Dua gadis tak jauh usianya memasuki halaman rumah yang bercat kuning muda, mendekati pintu sambil berbincang. Di tangan mereka menenteng kotak makanan warna warni.
"Apa kamu yakin, kakak ipar akan suka?" tanya Si Adik, Ratna Astuningtyas."Dia harus suka dong, jangan banyak gaya!" ketus Si Kakak, Nindi Mahiswara.Ratna hanya memainkan bibirnya manyun. Sebagai yang berstatus adik, dia tidak bisa banyak bicara. Segala keputusan atas dirinya adalah tergantung kakak. Itu sudah menjadi hukum tak tertulis dalam keluarga.Tok ... tok ... tok!Seorang wanita bercadar membuka pintu. Matanya sedikit membulat, agak kaget."Selamat siang, Kak Ipar," sapa Ratna.Luna mencoba menguasai situasi. Dia tersenyum dan mempersilahkan kedua gadis itu masuk. Nindi menggeret tangan Ratna. Tampak, gadis berambut kuncir kuda itu tak nyaman dengan kehadiran kakak iparnya."Kak, kami diminta Mama bawakan ini. Ini masakan khas keluarga kami. Semoga suka ya," ujar Ratna mencoba mencairkan suasana."Terimakasih banyak. Lain kali aku akan mengirim makanan untuk kalian," jawab Luna kaku. Ini kali pertama dia berbasa-basi dengan wanita yang baru ia kenal."Apa di dalam rumah pun, kamu harus menggunakan cadar?!" tanya Nindi dengan alis yang mengangkat."Kadang-kadang," jawab Luna."Buka cadarmu sekarang! Risih tau!" perintah Nindi."Baik. Tapi aku harus memastikan di sini tak ada ponsel dan pintu dikunci," jawab Luna tegas."Apaan sih?! Kamu itu aneh! Pastilah kakek sudah pikun, menjodohkan abangku dengan wanita aneh sepertimu. Kamu lebih mirip seperti teroris di mataku!"Luna terdiam. Ini ternyata yang dimaksud tulisan di buku yang sedang dibacanya. Ipar adalah maut. Bahkan ia harus membaca banyak buku untuk mempersiapkan diri hidup di luar dengan status sebagai istri."Aku tak boleh sembarangan menampakkan wajahku. Jika kalian ingin melihat wajahku, aku bisa memperlihatkannya sekarang tapi kalian harus menjaga rahasia!"Luna berusaha setenang mungkin."Apa kamu ngerasa, kamu itu spesial?! Sejak kapan perkara wajah menjadi sangat penting?!" Nindi melototkan matanya seolah menantang."Baiklah. Aku akan buka cadarku sekarang," ujar Luna dengan suara berat. Ia tak ingin wajahnya menjadi masalah dengan adik iparnya."Malaslah! Gak penting! Mana abangku?!"Ratna mencubit lengan Nindi, memberi isyarat agar dia menjaga sikap. Nindi menepis tangan adiknya."Mas Yudha sedang di kamar. Kalian bisa menunggu. Aku akan panggilkan," tawar Luna."Kami bisa ke sana sendiri kok! Ini kan rumah abang kami. Bahkan kami punya kamar di sini!"Kali ini, Nindi menyeret tangan Ratna."Tunggu!" suara Luna agak meninggi."Apaan!?!!" hentak Nindi."Jika kamar yang kalian maksud adalah kamar sebelah kamar Mas Yudha, jangan. Itu kamarku. Tak boleh siapapun masuk ke sana bahkan Mas Yudha sekalipun!""Sinting kali ya!" Nindi memiringkan jari telunjuknya di pelipis matanya. Gadis itu kesal sekali. Ia merasa, kakak iparnya sangat aneh."Kakak jangan ketus-ketus lah sama kak ipar. Dia kan orang baru," ujar Ratna sembari mengikuti langkah kakaknya."Kamu jangan bela dia! Aku mau bicara sama bang Yudha. Istrinya perlu diajar!""Bang!! Bang!! Buka pintu!" teriak Nindi.Masih sempoyangan, Yudha membuka pintu."Apa? Masih pagi sudah ribut. Abang masih ngantuk ini. Hidung mampet," ujar Yudha membiarkan kedua adiknya masuk kamar."Capek malam pertama kamu, Bang?!" cerocos Nindi.Yudha hanya manyun. Ia kembali merebahkan dirinya. Badannya terasa pegal."Kami mau nginep. Di rumah ada party. Males harus ketemu tante, paman juga. Kami juga takut ketemu kakek, bisa-bisa dijodohkan sama teroris kek istrinya abang!" cerocos Nindi ikut merebahkan badannya di dekat kakaknya."Ya sudah, nanti abang tidur di sofa," ucap Yudha malas."Ya gaklah. Aku sama Ratna tidur di kamar sebelah! Itu kan memang kamar kami," ujar Nindi."Itu kamarnya Luna, kalau dia kasih, bisa. Tapi kayaknya aku tak yakin dia mau berbagi kamar sama kalian. Kakak ipar kalian itu sedikit....hmmmm...imut," jelasYudha menunjukkan jari telunjuk dan jempolnya. Ratna dan Nindi mengkerut."Jadi seriusan omongannya tadi, kak? " tanya Ratna pada Nindi dengan wajah heran."Kalian suami istri kenapa pisah kamar?!! Ayo!! " Ratna menindih punggung Yudha dan mengacungkan telunjuknya."Ya semua orang butuh privasi. Kalian jangan terlalu kepo! ""Atau jangan-jangan, istrimu itu teroris, Bang!! Kau harus waspada. Pergerakan mereka memang penuh dengan rahasia gini," ujar Nindi penuh keyakinan."Ngawur aja. Jangan lupa, dia itu rekomendasi kakek. Kalau sampai ucapanmu ini di dengar kakek, habis!" ancam Yudha membuat Nindi kembali berpikir."Pastilah ada yang spesial, Bang," kata Ratna.Yudha kembali memejam matanya. Mencoba mengabaikan kehadiran dua adiknya itu."Sudahlah. Aku mau pindah kamar!" seru Nindi.Gadis itu bangkit. Di bukanya pintu dengan keras namun seperti sudah terkunci."Apaan nich?!! Kok kekunci?!" teriaknya."Kalian bisa tidur di kamar belakang. Aku sudah membersihkannya dan menyiapkan beberapa cemilan." Luna tiba-tiba muncul membawa teh dan 3 cangkir cantik."Tidak! Aku ingin kamar ini. Sebelum kamu hadir di sini, kamar ini sudah jadi milik kami! Lagian aneh banget, suami istri kok pisah tidur?!" timpal Nindi."Kamar ini privasi buatku," jawab Luna dingin."Persetan! Buka kamar ini! Apa jangan-jangan kau benar-benar teroris?!" Nindi melotot.Luna berusaha tenang. Ingin rasanya ia menyumpal mulut gadis berambut merah di depannya ini."Buka!" teriak Nindi beriringan dengan suara ketiga cangkir yang jatuh. Gadis itu menepis nampan itu untuk meluapkan kekesalannya.Braaaakkk!!!Nampan di tangan Luna jatuh berserakan.Yudha terkejut bukan main sampai-sampai dia berlari menghampiri sumber suara."Oh My God, apa ini?!" pekik Yuda melihat banyak beling tercecer. Kakinya refleks menghindar.Ia melihat Nindi membuang wajah. Istri bercadarnya itu menatap Nindi dengan tajam. Nafasnya memburu. Ratna mencoba mencairkan suasana."Aku yang bersihin ya, kak," ucapnya membungkuk mencoba memungut beling-beling yang berserakan.Yudha menghampiri Luna. Wanita itu mengangkat telapak tangannya memberi isyarat pada suaminya agar berhenti. Ia mendekati suaminya, tepat di telinga laki-laki itu. Luna berbisik."Ajari adikmu, jika tidak ingin kubuat sama seperti cangkir itu ...."Hancur!POV 1 (YUDHA) Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Kakek akan marah jika tahu Nindi membuat Luna marah. Aku bisa merasakan kemarahan Luna. Sampai sekarang jika kuingat aku bisa merinding.Hari pertamaku masuk kantor terasa sangat horor. Bayangan mata Luna yang menatap adikku masih segar sekali. Begitu dingin dan menakutkan. Aku sempat berpikir, apa jangan-jangan istriku itu seorang kriminal berdarah dingin?! Tidak mungkin.Karena kekacauan yang mereka timbulkan, Nindi dan Ratna aku usir saat itu juga. Mereka sama sekali tak menolak. Sepertinya ada juga rasa takut menyelinap di hati kedua adikku itu, khususnya Nindi. Sejak kami masih kanak-kanak, Nindi memang yang paling sering memberontak. Pikirannya logis dan ia tak suka berbasa-basi. Mungkin penampilan Luna menggelitik jiwa bar-barnya.Andai Nindi melihat bagaimana istriku itu melompat dari tingginya pohon mangga di halaman belakang. Dia mungkin tak akan percaya bahkan makin yakin dengan tuduhannya. Aku diam-diam memperhatikan L
POV 1 (YUDHA) Ketika aku sudah tersudutkan ke pojok tembok, badanku meringkuk bersiap-siap menerima pukulan kakek. Namun, lelaki tua itu hanya mengangkat tongkatnya dan terengah-engah kelelahan. "Kakek ini kenapa sih?! Habis-habiskan tenaga saja! Lagipula itu hanya masalah kecil!" "Masalah kecil katamu? Bocah gila!!" umpatnya dengan leher memerah. "Iya, iya ... Aku yang salah. Sekarang Kakek minum dulu ya," rayuku perlahan menjauhkan tongkatnya dari kepalaku. Aku menuntunnya duduk di sofa dan menyuguhkannya air putih. Kakek minum sudah seperti unta di padang pasir. Tak ingat umur, masih saja berlarian. Aku terkekeh sendiri melihatnya seperti kehabisan nafas. "Ngomong-ngomong, Kakek sudah lihat wajah Luna?" tanyaku iseng menunggu nafasnya kembali stabil. "Tentu saja. Dia adalah wanita tercantik yang pernahku lihat sepanjang hidup. Makanya Kakek jodohkan dengan kau, cucu laki-lakiku yang bodoh dan payah! " ujarnya gamblang tanpa menghiraukan perasaanku. "Aku akui memang dia c
Di dalam ruangan mewah bernuasa emas, Ratih mendengarkan cerita anak keduanya, Nindi. Banyak lukisan mahal terpajang rapi di setiap sisi dinding putih. Lampu hias berwarna gold, meskipun tak menyala tetap seperti memancarkan sinar."Serius istrinya Yudha kek gitu, Nin?" tanya Ratih tampak seperti ragu."Mama kalau gak percaya, samperin aja. Dia itu, sumpah dah ...," ucap Nindi menahan kemarahannya."Mama tahunya kalau wanita bercadar itu wanita baik-baik dan menjaga bangetlah dari semua tutur kata, perilaku, takkan berutal seperti yang kamu ceritain. Kok mama kurang yakin ya.""Mama kurang yakin karena mama gak tahu, menantu mama itu busuk! Ya gak, Rat?!"Ratna hanya mengangguk walau tampak di wajahnya ada keraguan."Aah masak sih sampai dia ngancam-ngancam gitu? Kakek kalian tidak mungkin salah jodohkan cucunya. Kalian jangan lupa, dia adalah rekomendasi kakek!" ujar Ratih memperingati anak-anaknya."Mama gak percaya sama kami? Ya gak apa-apa. Kapan-kapan ke sana aja jengukin menantu
Aku melihat jam tanganku. Sudah pukul 09.00 pagi. Aku akan mengajak Luna ke tempat biasa aku olahraga menembak. Dia pasti akan terkesima dengan kemampuanku dalam menembak sasaran."Aku tak keberatan lo kamu buka cadarmu. Pastilah orang-orang akan mengagumi kecantikanmu!" seruku bersemangat.Aku ingin teman-temanku tahu, aku memiliki istri yang cantik seperti bidadari. Walau aku belum menyentuhnya, itu hanya karena kami butuh waktu. Begitu pikirku."Jika ingin memamerkan wajah pasanganmu, ajak saja pacarmu, jangan aku," ketus Luna memasang cadarnya."Kenapa sih kamu takut orang lain melihat wajahmu, Dek? Padahal perempuan pada umumnya malah berlomba-lomba tampil cantik.""Karena mereka dilahirkan dari keluarga biasa bukan seperti keluargaku," jawab Luna dingin."Memangnya keluargamu itu kenapa, Dek?!" tanyaku membungkuk sambil memasang sepatu."Keluarga mafia," jawab Luna santai.Aku langsung terjungkal ke bawah, tanganku menahan tubuhku agar tak ambruk menyentuh lantai.Apa katanya tad
POV 1 (YUDHA)"Sial! Dia berhasil lolos, Mas. Aku bisa mengejarnya tapi aku takut terjadi apa-apa sama kamu!" ujar Luna. Wanita bercadarku sedikit terengah-engah. Tangannya mengepal dan dia masih memasang kuda-kuda.Aku masih lemas. Otot-otot terasa melonggar. Engselnya seperti terlepas."Kau baik-baik saja?"Luna mendekatiku."Siapa kau sebenarnya!?" tanyaku bergetar.Mustahil jika dia wanita biasa tapi memiliki kemampuan seperti seorang tentara wanita."Apa kau mata-mata negara?" tanyaku lagi. Aku mencoba sedikit menjauh darinya. Kali ini aku benar-benar takut."Tenanglah, Mas. Aku istrimu kan? Aku akan menjagamu," ujarnya perlahan mendekatiku."Tapi siapa kamu?""Aku istrimu, kau lupa ingatan sekarang?" tanyanya seperti meledekku."Jangan bercanda
POV 3 (AUTHOR)Braaak!!!Suara pintu tertutup dengan kencangnya. Luna menggigit giginya, membiarkannya menggeletuk. Kesal dengan sikap suaminya yang seolah menganggap semuanya mudah."Bukannya berterimakasih! Dasar laki-laki buaya! Aku pasti sedang dikutuk hidup dengan orang seperti itu!" umpat Luna mengepal tangannya.Sekilas ia melirik foto pernikahannya, tampak Yudha tersenyum lebar berpose di sampingnya yang hanya terlihat matanya saja."Pasti jika aku seperti wanita lain, aku pasti terlihat cantik dengan gaun pengantin pada umumnya," lirihnya sendu.Luna menghempaskan dirinya di kasur yang tak cukup empuk. Yah, gara-gara perkara kamar dengan iparnya, dia rela berpindah ke kamar belakang."Apa berumah tangga itu serumit ini?" keluhnya sambil membuka hijab.Seperti ada tetesan yang akan jatuh dari mata bening
"Kenapa kau datang sekarang, Aderald? Aku takut cucumu mencurigai kita," ucap Luna setelah mundur, menjaga jarak."Maafkan aku, My Angel. Aku sangat was-was. Banyak hal tentangmu yang aku pikirkan," jawab Aderald lembut.Luna terdiam."Atas nama Nindi, cucuku. Maafkan dia. Dia hanya gadis dungu yang tak mengerti ajaranku," lanjut Aderald.Terlihat mata Luna menyipit pertanda ia sedang tersenyum."Lain kali, kau harus menjaga ucapan dan perilaku denganku. Aku tak ingin, Yudha mengira yang tidak-tidak. Aaah aku juga yang salah, harusnya aku menghubungimu besok! Aku lupa, walaupun kau tua, kau penuh dengan stamina," ujar Luna yang membuat Aderald tersipu malu."Sebuah kehormatan bila kau membutuhkanku, My Angel."Luna mengangguk takzim pada laki-laki berumur di depannya itu. Tak ada sedikit pun rasa khawat
"Jangan mancing-mancing kamu, Dek! Kalau tak niat! " timpal Yudha membuang wajah."Aku tak suka memancing. Membosankan," ucap Luna membuka cadarnya lalu membuka hijabnya. Tangannya juga membuka pakaian hitamnya. Tampak sekarang ia menggunakan kaos lengan panjang tanpa motif dan leging. Masih tetap warna hitam."Sebentar lagi subuh, Mas! Aku mau olahraga dulu, badanku terasa pegal. Setelah itu baru mandi, sholat lalu tidur kembali. Tolong jangan brisik!" ucap Luna mengikat rambut indahnya.Wanita itu berdiri lalu melenggang masuk kamar. Sedari tadi, Yudha menatap istrinya itu tanpa kedip bahkan ketika pintu kamar itu ditutup, laki-laki itu masih menganga.Kliiiik!!Suara pintu terkunci mengembalikan kesadarannya lagi. Yudha mengusap wajahnya kasar."Apa aku sekarang sedang dihukum? Dia istriku! Iya, dia istriku! Tapi kenapa jadi begini?"