Kekacauan masih terjadi di aula pesta. Dari titik buta, Vincent mengawasi beberapa orang bertopeng bersenjata yang menyerang. Saat ini ia tidak dapat melakukan apa-apa sebab tak memegang senjata sama sekali. Beberapa tamu yang bergerak pun langsung ditembak mati sehingga para tamu undangan yang tersisa duduk berjongkok tanpa melakukan perlawanan. "Mereka masih berulah lagi rupanya," gumam Vincent. Dari model topeng anjing yang digunakan para pembunuh sadis itu, Vincent dapat mengetahui jika mereka adalah kelompok pembunuh bayaran Happy Kill. Mereka terkenal sadis serta tak kenal ampun jika sedang membantai target. Jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka nyawa taruhannya. "Aku sebaiknya tidak gegabah. Saat ini aku hanya warga sipil biasa yang tak bersenjata. Sebaiknya aku tunggu saja sampai mereka pergi," gumam Vincent yang matanya masih mengawasi gerak-gerik sekitar sepuluh orang pembunuh bayaran itu. Di saat Vincent sedang mengawasi dari sisi lain, Lyra masih ber
Karina tampak merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kamarnya. Sejak Axel resmi menjadi pemimpin Foxbite, ia tinggal bersama dengan kekasihnya itu. Axel juga semakin sibuk semenjak menggantikan posisi Vincent sehingga jarang memperhatikannya. Mata hazel Karina menerawang di atas langit-langit kamar tidurnya yang didominasi oleh warna putih. Pikirannya masih tertuju pada Vincent yang dibalut sempurna dalam sosok Gavin. Sejak pertemuannya tadi, ia tak bisa tak bisa melupakan pria itu. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Terdengar suara bariton Axel yang langsung membuat Karina tersadar dari lamunannya. Ia sedikit salah tingkah karena kenyataannya ia sedang memikirkan pria lain. "Aku tidak sedang memikirkan apa-apa. Hanya saja aku kepikiran soal kejadian di pesta tadi," dalih Karina yang kini sudah bangun dari posisi tidurnya. "Ya, kejadian itu sangat tiba-tiba. Aku juga tak menyangka akan terjadi kekacauan seperti itu di hari pertama kita menghadiri pesta," tanggap Axel. "Kau tidak ma
Akibat berteriak terlalu kencang, rahang Vincent bergeser hingga perlu dilakukan operasi ulang. Memang operasi itu hampir mengubah semua yang ada di wajahnya, termasuk struktur tulang rahang. Maka dari itu ia seharusnya bisa menjaga dengan baik, dan tidak boleh bersikap berlebihan. Selama satu minggu Vincent berbaring tak berdaya dengan sisi wajahnya yang diperban memutar agar posisi rahangnya tidak bergeser lagi. Sebab hal itu, masa rawatnya makin bertambah. 'Sialan! Bagaimana bisa aku membalas dendam kalau seperti ini? Tahu akan menderita seperti ini, aku lebih baik mati saja,' gerutu Vincent dalam hati. Ia jadi memikirkan tentang perkataan Tuan Gilbert tempo hari. Pantas saja pria tua bangka itu terlihat enteng mengejeknya. Sedang sibuk mengumpat di dalam pikirannya, muncullah Tuan Gilbert bersama Dokter Collins. Kedua pria itu datang menghampiri Vincent dengan membawa catatan medis. Sepertinya mereka sedang berdiskusi mengenai nasib pria yang merupakan mantan bos mafia itu. Vin
"Sedang apa Kakak di sini?" tanya Lyra dengan mata terbelalak. Ia menurunkan tongkat bisbol yang dibawanya seraya menarik Vincent untuk masuk ke kamarnya. "Aw, kau bisa sedikit lembut 'kan? Otot-ototku terasa sangat nyeri," ringis Vincent. Lyra tampaknya memahami yang dimaksud oleh Vincent. Ia dengan segera melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tangan pria itu. "Kau bisa jalan sendiri 'kan?" tanya Lyra. Vincent hanya menganggukan kepalanya pelan. Sejenak ia tertegun memandang Lyra. Padahal tadi Tuan Gilbert mengatakan jika gadis itu tidak mau makan dan masih sangat trauma dengan kejadian pembunuhan saat di pesta. Namun, yang ia lihat justru Lyra sangat sehat bahkan tangannya saja luar biasa bertenaga. "Apa dia berbohong ya?" gumam Vincent. "Apa? Kenapa kau bicara seperti sedang kumur-kumur begitu?" telisik Lyra sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Vincent. Sontak Vincent pun langsung menjauhkan wajahnya karena merasa tak nyaman berdekatan dengan Lyra. "Aku tidak bica
"Lebih baik kau mati saja, Vincent! Salahmu sendiri terlalu memercayaiku." Seorang pria menyeringai sambil menodongkan pistol ke sahabat sekaligus atasannya yang berada di pinggir jurang. Lokasi itu berada di salah satu pulau kecil di British Columbia, Kanada yang langsung berbatasan dengan Samudra Pasifik."Cih! Kau sudah kuanggap saudara, tapi kau malah menghianatiku. Kau memang brengsek, Axel!" Pria dengan banyak bekas luka di sekujur tubuhnya itu meludah. Matanya menyorot tajam ke arah pria berparas tampan dengan kumis tipis yang sedang mengancamnya dengan senjata api. Tubuhnya lemas karena sebelum mengalami ini, ia sudah diberi racun yang membuat persendiannya lemas.Pria itu adalah Vincent Cadmael. Dia adalah ketua kelompok mafia Foxbite yang tersohor dan paling ditakuti. Namun, saat ini dia harus menelan pil pahit karena sahabat sekaligus orang kepercayaannya malah berkhianat dan ingin membunuhnya.Pengkhianatan itu karena kekuasaan dan juga cinta. Axel Kent mencintai kekasih d
"Tuan Gavin, apa Anda merasa lebih baik?" Suara pria paruh baya menggema di ruangan cukup luas dengan interior serba putih."Aku sudah lebih baik.""Apa Anda sering mengalami mimpi buruk?" "Tidak sering hanya pernah.""Hmm ... baiklah, Anda bisa memanggil saya jika ada sesuatu yang dibutuhkan."Pria paruh baya yang merupakan seorang dokter itu pun pergi meninggalkan ruangan. Kini hanya ada sosok pria berperawakan tinggi dengan perban yang menutupi seluruh wajah kecuali bagian mata dan bibir, siapa lagi kalau bukan Vincent."Aku jadi penasaran seperti apa rupaku yang baru?" Vincent bergumam. Dia terlihat duduk di sebuah kursi sambil menatap ke luar jendela.Hal-hal yang selalu membuatnya bermimpi buruk adalah kejadian tragis yang menimpanya. Ingatan setahun lalu masih membekas jelas."Kira-kira apa yang sedang dilakukan kedua bedebah itu? Pasti mereka sedang bersenang-senang 'kan karena mengira aku mati? Hah ... sialan," dengusnya sambil menempelkan wajahnya di kaca. Tangan kanannya m
Satu minggu kemudian.Vincent tampak memandangi kalender yang berada di ruang rawatnya. Matanya menyorot tajam dan terlihat tidak senang dengan tanggal hari ini. Tentu saja dia kesal karena jelas sekali di dalam ingatannya jika tanggal ini adalah tepat pada saat dia ditembak dan didorong ke jurang oleh Axel setahun yang lalu.Begitu sadar dari koma tubuhnya terasa kaku dan lemas karena selama empat bulan terbaring tak berdaya. Butuh waktu kurang lebih tiga bulan untuk melatih otot-ototnya yang tak pernah difungsikan. Selama itu pula dia bungkam mengenai identitasnya sampai saat ini.Vincent merupakan sosok ketua kelompok mafia yang baru saja menjabat sekitar empat tahun setelah ayahnya meninggal. Dia juga menjadi target operasi selama ini karena merupakan pengedar narkoba terbesar di wilayah benua Amerika. Namun, belum ada bukti yang bisa membuatnya dibekuk. Dia juga terkenal licin sehingga sulit ditangkap."Mengapa aku jadi kesal ya melihat tanggal hari ini?" gumam Vincent.Fokusnya
Vincent masih terpaku dengan wajah barunya. Sungguh sangat tak terbayangkan baginya bisa mendapatkan wajah seperti itu. Tekstur kulit barunya bahkan sangat kenyal dan halus, berbeda dengan sebelumnya yang kasar. Penampilannya terlihat seperti pria lembut, dan sangat penyayang. Hebatnya lagi, ia tak terlihat sama sekali seperti orang yang melakukan operasi plastik. Semuanya terlihat sangat alami. "Jadi, selera priamu seperti ini ya?" tanya Vincent sembari melirik ke arah Lyra. "Benar sekali! Aku merancang wajah ini dengan membayangkan pria idamanku. Kau tahu, aku menempatkan setiap bagian wajahmu dari model pria yang berbeda. Makanya tidak heran jika kau setampan ini." Lyra tampak sangat bahagia. Ia bahkan melompat-lompat sambil memeluk Vincent dengan erat. Vincent sungguh kaget dengan kelakuan Lyra yang sangat lincah. Bukan hanya dirinya, sang dokter dan para asisten yang melihat pun ketakutan sebab wajah Vincent bisa saja rusak jika tak sengaja terkena senggol. Bisa-bisa hidungnya