.""Gua mau jujur, Yo," ucapku padanya."Apa?""Kayaknya gua jatuh cinta deh sama Nita," ujarku sambil memegang dada mencoba memegang detak jantung yang tak beraturan."Bagus dong, giliran lu lagi yang ngejar-ngejar Nita. Gue harap itu bukan cuma di mulut aja deh," ucapnya."Enggak, ini beneran, Yo. Sehari tanpa memikirkan Nita, pikiran gua nggak karuan," ujarku jujur."Gue seneng kalo misalnya begitu." Aryo menjawab singkat, pandangannya tertuju pada anak perempuan yang menghampiri kami.Bukan Laras, tapi orang lain."Laras mana?" tanya Aryo langsung."Kak Laras lagi ke pasar, Kak. Di suruh Ibu belanja," ujar anak perempuan kecil itu."Oh
Sesal!Satu kata yang bisa menggambarkan hancurnya aku sekarang. Aku menyesal telah menyia-nyiakan seorang Anita Kumalasari. Gadis desa dengan segala tawa dan kasih sayangnya.Sekarang aku harus merasakan hukuman atas apa yang kulakukan selama ini terhadap Nita.****Kami sampai di rumah larut malam. Sama seperti saat sampai di rumah Ibu, hanya saja lebih lambat sampai ke kota karena kendala saat di perjalanan tadi. "Aduh, pinggang gua rasanya encok banget," ujar Aryo padaku. Aku tertawa melihatnya, kek dia aja yang paling capek "Sama aja sih sebenarnya, Yo, kelamaan duduk emang bikin pinggang terasa encok," tuturku singkat."Gelap banget rumah lu, kayak nggak ada orangnya. Mpok Wati ke mana?" tanya Aryo."Gua suruh libur selama gua pergi, mungkin besok beliau udah ke sini. Ya udah ayo masuk, gue mau cepat-cepat istirahat." Aku meregangkan otot-otot yang terasa kencang. Lalu mengambil kunci dari dalam tas dan langsung membuka rumah.Perutku sudah terasa kenyang karena makan masakan
Aku menoleh jam di dinding, ternyata sudah jam 7 pagi.Perasaanku mulai tak enak. Mimpi itu terus membayangiku, bahkan sekarang aku takut terjadi sesuatu padanya."Apa yang terjadi dengan Nita. Apa dia baik-baik saja," gumamku.Aku semakin merasa khawatir dengannya.Bergegas melangkahkan kaki untuk pergi mandi dan rencananya akan menghampiri Nita ke tokonya. Walaupun sebenarnya, aku yakin bahwa Nita tak ada di sana.Namun untuk memastikannya, aku harus menengok toko kue Nita terlebih dahulu. Siapa tau ada keajaiban di sana, dan aku tidak akan begitu khawatir lagi seperti saat ini."Damar!" teriak Aryo dari luar.Setelah selesai memakai pakaian, aku lalu membuka pintu kamar."Ada apa?" tanyaku padanya."Gua yang harusnya nanya. Lu kenapa teriak-teriak, gua sampai kaget dengarnya di kamar sebelah." Aryo menatapku dengan raut wajah khawatir. Layaknya kekhawatiran terhadap seorang adik."Nggak papa, gua tadi liat ... kecoa. Ya liat kecoa," ucapku sambil nyengir. Aku tak ingin menceritaka
Drrt ... drrt ... drrt!!!Ponselku berdering di sela-sela kami makan."Siapa?" tanya Aryo."Putri," jawabku singkat. Aku lalu mengangkat panggilannya.'Halo.' Terdengar suara dari seberang sana."Halo, apa benar ini nomor Putri, temannya Nita?" tanyaku.Hening beberapa saat, terdengar suara ribut di sana.'Ya, ini siapa, ya?' tanyanya lagi."Aku Damar, suami Nita. Boleh kita bertemu, ini tentang Nita," ucapku padanya.'Nita, kenapa Nita? Lu suami bia**b itu, 'kan. Lu apain lagi sahabat gue, hah!' teriaknya dari seberang sana. Teriakannya benar-benar memekakkan telinga, dia cewek tapi kok suaranya sangat bersemangat sekali."Justru itu, saya pengen ngajak kamu bertemu. Ini tentang Nita, aku perlu bantuanmu, bisa?" tanyaku lemah lembut.'Oke, kapan?' tanyanya."Kapan kamu tidak sibuk?" tanyaku lagi.'Nanti jam dua sore kita ketemu. Gue bakal kirim alamatnya ke nomor lu.'"Ok--"Tut!Ponsel dimatikan secara sepihak. Belum selesai aku berbicara, ia sudah lebih dahulu memutuskan panggilann