Tidak perlu cenayang untuk menebak apa yang baru saja terjadi di dalam ruangan itu sebelum Billy--produser Max membukanya.
Pemandangan bokong itu bukan hal baru untuk Zoe. Ia baru melihatnya tadi pagi, saat Max bangun dari ranjang. Mereka tidur bersama tadi malam.
Max mencumbunya tadi malam, sampai nyaris membuat Zoe melewatkan alarm pukul tiga pagi. Zoe harus bangun sepagi itu untuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa Max.
Usaha yang dilakukannya dengan sukarela. Tanpa keluhan. Zoe tidak pernah ingin mengeluh, meski bebannya semakin lama semakin berat. Ia rela melakukannya demi Max.
Demi pria yang saat ini mencoba memakai celana dalamnya, karena baru saja tidur dengan wanita lain.
"Apa ini?" Billy bertanya tidak terdengar marah, ia bahkan tampak puas saat melihat orang yang membawa kamera itu mengambil gambar Iris dan Max bergantian.
“Awas kalau kau menulis hal buruk tentangku!” Ancaman itu dari Iris, yang tengah memakai bajunya.
“Tidak akan. Aku tidak ingin bermusuhan dengan Wolf.” Wartawan itu tahu siapa yang ada di belakang Iris.
“Tidak akan ada masalah. Kalian cocok sekali. Gosip tidak akan menyakiti kalian.” Billy melontarkan pendapat yang menarik Zoe ke alam nyata.
Billy dengan jelas mengatakan tidak ingin keterlibatan Max dengan wanita—Zoe, diketahui umum. Kini ia dengan enteng mengatakan hubungan Max dan Iris tidak akan membawa masalah.
“Kita ke ruang ganti lain saja.” Wartawan satu lagi, terlihat tidak nyaman dan langsung mundur keluar.
“Oh, ya! Ayo. Kita tidak perlu membahas hal ini.” Billy dengan bergegas melambai ke arah Max, lalu mereka semua keluar meninggalkan Iris yang tampak bersungut-sungut—masih tidak berusaha memperbaiki pakaiannya yang berantakan.
Tapi tentu Zoe tidak akan diam. Sebelum sampai di ruang ganti, Zoe menyambar lengan Max. Menariknya ke arah tangga darurat yang tadi dipakainya untuk naik.
“Zoe…” Max berusaha bicara sambil menggaruk kepalanya. Ia tampak kebingungan.
Zoe tidak sanggup bicara. Ia tadi memang menahan diri agar tidak membuat keributan—agar Max tidak mendapat nama buruk, tapi saat tidak ada yang mendengar pun, wanita itu masih tidak mampu mengatakan apapun.
Bayangan Max yang tak mengenakan sehelai benang pun bersama wanita lain memenuhi benaknya saat ini.
“Mengapa kau… tega... ” Suara Zoe bergetar dan tenggorokannya langsung terasa kering saat akhirnya bisa bersuara.
“Kau salah paham, Zoe. Yang kau lihat… Belum terjadi apapun. Kami tidak…”
“Belum? Berarti kau memiliki niat untuk melakukannya?! Kalau begitu, apa bedanya?!” Kesabaran Zoe habis. Ia mendorong dada Max dan berteriak.
“Kau anggap apa aku, Max? Kau lupa padaku begitu saja karena dia?! Bahkan jika kau belum melakukan apapun, dengan niat itu kau telah mengkhianatiku!”
“Zoe! Ini tidak penting. Aku hanya ingin bersenang-senang tadi. Oke? Aku hanya ingin pengalaman baru, yang….”
PLAK!
Zoe melayangkan tamparan telak.
“Bersenang-senang? Kita tidur bersama tadi malam! Itu kurang menyenangkan untukmu?”
Zoe menutup bibirnya dengan tangan, karena air matanya akhirnya merembes turun. Zoe menahannya sejak tadi, tapi rasa sakit itu tak tertahan lagi saat Max menyebut ‘bersenang-senang’. Kalimat yang mengesankan seolah Max menderita saat bersamanya.
“Dengar… Maafkan aku. Itu tadi hanya… pikiranku kosong saat dia merayuku. Iris… dia menggodaku.”
Max meraih kedua bahu Zoe, meremas pelan. Meminta pengertian.
“Aku hamil.” Zoe tadinya ingin memilih saat yang lebih santai, atau hangat. Tapi ia harus mengatakannya sekarang, untuk memberi Max rasa tanggung jawab dan tidak berbuat bodoh.
Tapi bagi Max kabar itu serupa mimpi buruk.
“Apa maksudmu? Itu tidak mungkin. Aku selalu memakai kondom. Kau jangan mengada-ngada!” Max berseru panik.
Zoe menatap Max. Reaksi itu jauh dari bayangannya. Mereka tidak berencana memiliki anak, tapi setelah sekian lama bersama—lima tahun lebih, Zoe tentu berharap setidaknya akan ada simpati, bukan penolakan keras.
“Tidak, Max. Tiga bulan lalu kau tidak memakainya. Kau mabuk dan aku sudah menolak, tapi kau tetap melakukannya.”
Zoe menahan tangis. Banyaknya kekecewaan yang berpusar dalam dirinya, tidak mampu lagi tersalurkan menjadi emosi. Apalagi ia terus melihat Max menggelengkan kepalanya, tidak ingin menerima kenyataan.
“Tapi hanya sekali itu! Tidak mungkin!”
“Apa maksudmu tidak mungkin? Kau pikir aku akan tidur dengan pria lain? Itu maksudmu?!” Zoe merasa tertuduh.
“Bukan begitu. Mungkin kau salah. Bisa jadi kau salah.” Max memperbaiki, tapi luka itu sudah ada. Ketidakpercayaan dan penolakan itu sudah menyakitinya.
“Aku memakai tiga test pack dan semuanya positif. Aku hamil, Max! Anak kita.”
“Apa maksudmu?”
Zoe tersentak saat tiba-tiba pintu darurat itu membuka. Kepala Billy muncul dengan wajah marah.
Produser itu menutup pintu di belakangnya rapat-rapat, sambil melotot ke arah Zoe. Wajahnya merah membara penuh amarah.
“Siapa yang hamil? Kau hamil?”
“Dasar kalian bodoh! Aku sudah katakan berkali-kali untuk menjaga diri! Aku tidak akan peduli apapun yang kalian lakukan asal jangan sampai membuat masalah! Otak kalian tidak mampu mencerna hal sederhana semacam ini?!” Billy, sang produser murka. Manik miliki sang produser mengarah ke Max, membentaknya dengan keras. “Kau yang paling bodoh!” “Tidak bisakah kau menahan diri dan tidak tidur dengan sembarang wanita? Kau lihat dulu siapa lawanmu sebelum menancapkan benih! Kau akan menghancurkan karirmu kalau terus terlibat dengan wanita tidak jelas dan membuatnya hamil!” “Siapa yang kau sebut wanita sembarangan?!” Zoe membentak tidak kalah keras. Zoe baru saja menghancurkan kesempatannya untuk berkarir saat melakukannya. Tapi Zoe tidak peduli. Billy baru saja merendahkannya. “Aku kekasihnya. Kami telah berhubungan bertahun-tahun! Aku bukan wanita sembarangan! Wanita itu yang murahan! Kau lihat sendiri, kan?” Iris yang lebih pantas disebut jalang. Wanita itu dan Max baru bertemu pag
Air mata Zoe yang pertama menerjemahkan duka itu. “GHHH! AAGHH!” Tapi ia tidak mampu mengatakan apapun. Menangis dalam sunyi adalah sesak. Zoe ingin berteriak, melepaskan duka yang menindih dadanya, tapi hanya suara dengus dan rintihan yang keluar dari bibirnya. Bahkan untuk memaki saja Zoe tidak mampu. Zoe ingin marah pada Billy, ia ingin marah pada Max yang tidak membelanya, ingin marah pada Iris yang memulai semua nasib sialnya, tapi semua tertahan di tenggorokannya. “Aku mohon tenang dulu. Penjelasannya masih panjang.” Dokter itu menyela, dengan wajah menyesal. Ia tidak ingin mengganggu duka Zoe, tapi ia harus menyelesaikan penjelasan. Dengan mata yang masih basah, Zoe memandang dan mengedip padanya. Memintanya untuk meneruskan. Pikirannya masih kacau, tapi Zoe ingin mendengar semua. “Bagian kepalamu terbentur dengan keras, dan kau menjalani operasi untuk menyingkirkan gumpalan darah. Sekarang kau sudah sehat, tapi dengan rambut lebih pendek mungkin, karena kami harus mencu
DUA TAHUN KEMUDIAN“Zoe, bangun! Ada tamu VVIP! Kau yang pergi!”Zoe berdiri dari sofa yang menjadi tempatnya tidur, memandang orang yang baru saja membangunkannya dengan wajah jengkel, tapi kemudian Zoe tersenyum. Ia mengenali orang itu.Tiana, wanita berusia empat puluhan yang juga pemilik strip club tempatnya bekerja saat ini.Zoe mengambil tali yang biasa dipakai untuk menggantungkan name tag, tapi bukan name tag yang tergantung di ujungnya. Ada tumpukan kartu dengan aneka tulisan yang bisa dipilih. Tapi Tiana rupanya tidak sabar.“Ya.. ya… aku tahu kau akan berterima kasih. Tapi nanti saja. Dia bukan orang yang penyabar, dan ingin bersenang-senang malam ini.”Tiana mengambil kartu ucapan itu dari tangan Zoe, melemparkannya ke atas meja. Zoe memandangnya dengan kecewa, karena ia baru menemukan cara yang lebih cepat selain menulis untuk berkomunikasi.“Maaf, tapi tidak malam ini. Aku akan melihatnya besok, oke? Aku harus mempersiapkanmu. Pakai ini.”Tiana tidak biasanya kasar, tapi
Rencana nekat terbentuk dalam benak Zoe. Rencana yang benar-benar nekat. Wolf masih terus mengamati Zoe–terutama wajahnya. Zoe menegakkan lehernya, memberi akses agar Wolf melihat wajahnya lebih jelas. Zoe berada di angle yang tepat, Wolf seharusnya tidak menilainya lumayan lagi. “Aku lihat dulu bagaimana," kata Wolf, sambil meletakkan minumannya di atas meja yang ada di hadapannya. Bukan meja biasa. Meja itu adalah panggung Zoe. Bundar, memiliki lebar yang cukup agar penari bisa bergerak aman dan bebas, lalu ada tonggak besi di tengahnya. “Aku permisi. Aku harap kau menyukainya.” Tiana berpamitan. Seiring detak suara sepatu Tiana yang semakin samar karena pintu ruangan itu telah tertutup, detak jantung Zoe semakin keras. Ia biasanya tidak lagi gugup dan langsung bekerja dengan profesional, tapi kali ini berbeda. Ia harus berhasil membuat Wolf tertarik padanya. Harus bisa membuatnya meminta pelayanan full sevice agar meninggalkan kesan. “Kau pilih lagu sendiri.” Wolf mengulurkan
Zoe mengangguk menjawab pertanyaan Wolf. Tulisan itu tidak salah. Tapi tentu permintaan itu dianggap salah oleh Wolf. Pria yang ternyata memiliki iris berwarna hijau pekat itu, memandang Zoe seolah ia baru saja bertemu dengan wanita gila. “Apa kau ingin uang lebih? Kalau hanya sekedar uang lebih… Aku akan memberikannya. Tubuhmu lumayan rasanya. Tapi tidak ini.” Wolf menjentikkan kertas itu dari tangannya, sampah menurutnya. “Mmmm…” Zoe mengeluarkan gumaman sambil melambaikan tangan karena panik. Takut kalau Wolf akan pergi. Tapi gumaman itu justru membuat Wolf—yang baru akan memakai kemejanya kembali berhenti, dengan wajah bertanya-tanya. Bisa melihat kalau Zoe kesulitan bicara. “Apa kau bisu?” Wolf memakai bahasa isyarat. Tapi Zoe justru tidak mengerti bahasa isyarat itu. Ia kembali menuliskan jawaban di kertas, lalu mengulurkannya. “Aku tidak tuli, tapi aku memang tidak bisa bicara. Masalah syaraf di otak. Panjang. Aku tidak ingin menjelaskannya. Tapi aku tetap ingin menikah d
Zoe menelan ludah. Ia ingin menggeleng—karena ini adalah keputusan paling berani yang pernah diambilnya seumur hidup. Ia terjun ke alam yang sama sekali tidak punya bayangan seperti apa.Tapi balas dendam itu menggoda. Sakit hatinya yang tidak pernah terbalaskan itu—yang menggerogoti hatinya setiap kali melihat wajah Max di papan billboard, tidak untuk diabaikan juga.Billy, Max, dan Iris. Mereka membuatnya menjadi bisu—menghancurkan bakat dan mimpinya. Membunuh anaknya.Zoe lalu mengangguk, lalu menunjukkan catatan singkat yang dibuatnya. “Ya, aku tahu.” “Well, kalau begitu mari kita uji.” Wolf tersenyum.“Berlututlah dan cium kakiku. Ini tingkat penghambaan yang aku inginkan.” Wolf mengangkat kakinya yang masih telanjang juga, menyilangkannya. Menunggu Zoe.Permintaan yang jelas mengekspresikan penyerahan diri yang absolut, sesuai dengan tulisan Zoe. Zoe kembali tidak menyangka penawaran itu akan terjadi dengan sangat cepat dengan bentuk yang cukup menantang.Mencium kaki adalah p
“Kau yakin akan melakukan ini? Bagaimana… Sebentar.” Tiana rupanya masih sulit menerima meski ia sudah membaca catatan dari Zoe. Ia memeriksanya sekali lagi, sementara Zoe tengah membereskan barang-barangnya. Tidak banyak, hanya peralatan make up dan beberapa sepatu boot yang dibelinya sendiri. Selain itu, kostumnya kebanyakan milik Tiana. Hari ini, Zoe akan pindah ke rumah Wolf. “Dia bukan tipe orang yang bisa kau jadikan suami, Zoe. Kau tahu itu bukan?” Tiana meraih tangan Zoe, memintanya mempertimbankan. Zoe meraih kartu yang tergantung di lehernya dan menunjukkan kata ‘aku tahu’. Banyak kata umum yang tergantung di sana, termasuk ‘terima kasih’, ‘tidak’, ‘oke’. Kata-kata singkat yang tidak perlu ditulisnya lagi. “Lalu kenapa… Jangan katakan kau masih belum melupakan…” Zoe menepuk tangan Tiana, lalu mengetik kalimat pada ponsel yang juga bergantung di lehernya. “Mereka membunuh anakku, membuatku tak bisa bicara! Aku tidak akan lupa!” Zoe menunjuk tulisannya itu beberapa kal
Zoe melangkah memasuki rumah yang tentu saja sangat mewah itu dengan amat perlahan. Takut jika langkahnya akan membuat lantai marmer yang diinjaknya retak. Lantai rumah Wolf begitu berkilau, sampai sesaat Zoe mengira lantai itu terbuat dari kaca. Padahal meski ia menari tap dance di atasnya, lantai itu akan baik-baik saja. “Kamar Mr. Wolf ada di atas. Akan saya antarkan.” Stefan–pria yang tadi menjemput dan mengantarnya sampai ke rumah itu, menarik koper bawaan Zoe, mengajaknya ke lantai dua. Zoe sebenarnya belum selesai mengagumi area lantai dasar rumah itu, yang mana sangat mewah. Penuh karya seni berupa patung dan lukisan, lalu ada ruang terbuka yang diisi taman indoor. Tatanan jenis modern minimalis. Tapi pemandangan di lantai dua juga tidak terlalu buruk. Zoe bisa melihat pemandangan kota New York di kejauhan dari dinding kaca yang terbuka lebar di seluruh lantai dua. Rumah itu tidak terletak di dalam kota New York, tapi juga tidak terlalu jauh. Daerah suburban sempurna, ya