Bola mata hitam Lea melebar karena terbelalak kaget."Pak Vin. Sebelum surat kontak itu kita tanda tangani, saya ingin tegaskan sesuatu.""Perutku mual. Jangan nambahi beban pikiranku. Memangnya kamu mau apa?"Lea hela napas panjang terlebih dahulu sebelum memulai berbicara lagi. Lea berpikir, beberapa hal harus sudah dia bicarakan dengan Vin, sebelum mereka kembali ke Indonesia."Saya berjanji akan mengikuti aturan yang bapak berikan, dan juga berusaha jadi istri kontrak yang baik, tapi..""Tapi apa?""Malam kemarin...bagi kita haruslah...malam pertama dan jadi malam terakhir. Saya--""Hei, dengar ya," potong Vin tak mau kalah. "Siapa yang mau minta malam kemarin itu berulang? Tentu itu bukan dari aku.""Maksud saya seperti itu, dan tentu bukan dari saya juga," perjelas Lea takut menyakiti."Ya sudah. What's the problem? Aku cuma bercanda...sialan!"Lea pasang kacamatanya, di sertai kerutan di dahi."Ke kenapa, pak?" Tak ada jawaban dari Vin, panggilan pun tiba-tiba di tutup, membu
Wanita mana yang tak akan tersinggung, bila penilaian akan penampilannya mendapatkan kesimpulan tak baik, terutama di utarakan secara langsung di hadapannya."Kurang menarik ya, pak?" tanya Lea bergetar.Tetesan air dari perasan kain berbahan handuk dan berukuran kecil itu jadi pengisi keheningan ruang TV, penthouse milik Vin untuk beberapa detik lamanya. "Bukan lagi kurang menarik, tapi memang nggak menarik," sahut Vin dingin.Vin lantas membuang muka ke samping. Kelambu berisi air terlihat di kelopak mata Lea, membuat Vin jadi tak tega sendiri."Maka dari itu, sekalian ku perintahkan perancang gaun pengantin itu bawa pakaian yang sekiranya sesuai buat meeting sama klien," tambahnya kalem."Permisi, pak," ijin Lea ketika akan membasuh luka Vin.Vin masih membuang muka. Ekspresinya menegang, karena menahan rasa perih setelah tetesan-tetesan air itu mengenai tepat di bagian luka menganga akibat pecahan gelas kaca."Apa kamu akan lakukan hal yang sama juga, seandainya aku bukan orang ya
Sontak Lea mendelik, amarah sudah di ujung ubun-ubun kepalanya."Pak Vin. Saya bukan gadis seperti itu. Sudah saya katakan kalau--"Keberatan Lea terhenti, saat melihat Vin memegangi kepalanya, lalu hampir limbung. Lea berlari mendekat dan berusaha menahannya, agar tidak sampai terjatuh ke lantai."Pak Vin!" terkejutnya Lea dengan kedua tangan menopang tubuh atletis Vin, sampai dirinya sendiri hampir tak sanggup menyanggah, kalau saja Vin tidak segera membuat dirinya sendiri tersadar. "Anda tak apa-apa? Ada apa dengan anda? Habis mabuk, atau memang sakit?" tanya Lea penasaran."Bawa aku ke kamar," perintah Vin dengan bantuan Lea. Pikiran dan tubuh Vin kembali kacau . Setelah membantu Vin merebahkan diri secara perlahan, Lea mundur beberapa langkah dan menelusuri tubuh atasannya ini dari ujung kepala sampai ujung kaki."Badan anda panas. Apa perlu saya panggilkan bodyguard anda buat antar ke dokter?""Morgan?" tanya Vin lemah dengan mata setengah terpejam."Morgan?" Lea berikan perta
"Karena aku ngantuk!" jawab Vin singkat, tapi terkesan sekenanya."Tapi--""Ahh, sudahlah nggak usah di bahas lagi!" putus Vin, menyela tanggapan yang akan di berikan Lea. "Kita hanya akan jadi suami istri di atas kertas kontrak saja, jadi jangan mengatur hidupku, ok!""Baik, pak. Maafkan saya," sahut Lea, menyadari telah terlalu memasuki ranah kewenangan di luar kuasanya. "Akan saya siapkan keperluan untuk bertemu klien nanti terlebih dulu. Sekretaris Li sudah email saya.""Iya. Keluarlah." Vin berikan perintah dengan membuang muka. Salah satu sikap dan kebiasaan Vin yang tak di sukai Lea.Lea keluar dari kamar, tapi sengaja berhenti di depan pintu yang tertutup, lalu melihat ke arah samping, dimana terdapat sebuah kamar lain tapi selalu dalam keadaan terkunci."Kenapa aku nggak di suruh tidur di kamar sebelah? Eh, dianya juga malah tidur di hotel seberang. Aneh banget nih orang," gumam Lea tak habis pikir.Memang Lea belum menjelajah isi penthouse milik Vin ini secara seksama. Tapi
Setelah satu jam berselang, Vin kembali dengan langkah tergesa-gesa. Satu tas koper di tangan kanan, dan tumpukan file dan dokumen-dokumen, di rengkuh dalam pelukan lengkungan lengan kiri."Lea!" panggilnya kencang, setelah meletakkan semua bawaan di lantai dan di atas meja ruang tamu."Iya, pak?" sahut Lea, segera berlari kecil mendekat."Tuan Alberto sudah di jalan, kita harus--" perintah Vin terhenti, setelah menoleh dan mendapati Lea beserta penampilan berbedanya."Iya, pak? Harus apa?" sambar Lea.Urat syaraf rahang Vin menegang, tatapannya menurun sayu, searah dua bola hazelnya menelusuri kaki mulus Lea sampai ke arah atas lutut yang tak tertutupi, hingga tepat tertuju di dua kilatan abu-abu dari warna soft lens yang di gunakan Lea.Penampilan jauh berbeda dari kesehariannya, meski Lea terlihat sekali masih kaku dengan perubahan ini. Berulang kali, harus paksakan diri berdiri tegak lagi, ketika hampir terjatuh bila ujung high heelsnya menyelip di antara ornamen karpey tebal yang
Selama mendampingi Vin bertemu dengan klien bernama Alberto, pikiran Lea masih terbelah akan ucapan Vin sejam yang lalu.Istri kontrak berarti pegawai di kantor, sekaligus istri di rumah. Lea masih belum sepenuhnya mengerti konsep Vin ini.Istri atau pembantu rumah tangga? Dua istilah yang memenuhi pikiran Lea saat ini."Tu non mangi, signorina?"Lea menoleh pada pria Italia berumur 40 tahunan di hadapannya dengan ekspresi kaget."Yes?" tanyanya, meminta mengulang pertanyaan dari pria bernama Alberto ini."Tuan Alberto nanya, kenapa kamu nggak makan?!" jawab Vin dingin.Sikap Vin tidak sepenuhnya tertuju pada Lea, tapi juga pada Alberto yang terlihat sekali curi-curi pandang ke arah Lea, bahkan secara terang-terangan di depannya."Iya, Signore Alberto. Anda silahkan makan terlebih dulu," jawaban dalam bahasa Inggris Lea pada Alberto.Bukan soal adab juga, Lea masih tercengang dengan menu makanan di hadapannya. Seafood ala Italia dengan tambahan karbohidrad berupa kentang, jelas bukan
"Lepaskan, please," hibah Lea, agar Helena menghentikan penyiksaannya. Aksi Helena baru berakhir di dalam kamar mandi lantai pertama gedung. Tak ada orang di dalam, setelah dua wanita lain keluar, dan hanya menatap keherahan."Gadis sialan!" teriak Helena dengan mendorong Lea sampai terantuk dinding berkeramik putih tulang kamar mandi."Auww." Lea kesakitan pada bagian pundak, setelah rasa pusing di kepala."Ini baru permulaan. Kalau kamu tidak mau mengaku, rasakan yang lebih sakit lagi!" ancam Helena mendelik."Mengaku apa, nyonya? Saya nggak ngerti," aku Lea sesenggukan."Halahh, jangan sok suci lo. Sudah berapa kali lo di tiduri Vin biar bisa jadi istrinya, hah?!" bentak Natalie, setelah merasa dapat kesempatan. "Harusnya gue yang jadi pengantinnya Vin, bukan lo. Dasar gadis kampung!" luapan emosi Natalie dengan menunjuk-nunjuk ke arah mata Lea."Aku hanya ingin pulang dan berhenti bekerja pada Pak Vin, tapi...tapi--" Lea tak sanggup meneruskan, tenggelam kembali dalam tangisan.
"Saya tidak bisa!"Jawaban tegas dari Morgan ini, membuat Lea meradang."Tapi mama saya sedang sakit, pak. Masa bapak nggak kasihan sama kami," hibah Lea memelas."Besok anda harus menikah dengan tuan muda. Saya tidak mau ambil resiko sama kemarahan tuan Vincenzo."Lea memaksakan diri berdiri, meski rasa enggan masih menyelimuti."Tapi seharusnya pengantin wanitanya itu bukan saya.""Tapi tuan muda menghendaki anda!"Lea terdiam, tak berani menyanggah lagi. "Percayalah, nona. Memang begitulah cara tuan muda dalam berpikir, tapi yakinlah, kalau semua akan baik-baik saja kalau kita nurut sama beliau." Kalimat yang mirip seperti ucapan Sekretaris Li, sewaktu Lea dalam keraguan."Apa yang harus saya lakukan, pak?""Keluarlah, nona. Saya menunggu di depan. Jangan mempersulit diri. Meskipun saya tahu apa yang terjadi, tapi paling tidak, tuan muda masih menghormati anda."Seorang wanita berwajah hispanik masuk, Lea spontan beranjak keluar, dan memang benar, Morgan sudah berdiri menunggu, ta