Nadia POV
Ini hari kedua kami ada di Aceh. Serius, pemandangan di Aceh itu indah banget. Adem, angin sepoi-sepoi. Dan Alhamdulillah, rumahnya Mama disini tuh kalau mau ke pantai cuma jarak beberapa langkah doang. Jadinya kalau lagi duduk di teras depan, pemandangannya tu langsung laut lepas, lengkap dengan sunsetnya kalo di sore hari.
Seperti sekarang ini. Gue sama Mama nyantai di teras sambil ngeliatin suami gue, Mas Reza dan Mas Regi main bulu tangkis di halaman depan. Sesekali, nusambil goyang pelan ayunannya Rena biar dia nggak bangun dari tidurnya. Ayunan ini oleh-oleh dari Mas Regi. Kebetulan, berguna banget buat selama disini.
"Mama apa nggak masuk angin ya kalo duduk di teras setiap hari kayak gini?" tanya gue polos dan Mama pun ketawa.
"Ya enggaklah, Nadia. Mama 'kan jarang ada waktu buat duduk nyantai kayak gini. Kerjaan Mama itu nggak bisa ditinggal barang sehari aja."
"Alh
Author POV Malam telah tiba. Setelah seharian berkumpul dengan keluarga, bercanda dan tertawa, bercerita tentang apa saja yang bisa mengocok perut, mereka semua pun masuk ke kamar masing-masing. Lusa, ketiga saudara itu sudah harus pulang. Kembali ke rutinitas masing-masing. Sementara Yuni harus tinggal disini, masih banyak urusan bisnis kopinya yang harus ia selesaikan. Nanti saat Hari Raya Idul Fitri, ia janji akan pulang ke Jakarta. Jika biasanya suara kendaraan yang lalu lalang yang menemani mereka di malam hari. Kini, digantikan dengan suara deburan ombak yang menghantam karang. Hanya sesekali kendaraan yang ikut bersuara. Benar-benar nyaman sekali disini. "Nadia?" Nadia yang sedang menyisir rambutnya pun menoleh. "Kenapa, Mas?" "Udah nyetok ASI kan?" Nadia menggeleng pelan."Belum. Besok aja pagi-pagi." "Kalau
Nadia POV Pas turun dari mobil, gue langsung buru-buru lari ke bibir pantai. Ngebiarin telapak kaki basah sama air laut. Alhamdulillah, setelah dua tahun nggak ke pantai, hari ini akhirnya terwujud juga. Mana cakep bener lagi ini pemandangannya. Subhanallah. Sesuai apa yang Allah firmankan di dalam Surah Ar-Rahman,"Nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan?", gue bener-bener bersyukur banget sama apa yang Allah kasih ke gue. Di umur 20 tahun, gue dikasih kado terindah sama Allah dengan persatuin gue sama Mas Rendra dengan ikatan pernikahan. Setelah Allah ambil lagi Papa ke pangkuannya, ternyata Allah juga ngasih kebahagiaan setelah duka yang gue alamin. "Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih," ucap gue sambil memejamkan mata. Mencoba mensyukuri semua anugerah yang terjadi di hidup gue satu tahun belakangan ini. Bener-bener nggak bisa di ungkapin pake kata-kata.
Rendra POV Ini hari Minggu. Waktunya bersantai sambil minum kopi ditemenin ama bakwan buatan istri tercinta. Seminggu setelah pulang dari Aceh, gue sama Nadia pun balik ke rutinitas seperti biasa. Gue yang harus balik ke kantor demi bisa menafkahi anak sama istri, dan Nadia kembali jadi ibu rumah tangga. Sesekali Nadia bikin pesenan donat. Katanya, udah banyak yang kangen sama donat buatan dia. Pas gue suruh tunda sebulan lagi, Nadia nolak. Katanya duitnya lumayan. Ya udah, gue bisa apa? Gue cuman bisa pesen sama dia jangan terlalu capek. Baru juga sebulan lebih melahirkan, nggak lucu 'kan harus masuk rumah sakit lagi. Baru gue mau nyeruput kopi, ada suaranya Mas Candil sama Ariel Peterpan, lagi nyanyi lagu berjudul Ayah. Pas gue telusurin, itu dari dalem rumah gue sendiri. Tumben-tumbenan Nadia nyetel musik pake speaker dengan mega volume kayak gini. Karena
Author POV Siapa yang tak muram saat baru saja kehilangan sepeda motor? Apalagi jika yang hilang itu peninggalan orang terkasih yang sudah tiada. Rendra ingin membelikan yang baru, tapi Nadia menolak. Ia bilang, kebutuhan mereka sedang banyak-banyaknya. Walau Rendra bilang ia akan membeli dengan uang simpanannya, tetap Nadia masih menolak. Ia kasihan pada Rendra yang sudah kerja keras beberapa bulan terakhir ini. Ia tak ingin menambah beban Rendra jika uang simpanannya terpakai untuk membeli sepeda motor baru. Ternyata, lingkungan perumahan ini benar-benar sudah tak aman lagi. Banyak warga yang melaporkan kehilangan namun tetap saja terjadi terus menerus. Satu bulan atau dua bulan sekali, pasti ada saja yang kemalingan. Rendra sudah melapor Polisi. Mudah-mudahan saja pelakunya cepat tertangkap. Apalagi ditambah rekaman CCTV yang menjadi bukti walau wajah si maling tak terlalu jelas kar
Author POVSebulan menunggu, akhirnya rumah peninggalan almarhum Bramono laku terjual dengan harga yang diinginkan Nadia. Untungnya, salah satu relasi Rendra ada yang memang berbakat menjual rumah hanya dalam waktu singkat. Semuanya seolah dipermudah Allah. Kini, keluarga kecil itu sudah tinggal di rumah yang bertingkat dua itu.Setiap hari Nadia selalu mencoba untuk beradaptasi dengan para tetangga barunya. Para tetangga juga bilang, mereka senang akhirnya rumah besar itu ada penghuninya lagi setelah beberapa bulan ditinggalkan."Sayang, rumahnya Papa gede banget, ya?Mama pasti bakalan lebih capek nih beresinnya.." Nadia bercerita pada putri kecilnya yang kini sudah berusia 3 bulan.Setiap hari, kegiatan ibu rumah tangga memang selalu seperti itu. Setelah pekerjaan rumah selesai, temannya mengobrol hanya anaknya sendiri walau anaknya itu belum bisa merespon perkataannya. Tapi, itu sudah cukup m
PoV 3 Rendra terdiam, jantungnya hampir meloncat keluar saat foto itu kini ada di depannya. Foto yang sudah lama ia dan Yuni simpan dan akhirnya ketahuan Nadia hari ini. Rendra bergerak gelisah, jemarinya bergoyang tak mau berhenti. Otaknya berpikir keras jawaban apa yang akan ia beri pada Nadia. Di foto itu, memang dirinya yang hendak melaksanakan akad nikah dengan Syifa beberapa tahun yang lalu. Untung hanya tinggal setengah bagian saja karena memang ia gunting gambar Syifa yang ada di sebelahnya. "Itu foto Mas lagi acara wisudanya si Regi." Untung, otaknya berpikir dengan cepat untuk menemukan jawaban walaupun dirinya harus berbohong, lagi. "Kok pake peci segala?" tanya Nadia sembari memperhatikan penampilan suaminya di foto itu sambil memicingkan mata. Andai Nadia lebih jeli, ada jemari seorang wanita yang sedang merangkul pinggang suaminya. Namun untungnya, bagia
Sejak kejadian Nadia menemukan sobekan foto pernikahannya dengan Syifa, Rendra tak pernah bisa benar-benar tenang. Ketakutan itu kembali lagi. Ketakutan yang akan membuat Nadia pergi dari hidupnya, bahkan mungkin tak kembali lagi.Ini bahkan sudah seminggu berlalu. Rendra sudah mencoba berbagai macam cara agar ia bisa menepiskan rasa takutnya itu barang sejenak. Tapi ia tak bisa. Benar-benar tak bisa.Ia sudah bicara dengan Yuni tentang ketakutannya. Yuni hanya memberikan satu saran untuknya. Sebuah saran yang Rendra pikir adalah cara paling gila yang bisa membuat dirinya juga gila."Menurut Mama, kamu harus bilang semuanya, Tri. Kamu nggak bisa seperti ini selamanya, nak. Bersembunyi dibalik kebohongan itu salah besar, hidup kamu nggak akan tenang. Kamu bakal ketakutan kayak gini seumur hidup kamu. Mendingan sekarang, kamu kasih tau Nadia semuanya, tanpa ada yang ditutupi. Kasian Nadia, kasian kamu, kasian Rena kalau kamu terus bawa-bawa dan t
Harapan untuk sembuh itu sangat kecil. Syifa bisa merasakannya, namun tak mau ia tunjukkan kesedihannya pada orang-orang terdekatnya. Ia ingin tegar walau hatinya hancur berkeping-keping. Sejak diceraikan Rendra, memang hatinya tak pernah lagi utuh. Syifa ingin menyatukan lagi kepingan hati dan hidupnya, tapi tak pernah bisa. Semangat hidupnya itu kini telah dimiliki perempuan lain. Rendra, cinta pertamanya, kini telah bahagia dengan perempuan lain yang beruntung memilikinya dan Syifa tak akan pernah mendapatkan kesempatan itu. Tak akan pernah.Di tengah rasa sakit yang ia alami, Syifa masih menyempatkan untuk melihat album-album lama pernikahannya dengan Rendra. Album-album itu ada di sebuah kotak. Tak hanya album, juga ada cincin pernikahan, mahar yang keluarga Rendra beri, dan beberapa perlengkapan pernikahan lain yang masih Syifa simpan di kotak ini.Syifa masih ingat betul bagaimana ia bisa jatuh cinta dengan Rendra saat pertama kali