Share

MATI RASA!

[Kenapa nggak dibalas, takut kamu, hah!]

Lagi, Mbak Sarah mengirimkan pesan.

[Yang terpenting aku nggak mengedepankan gaya, padahal keuangan menipis. Aku nggak ngutang sana sini buat ngecukupin biaya hidup sosialita. Satu lagi yang penting aku nggak open B*!]

Setelah membalas pesan Mbak Sarah, aku langsung memblokir kontaknya. Kalo terus menyimpan yang ada aku juga ikut-ikutan tak waras seperti dia.

Bukan tanpa sebab aku bersikap tak baik pada mereka. Selama ini aku berupaya menjaga sikap pada mereka.

Namun sepertinya, sopanku selama ini sama sekali tak bernilai di mata mereka.

Lelah.

Itu yang selama ini aku rasakan.

Aku berusaha berbakti pada suami dan juga keluarganya. Namun yang kuterima bukanlah yang diharapkan.

Aku tau, kadang keinginan memang tak sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi, bolehkah kali ini aku memberontak sekali saja. Rasanya sudah cukup aku bertahan demi utuhnya sebuah keluarga.

[Alya, jangan lupa untuk kembali pulang. Di mana pun kamu melangkah, ingat tetap aku tujuanmu.]

Pesan dari Mas Andi masuk ke ponsel.

Hanya kubaca, hatiku tak tergerak untuk membalas pesannya.

[Aku tau kamu masih kesal denganku, it's ok! No problem. Tapi tolong ingat ada aku yang menunggu kehadiranmu,] tulisnya lagi.

Aku menatap pesan itu berulang kali.

Bullshit! Pesan yang dikirimkan Mas Andi adalah kata-kata yang hanya terucap dari mulut bukan perasaan.

Andai waktu dapat kuputar, tak ingin aku berdiri di tengah-tengah orang yang tak pernah mengharapkanku.

Menyesal?

Tidak! Aku hanya bisa menghela napas dan mengembuskannya. Aku percaya tiap yang kulalui adalah sebuah pelajaran berharga. Sudah takdir yang harus kuakui bahwa itu adalah milik kuasa diriku. Jadi, tak akan ada kata menyesal.

Aku hanya berandai-andai, salah satunya andai dulu tak pernah menaruh pada lelaki yang tak tau bagaimana harusnya berlaku adil antara istri dan keluarga.

Aku mematikan data seluler, lalu memilih untuk merebahkan diri di kamar yang bernuansa hitam ini.

Aku menyukai warna hitam, bulan dan juga senja.

Jika ditanya mengapa?

Aku hanya bisa menjawab, mereka adalah teman di kala aku sendirian. Seperti senja yang akan pergi, tapi dia berjanji besok akan kembali lagi.

Aku tidak suka pelangi? Walaupun terlihat indah, tapi di dalamnya hanya ada kepuasaan sekejap. Buktinya, dia hanya datang saat ada tetesan air di udara. Dia tak pernah berjanji agar bisa muncul setiap saat.

Aku membuka tirai jendela, di sana nampak bulan separuh.

Kupandangi dengan seksama, lalu tersenyum.

"Bulan, terima kasih selalu ada. Tolong temani aku malam ini, rasanya hati ini sangat sakit." Kuremas dadaku pelan, ada sakit yang tak dapat tergambang. Ada luka yang tak nampak dan ada rasa yang perlahan mulai tiada.

Tok! Tok! Tok!

Bunyi ketukan pintu membuyarkan kesedihanku.

"Kak Alya," panggil Aini dari luar kamar.

"Masuk saja, Dek. Pintunya tidak dikunci," ucapku pada Aini.

Krieet!

Bunyi pintu dibuka.

"Mbak Alya belum tidur, sudah malam. Kata Ayah jangan begadang," ucap Aina lalu duduk di sebelahku.

"Belum bisa tidur, Dek. Kamu sendiri kenapa belum tidur?" tanyaku padanya.

"Ada banyak hal yang ingin kuutarakan, Mbak." Aini menatapku sebentar.

"Kita dulu nggak secanggung ini ya, Kak. Semenjak Kakak menikah, Aini sudah jarang bertemu dengan Kak Alya," ucapnya pandangan Aini jauh menerawang.

"Aini selama ini menahan rindu dengan Kakak, Ayah juga." Tanpa sadar mataku berkaca-kaca.

"Bahkan sekadar menelepon pun sangat susah, Aini pikir Kakak sudah tak ingat lagi. Bahwa ada keluarga yang menunggu kehadiran Kakak," ujarnya lagi.

Aku hanya terdiam, mendengarkan keluh kesahnya yang tersimpan selama bertahun-tahun.

"Mungkin Kakak pikir dengan mengirimkan uang setiap bulannya, akan mengurangi rasa rindu Aini dan Ayah pada Kakak." Aini mulai terisak, aku sebisa mungkin untuk tidak menangis.

"Ayah setiap malam selalu bertanya, Nduk, kakakmu ndak pulang, ya. Kok Ayah rasanya rindu sekali."

"Kakak nggak tau, gimana rasanya Aini menangis setiap malam. Kita udah nggak punya Ibu, Kak, kita cuma punya Ayah, tapi Kakak seolah-olah nggak lagi tau bahwa kami masih ada." Aku langsung memeluk Aini, tubuhnya bergetar hebat.

"Aini selalu nangis lihat Ayah ngomong sendiri, natap foto ibu dan Kakak. Aini paham bahwa ayah sangat-sangat rindu dengan kalian," ucapnya sesegukkan.

"Maafin Kakak, Dek. Ada banyak alasan yang nggak bisa Kakak sampaikan, ada banyak hal yang harus kakak sembunyikan!"

"Kenapa?!" ucapnya dengan nada marah.

"Karena Kakak nggak mau merepotkan kalian, Kakak selama ini juga menahan rindu dengan kalian. Tapi kamu tau kan, Kakak udah punya suami. Dan surga Kakak ada pada suami Kakak," ucapku lembut.

"Walaupun begitu! Bukan berarti Bang Andi berhak menjauhkan Kakak dari keluarga sendiri!" ucapnya penuh penekanan.

"Kakak minta maaf, Dek! Kakak sadar selama ini orang yang benar-benar tulus menyayangi Kakak adalah keluarga sendiri." Aku memeluknya kembali.

Kami menangis bersama.

"Jangan kayak gitu lagi ya, Kak. Jangan pergi begitu lama, Aini nggak kuat nahan rindu. Sekarang cuma ada kita berdua yang bisa menjaga Ayah," ucapnya pelan tapi terasa menyayat.

"Iya, Sayang."

Lama kami menumpahkan rasa rindu, setelah merasa mengantuk. Aku dan Aini langsung tidur.

*

Pagi harinya saat terbangun aku tak sempat memeriksa ponsel. Selesai salat subuh, aku memasak untuk Ayah. Tentunya memasak makanan kesukaan Ayah bersama dengan Aini.

Setelah selesai, aku bergegas mandi.

Drrrt ... drrttt ... drrrt.

Bunyi ponsel mengalihkan kegiatanku.

Ada dua puluh delapan panggilan tak terjawab dari orang yang sama, yaitu Mas Andi.

Ada 13 pesan tak terbaca olehku.

[Selamat pagi, Dek!]

[Aku merindukanmu, tidakkah kamu merasakan rinduku!]

[Tolong jangan marah lama-lama aku tak kuat menahan rindu ini!]

[Dek!]

Dan masih banyak lagi pesannya yang membuat isi perut ingin ke luar.

Sudah kubilang, aku sudah mati rasa pada Mas Andi dan keluarganya. Jadi jangan harap aku akan luluh seperti dahulu lagi.

[Berhenti menggangguku! Ingat, sebentar lagi surat cerai aku meluncur ke rumahmu!] tulisku lalu bergegas mematikan ponsel.

Aku sengaja tak memblokir nomor Mas Andi, saat aku bahagia aku akan menampilkan kebahagiaanku.

Seandainya dia datang ke rumah meminta kembali, aku akan menolaknya. Hati ini bisa memaafkan, tapi jangan harap aku mudah melupakan segala perlakuan mereka padaku.

Mereka harus tau itu!

-

-

-

Next?

Terima kasih semuanya🥰🥰🥰. Jangan lupa subscribe, like, komen, ya. 🥰🥰🥰

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status