"Kamu yakin dengan ucapanmu Anin?"
"Tentu yakin mas. Jika Albana kamu akui sebagai anak, nanti jika ada yang kesini lagi aku tak perlu menyembunyikan Albana. Jika dia bersamaku, maka akan aku bilang itu anak angkatmu."
"Sebentar, sebentar. Apa maksudnya ini? aku masih binggung."
"Jadi mas Fajar mengadopsi Albana, bilang semua orang disini untuk menjawab jika Albana adalah anakmu kalau ada orang baru yang bertanya. Birakan Albana memanggilmu Abi."
"Jadi kamu ingin aku mengangkat Albana sebagai putra, bukan menikahimu?"
"Bukanlah mas, aku kan gak bilang gitu."
"Tapi kan kalian satu paket, jika aku menikah denganmu maka Albana otomatis jadi anakku. Jika Albana jadi anakku, otomatis kamu jadi istriku. Begitu kan, makanya tadi saat kamu bilang jadilah abi Albana kupikir kamu sudah mau jadi istriku. Ck kamu PHP Anin."
"Ih kok PHP sih mas, kamu aja yang salah mengartikan."
"Ya sudah gak usah berdebat, aku kasih tahu ya ... di pesantre
Even mengemasi apartemen miliknya, furniture ditutup dengan kain berwarna putih untuk menghindari debu menempel di sana, sepertinya dia akan meninggalkan tempat itu dalam waktu yang lama. Mengawasi pembuatan masjid sekaligus gedung universitas pasti memerlukan waktu yang tidak sebentar.Setelah lelah mencari informasi tentang istrinya, dia mencari juga laki-laki yang ada di vidio bersama Anin kala itu. Vidio yang membuatnya mengambil keputusan yang disesali seumur hidupnya.Semua informasi dia dapatkan dari orang kepercayaannya, feeling-nya mengatakan jika laki-laki itu mungkin saja memanipulasi video itu jadi Evan enggan menemuinya secara langsung hanya menyuruh orang memaksa laki-laki itu membuka mulutnya. Dia enggan bertemu langsung karena takut tidak bisa mengendalikan dirinya dan membunuhnya.Menurut orang kepercayaannya, laki-laki itu memang sengaja memancing percakapan agar Anin mengatakan ji
Albana keluar rumah dalam gendongan Anin. Seperti kebanyakan ibu lainnya, Anin lebih protektif pada anaknya. Takut jatuhlah, takut ini itu dan lain-lain."Abi ...." Albana memekik dan meronta turun dari gendongan bundanya kemudian lari ke pelukan Fajar."Abi kangen," ucap Fajar sambil mencium pipi mulus Albana dan dibalas dengan pelukan oleh bocah mungil itu."Mas Fajar, sampai sini kapan?" tanya Anin."Tadi menjelang subuh," jawab Fajar. "Albana ku bawa ya, gak usah dititipkan ke day care. Hari ini aku masih belum ngajar," ucap Fajar"Emang enggak capek mas habis berkendara? kok mau jagain Albana segala.""Enggak kan ada temannya gantian nyupir. Eh iya kenalin ini ...." Fajar clingak-clinguk mencari Evan."Lah, kemana tuh orang?""Siapa?" tanya Anin"Temanku tadi dia ikutan kesini tapi kok tau-tau i
"Kalau kamu jadi mantan suaminya apa yang akan kamu lakukan?" tanya Evan"Kalau aku tidak akan pernah membuatnya menjadi mantan istriku. Sekali dia kunikahi maka akan selamanya kupertahankan," jawab Fajar mantap."Bukan begitu maksudnya, misalkan kamu berada dalam posisi laki-laki yang membuatnya menjadi seperti itu," ucap Evan menegaskan."Kalau aku yaa tidak akan pernah kulakukan," kukuh Fajar. "Kau tahu, pernikahan adalah suatu yang sakral, perjanjian agung dengan Allah. Mana boleh di buat mainan, habis nikah dicerai setelah digauli. Niat awal ingin menghancurkan, laki-laki macam apa yang bisa berbuat seperti itu pada wanita yang dicintainya. Apa kamu tidak merasa kasian dengan mereka, Albanna tidak pernah melihat ayahnya sejak lahir. Anin, bundanya pun tidak pernah didampingi suaminya saat hamil dan melahirkan. Bahkan aku tidak yakin laki-laki itu tahu benihnya sudah tumbuh sebesar ini."
"Kemana biasanya kalian bermain mas!" pekik Anin lagi. Dia masih terus mengguncang tangan Fajar yang masih termangu tidak memahami situasi."Mas Fajar!" Anin memangil namanya sambil menarik tangannya kembali."I-iya, kami biasa bermain dirumahku," jawab Fajar tergagap.Tanpa menunggu fajar yang masih tercenung Anin berlari ke arah rumah Fajar seperti orang kesetanan. Fajar segera tersadar saat Anin sudah tidak ada di hadapannya, dia mengejar Anin dan meneriakkan namanya.Anin yang sudah ketakutan akan kehilangan Albana tidak peduli dengan panggilan Fajar. Dia trus berlari tanpa peduli keadaan, sepatu yang membuatnya kesulitan berlari pun dilepasnya dan di jinjing begitu saja.Sesampainya didepan rumah Fajar, dia mendengar gelak tawa Albanna terdengar nyaring dari luar rumah. Anin berhenti sebentar untuk mengatur nafasnya yang memburu, mengisi paru-parunya yang terasa kosong. Detak jantungnya begitu keras terdengar ditelinganya sendiri karena
"Assalamu'alaikum ...." Terdengar suara salam dari halaman rumah Fajar."Wa'alaikumsalam ...." Sahut Fajar dan Evan berbarengan, mereka baru saja masuk ke dalam rumah selepas salat Maghrib.Fajar segera membuka pintu rumahnya dan menengok tamunya, sepertinya dia sangat familiar dengan suara itu."Akhi Adit, silahkan masuk." Fajar mempersilahkan tamunya juga kawannya itu masuk kedalam rumah.Abdullah Aditiya Hakim, nama temannya yang dulu sama-sama kuliah di Mesir sekaligus putra pimpinan pesantren tersebut kadang dipanggil Abdullah, kadang Aditya tapi Fajar suka memanggilnya Adit. Sedangkan Hakim adalah nama belakang Abahnya"Habis jama'ah dicari langsung tidak ada, taunya sudah pulang aja," ucap Aditya sambil mendaratkan pantatnya di kursi."Ada apa, tumben nyariin?" tanya Fajar."Habis Maghrib langsung ke rumah ya, Abah pengen bicara dengan kalian berdua." Aditya langsung menjelaskan maksud dan tujuannya datang.Fajar d
"Sembarang aja kalau ngomong," bisik Fajar sambil menyikut badan Evan.Kyai Lukman tersenyum dan tetap memperlihatkan wajahnya yang tenang."Insyaallah nak Anin masih bisa disini kok, tidak akan di suruh pergi. Dan nak Evan saya harap tetap mengawasi proyek pembangunan sesuai kesepakatan hingga selesai. Saya tidak akan ikut campur masalah kalian berdua karena itu ranah pribadi, tapi saya harap nak Anin maupun nak Evan tetap tahu batasan. Kalian bukan lagi suami istri dan kalian tinggal di tempat yang memiliki aturan, jadi kalian harus mematuhinya," tutur kyai Lukman panjang lebar."Terimakasih Abah," ucap Anin."Saya harap dilain waktu tidak akan terjadi hal-hal yang mengundang tanya banyak orang," lanjut kyai Lukman."Baik Abah," jawab mereka bertiga berbarengan."Sekarang kalian boleh kembali ke tempat kalian masing-masing."
Evan Tercenung di dalam masjid yang berada diluar pesantren, niatannya untuk bertemu dengan kyai Lukman belum juga terealisasi karena kesibukan beliau yang membuatnya tidak berada di rumahnya beberapa hari ini.Keinginannya untuk bisa segera bersama dengan mantan istrinya begitu kuat hingga membuatnya sering termenung dan melamun dimanapun berada. Apa lagi saat ini pekerjaannya di proyek pembangunan itu mulai berkurang."Sepertinya mas lagi banyak masalah ya," sapa seseorang yang tiba-tiba saja hadir di belakang Evan yang tengah melamun di halaman masjid."Ah, enggak juga pak.""Tapi kok melamun di masjid sih mas," tanyanya lagi sambil ikut duduk di samping Evan."Saya Evan, maaf bapak siapa?" ucap Evan memperkenalkan dirinya."Nama saya Fikri mas Evan, panggilan saja mas juga. Kita sepertinya seumuran.""Mas Fikri orang sini?" tanya Evan."Bukan mas, kebetulan saja saya lewat sini dan numpang salat. Mas
"Evan, kamu kenapa?" tanya Fajar sambil fokus menyetir.Fajar makin merasa aneh dengan tingkah laku Evan, tampak lebih kalem dan mengendalikan diri."Aku tidak apa-apa fokuslah menyetir," jawab Evan sambil tetap memejamkan matanya."Tapi kamu aneh!" tukas Fajar."Aku sedang menikmati rasa sakit dari kesalahan yang dulu kulakukan, biarkan aku tidur. Setidaknya saat aku tidur, aku tidak merasakannya lagi. Fokuslah membawaku pada tujuan, bangunkan jika sudah sampai.""Kau ...." Fajar tidak menyelesaikan kalimatnya.Dia ingin mendebat sahabatnya itu, yang sesuka hati memerintahnya seperti supirnya saja. Tapi melihat Evan yang sepertinya dalam keadaan tidak baik-baik saja, memilih untuk diam dan fokus menyetir. Fajar hanya penasaran dengan apa yang terjadi pada temannya itu.Meskipun Fajar mengatakan jika mereka adalah saingan, tapi bersaing dengan orang yang tidak punya semangat seperti ini mana seru. Berbagai pertanyaan berke