Aku menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang pada nama Zainab. Sikap dan tingkahnya tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat semenjak pulang dari kampus. Dia tidak seperti Zainab yang kukenal dua bulan terakhir ini.
"Nanti, Bapak mau aku masakin apa? Di rumah masih komplet bahan makanannya." Zainab terus menggamit lenganku hingga sampai di tempat parkir. Aku yang seharusnya senang, tapi nyatanya aku malah merasa risih karena banyak pasang mata yang memandang aneh dan penuh selidik. Kemudian, terlihat mereka saling kasak-kusuk dengan orang di sebelahnya. Aku tidak ingin jika nama Zainab menjadi gunjingan di kalangan mahasiswa karena dituduh mendekati dosennya untuk mendapat nilai sempurna. Namun, berita akan berbalik jika mereka tahu kami sudah menikah. Entah aku atau Zainab yang akan mendapat image buruk. Hingga tanpa sadar, perkataan yang tidak semestinya terlontar. "Aku gak suka dengan sikapmu yang seperti ini. SepertiHari ini genap dua bulan pernikahan tak terencana itu. Dan lebih tepatnya satu pekan setelah Zainab keluar dari rumah sakit. Aku mengajak Zainab untuk makan malam di luar. Candle light dinner istilahnya. Gaun warna hijau muda dipadu jilbab pasmina warna senada membuat wajah Zainab yang baby face itu tampak lebih dewasa. Cantik.Aku sampai terpana saat melihatnya keluar dari salon. Meskipun make up yang diaplikasikan di wajahnya tidak begitu tebal, istri kecilku itu tampak sangat anggun dan memesona. Dia sebenarnya tidak mau memakai make up. Tidak biasa katanya. Namun, demi menuruti perintahku, Zainab menekan egonya."Tapi jangan tebal-tebal!" pintanya dengan raut muka sedikit masam.Sebuah hotel yang cukup terkenal di kota ini menjadi tujuanku. Satu kamar dengan dekorasi indah di lantai sepuluh sudah kupesan secara khusus. Bahkan, aku meminta untuk membuatkan makan malam istimewa di balkon kamar. Aku ingin membuat satu hari istimewa untuk Zainab kare
Aku terkejut pada respon Zainab yang biasa saja saat kuperlihatkan berita miring yang sedang beredar di kampus. Dia malah tertawa kecil di hadapanku. Padahal, berita ini pasti akan menjatuhkan image-ku sebagai dosen yang biasanya cukup disegani oleh para mahasiswa.Namun, Zainab sepertinya tidak mengerti kegelisahanku. Sebentar lagi, pasti akan ada telepon dari Pak Syamsul selaku rektor di kampus.Tamatlah riwayatku!"Mas Idan gak perlu takut. Kita kan, sudah menikah. Kita tinggal bawa bukti surat nikah kita, dan semua beres," jawab Zainab enteng."Aku tahu itu, Za. Namun, bagaimana dengan persepsi mereka saat melihat pernikahan kita dengan usia yang terpaut cukup jauh. Bahkan, mereka pasti mengira kalau kita menyembunyikan pernikahan ini karena ada aib.""Katanya dosen bahasa dan sastra, tapi kok, gak bisa merangkai kata?" balas Zainab.Mati aku! Kenapa Zainab malah memojokkanku seperti itu? Dia sama sekali tidak takut dengan masalah yang s
Aku dan Zainab sekarang berada di ruang redaksi majalah kampus yang berisi mahasiwa jurusan jurnalistik. Kami layaknya tahanan yang diinterogasi karena melakukan tindakan kriminal. Menyebalkan!Seorang mahasiswa yang belakangan mendekati Zainab juga ada di ruangan ini. Tatapan matanya tampak sinis memandangku."Ham, lo potoin Pak Zaidan sama Zainab!" perintah salah satu mahasiswa yang tadi mewawancaraiku dan Zainab.Aku dan Zainab diminta memegang surat nikah kami di depan dada lalu difoto oleh mahasiswa yang selalu dipanggil 'Ham'.Setelah masalah berita hoax di kampus itu tuntas, aku berencana mengajak Zainab untuk mengunjungi Ibu. Sudah satu bulan ini aku tidak pernah mengunjunginya. Tidak tega juga rasanya membiarkannya hidup sendirian di usia senja. Sekaligus meminta restu agar aku bisa dengan terang-terangan mengatakan pada dunia kalau Zainab adalah istriku."Za, karena hari ini tidak ada kelas, aku mau nengok Ibu sebentar, ya. Nant
Setelah status pernikahanku dan Zainab terbongkar, kami tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi saat bertemu di kampus. Meskipun tetap ada yang tidak suka, tapi lebih banyak yang mulai mendekati Zainab.Eits, tapi tunggu dulu! Aku sudah berpesan pada istri kecilku itu untuk menjaga jarak jika dengan laki-laki. Dan dia juga paham."Mas Idan tenang saja. Aku tidak akan tergoda dengan laki-laki lain karena suamiku lebih menggoda," ucapnya suatu malam.Untungnya, kebanyakan yang mendekati Zainab adalah perempuan. Jadi, aku tidak perlu terlalu khawatir. Namun, mereka juga ga punya maksud tersembunyi pastinya. Mendekati Zainab untuk menarik simpatiku. Tahu sendirilah niat mahasiswa yang mendekati istri dosennya.Satu bulan terlewat sejak terakhir aku datang ke rumah Ibu. Sebenarnya, aku ingin sekali menemui Ibu, tapi sekarang ada Maira yang sengaja diminta tinggal di sana. Katanya, dia diminta untuk mengajar lagi di SMA yang tempatnya bekerja dulu.&n
"Zaidan masuk rumah sakit. Kalau bisa, kamu segera menyusulnya ke Bandung."Ucapan Pak Handoko membuat rasa khawatirku tak terkendali. Ada apa dengan Mas Zaidan?Tanpa pikir panjang, aku langsung berpamitan dan meninggalkan teman-teman mahasiswa yang sedang berdiskusi untuk tugas kelompok matakuliah leksikografi yang diampu oleh Bu Mery."Kamu mau ke mana, Za?" tanya Elisa."Pak Zaidan masuk rumah sakit. Aku mau nyusul ke Bandung," jawabku setengah berteriak. Kemudian, melanjutkan langkah menuju halte di depan kampus untuk mencari angkutan umum. Aku akan ke Bandung naik kereta.Perjalanan sekitar tiga jam terasa sangat lama bagiku karena tidak ada satu orang pun bisa dihubungi untuk sekadar menanyakan kabar Mas Zaidan. Pak Handoko hanya bilang kalau Mas Zaidan belum sadar sejak ditemukan pingsan di kamar sekitar pukul satu siang dan beliau baru memberiku kabar pukul tiga sore.Menjelang Magrib aku sampai di Rumah sakit temp
Aku tahu kalau kekecewaan Zainab cukup besar karena peristiwa di Bandung itu. Aku tidak mengajaknya, tapi ada Maira yang menemani.Bukan mauku. Bahkan, aku tidak tahu sama sekali kalau Maira ikut dalam acara seminar dan bedah buku itu."Kamu itu teman atau lawan sebenarnya, Han? Kamu sengaja mau membuat rumah tanggaku dengan Zainab hancur? Aku gak nyangka kalau kamu bisa melakukan hal itu sama aku, Han. Katanya teman, tapi menusuk dari belakang," cecarku pada Handoko yang baru saja masuk ke ruang dosen."Aku gak bermaksud merusak rumah tanggamu, Dan. Maira datang ke rumahku. Dia nangis-nangis di depanku sama istriku." Handoko menghela napas kasar."Maira memohon buat bisa ketemu kamu, tapi tanpa istrimu. Aku juga bingung, Dan. Aku cuma kasihan sama Maira. Dia--.""Sudahlah, Han! Aku gak mau bahas soal dia." Kusela perkataan Handoko."Jangan egois kamu, Dan! Seenaknya saja membuat anak orang patah hati dan gak mau meluruskan secara baik
Aku tergemap. Seseorang tiba-tiba memelukku dari belakang saat akan membuka pagar depan rumah. Awalnya, kukira Zainab yang melakukannya. Namun, saat aku menoleh, ternyata Maira yang melingkarkan kedua tangan di perutku.Aku melihat ke arah mobil yang masih menyala. Zainab masih duduk di dalam mobil dan memandangku dengan tatapan yang tak mampu kujabarkan. Pastinya dia marah dan kecewa.Kucoba menyingkirkan tangan Maira berulang kali, tapi berulang kali pula dia kembali memelukku. Bahkan, semakin erat."Lepas, Ra!" bentakku."Aku rela jadi yang kedua, Mas. Tolong jangan putuskan hubungan kita!" ucapnya mengiba.Kulihat Zainab sudah keluar dari mobil. Dia berdiri sambil memegang pintu mobil yang terbuka. Tercetak jelas bekas air mata yang menetes di pipinya. Zainab tidak bersuara sedikit pun. Dia berjalan melewatiku, membuka pintu pagar, dan melanjutkan langkah. Dia masuk ke rumah setelah memutar anak kunci."Kamu gila, Ra!"
Zainab menggeleng saat aku masih bertanya tentang benda apa yang dia tunjukkan. Aku memang tidak tahu, tapi wajahnya berubah kesal."Ini apa, Za?"Zainab mencebik, meletakkan benda yang tadi digenggamnya di meja dengan kasar. "Mas cari aja di Google. Aku mau mandi dulu."Lha, kenapa dia marah? Kan, aku memang tidak tahu."Za! Aku beneran gak tahu.""Mas Idan ini katanya dosen, tapi wawasannya kurang luas. Jadi suami juga gak pernah peka," ucapnya lagi sebelum menutup pintu kamar dengan kencang.Sabar, Zaidan. Mungkin memang aku yang kurang peka. Apalagi kepala dan perut yang sakit ini membuatku tidak bisa berpikir sama sekali.Kuraih benda kecil panjang yang di meja. Benda apa ini? Kenapa Zainab tidak langsung bilang saja?Aku mendesah, lalu mengambil ponsel Zainab yang ada di meja. Mencari tahu benda apa yang membuat Zainab marah karena aku tidak mengetahuinya.Kuketik pada pencarian Google "benda keci