Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Seorang perempuan berambut cokelat sebahu mengendap-endap di balik kubikel kerjanya. Matanya awas memperhatikan sekeliling, takut kalau-kalau ada yang melihat kehadirannya."Kamu ngapain di situ Julea?"Pertanyaan yang tenang itu membuat gadis bernama Julea mendongak kaget, dia tersenyum kecut kepergok sembunyi oleh atasannya sendiri."A-anu buk saya–" Ucapan Julea terhenti karena wanita yang berdiri di depannya ini menghela nafas panjang dan buru-buru memotong ucapannya. "Apa Julea kamu akan katakan kalau kena macet atau kamu harus menolong Ibu kamu dulu sebelum ke kantor sehingga saat ini kamu telat hampir dua jam?" Wanita dengan setelan jas rapi dan ber name tag Sarah itu bersidekap dan melotot tajam pada Julea yang menundukkan kepalanya dalam."Maaf buk," jawabnya penuh sesal. Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam melihat Julea yang dimarahi habis-habisan oleh atasan mereka. "Ingat Julea kamu ini Wakil Devisi perencanaan, seharusnya kamu mencerminkan kedisiplinan di t
Dengan langkah yang dipaksakan Julea berjalan malas ke ruangan CEO tempat dia bekerja yang ada di lantai tiga kantor periklanan terbesar di kota itu. Julea menghela nafas berat saat dia sampai di depan ruangan CEO. Dia menatap gagang pintu kaca yang ada di sana sejenak. "Ya Tuhan kalau saat ini aku harus mati karena menghadapi CEO yang kejam itu maka aku ikhlas, tapi biarkan aku jadi hantu yang akan mengganggu hidupnya." Julea bergumam sambil mengusap-usap gagang pintu. Seolah-olah dia sedang berbicara dengan seseorang yang bisa dia ajak curhat tentang bagaimana kejamnya CEO di tempat itu. "Siapa yang akan kamu ganggu Bu wakil Devisi?" Julea mendongak ketika suara bass itu memasuki indra pendengarannya. Dia melongo karena ternyata CEO kejam yang dia maksud sudah berdiri tepat di depannya. Mereka hanya terhalang oleh pintu kaca saja, dan pastinya wajah merah Julea terlihat olehnya. "Ti-tidak Pak, tidak ada. Bapak pasti salah dengar," kilahnya sambil mengibaskan tangan. Tanpa me
"Ti-tidak Pak, demi Tuhan saya tidak bermaksud membentak bapak." Julea menangkupkan tangannya di depan dada bermaksud meminta maaf atas kesalahannya. Mulutnya ini memang tidak bisa diajak kompromi, Julea memang kesal pada Andrew tapi dia tidak berniat untuk membentaknya. Sebab dia tahu apa akibatnya jika dia melakukan itu. Andrew hendak marah dan mengomeli gadis itu sampai puas akan tetapi dering ponsel IOS miliknya memaksa dia berhenti.Dengan cepat dia merogoh ponsel itu dari dalam saku celananya, dia menggeser tombol hijau. Merasa mendapat keselamatan untuk kabur Julea hendak pergi secara diam-diam. "Tetap diam di sana Julea!" Perintah Andrew lagi-lagi mutlak.Julea mendecik ingin sekali rasanya dia mencekik leher pria itu sekarang juga. Kalau saja dia tidak hidup di negara yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia pasti sudah lama dia melakukan itu. Julea tetap berdiri di tempatnya menunggu Andrew yang tengah mengangkat telfon. Pria itu berjalan mendekat ke arah jen