Hari telah lewat tengah malam, Erlangga baru saja tiba di rumah mewahnya. Usai memarkirkan kendaraan roda empat, laki-laki itu bergegas masuk ke rumah. Tubuhnya sudah sangat lengket, seharian berada di proyek kontruksi mengakibatkan mengalir membasahi.
Melihat rumah dalam keadaan gelap gulita, Erlangga segera menyalakan beberapa lampu. Seketika rumah berhias ukiran itu pun terang benderang. Laki-laki bertubuh tegap itu pun beralih ke kamar utama yang berada di lantai dua. Dengan langkah tegap, dia menaiki satu per satu anak tangga. Tepat di ujung tangga, Erlangga meraih knop pintu jati berhiaskan ukiran.
Laki-laki itu meletakkan tas kerja pada sofa, lalu segera menuju kamar mandi. Di bawah guyuran shower, Erlangga membasuh tubuh lengketnya. Gemercik air yang membasahi badan kekarnya begitu menyegarkan. Dia merasa lega, tubuhnya telah kembali bersih.
Dengan mengenakan handuk yang melingkar di pinggang, Erlangga keluar dari kamar mandi. Dia menghidupkan lampu utama di kamar, lalu berjalan menuju ke arah lemari untuk mengambil pakaian ganti. Namun, pandangan laki-laki itu menangkap sesuatu yang aneh di atas tempat tidur. Erlangga mengurungkan niat, lantas mengendap untuk memastikan dugaannya.
Tepat di samping ranjang, laki-laki itu menyibak selimut. Matanya membulat sempurna mendapati seorang gadis yang tengah terlelap. Wajah terkejutnya berubah menjadi merah padam.
"Hey! Bangun! Siapa kamu?" bentak Erlangga tanpa rasa takut.
Mendengar suara berat yang berteriak, Ilona terperanjat. Dia segera membuka mata dan mengambil posisi duduk.
"Aaaaah! Siapa kamu?" teriak Ilona sembari menutup mata. Dia begitu terkejut melihat seorang laki-laki bertelanjang dada berdiri di hadapannya.
"Hey! Harusnya aku yang tanya, siapa kamu? Kenapa berada di rumahku? Maling, ya?" tanya Erlangga geram.
"Bu--bukan, aku bukan maling." Ilona masih menutup wajahnya.
Melihat tingkah gadis itu, Erlangga beralih ke sisi lain ranjang. Tanpa aba-aba, dia meraih tangan Ilona dan menyeret dengan kasar. Gadis itu terpaksa membuka mata dan memohon pada sang pemilik rumah agar tidak mengusirnya.
"Pergi dari rumahku!" bentak Erlangga sembari menghempaskan genggaman tangan Ilona di ambang pintu.
"Aku mohon, izinkan aku bermalam di rumah ini. Aku berasal dari jauh dan tidak mempunyai tujuan, Om." Ilona mengiba, mengharap belas kasih dari Erlangga.
"Om? Kamu pikir aku setua itu?"
"Lalu, aku harus manggil apa? Bapak, Kakak, Mas?"
"Terserah! Keluar dari rumah ini sekarang juga!" Erlangga berkacak pinggang, tidak suka dengan kehadiran Ilona.
Ilona bersimpuh. Untuk pertama kali dia mengesampingkan harga diri guna mendapat tempat untuk berlindung. Tidak ada tempat tujuan lain, gadis itu tidak tahu harus pergi ke mana.
Laki-laki berahang tegas itu melengos, tidak mendengarkan rengekan Ilona. Dia tidak mengerti mengapa gadis berhidung minimalis tersebut bisa berada di dalam rumahnya.
"Mas, aku mohon. Izinkan aku bermalam di sini. Kalau pacar aku sudah menghubungi, pasti aku akan segera pergi dari sini."
Pacar? Mendengar hal itu Erlangga menatap lekat wajah gadis yang sedang bersimpuh. Padahal, beberapa menit lalu Ilona mengatakan bahwa dia merupakan pendatang dari jauh. Laki-laki itu mengernyitkan kening, menduga yang terjadi pada gadis itu. Hanya dengan menatap wajahnya, Erlangga tahu bahwa dia gadis baik-baik. Lalu, mengapa dia rela pergi dari rumah demi seseorang yang belum jelas hubungannya? Rasa iba mendadak hadir di hatinya melihat Ilona yang terlihat kebingungan.q
"Tunggu di sini! Kita perlu bicara!" tegas Erlangga sembari melangkah masuk ke kamar kembali.
Laki-laki bertubuh tegap itu bergegas mengganti handuk dengan kaus dan celana pendek. Outfit yang biasa dia kenakan di rumah. Setelah menyisir rambut, Erlangga kembali keluar kamar dan mendapati Ilona masih bersimpuh di depan pintu. Dia mengembuskan napas kasar. Niat hati ingin beristirahat setelah sampai rumah ternyata gagal total.
"Bangun! Ikuti aku!" perintah Erlangga dengan nada tegasnya.
Ilona bangkit, lalu mengikuti laki-laki pemilik rumah. Gadis itu menatap punggung Erlangga yang tertutup kaus biru laut. Pikirannya melayang pada kejadian di dalam kamar, bisa-bisanya mata polosnya ternoda karena melihat tubuh atletis Erlangga. Ilona bergidik ngeri, menepis pikiran kotor.
Di sofa depan televisi, Erlangga duduk. Tangan laki-laki itu terlipat di dada dengan pandangan yang terus memindai gadis yang ikut duduk pada sisi lain sofa.
Ilona menunduk, tidak berani beradu tatap dengan si pemilik rumah. Sorot mata laki-laki itu menegaskan tidak menyukai keberadaannya. Debaran di dadanya semakin tidak menentu, bisa saja pemilik rumah bukan laki-laki baik.
"Kenapa kamu sampai di sini? Jelaskan!" ujar Erlangga.
"A--aku sebenarnya kabur dari rumah, Mas," jawab Ilona terbata-bata.
"Apa? Kabur dari rumah hanya untuk bertemu pacar? Yang benar saja! Kamu itu masih muda, terlihat berpendidikan juga. Namun, sayangnya bodoh!" Erlangga menekankan di akhir kalimat dan langsung mendapat tatapan tidak suka dari Ilona.
"Aku kabur karena menolak dijodohkan, Mas! Mana ada gadis zaman sekarang mau menikah karena perjodohan. Lagi pula aku sudah memiliki seseorang yang aku cintai!"
Erlangga mencebik, lalu mengalihkan pandangan ke tempat lain. Alasan Ilona sangat menggelitik pendengarannya. Bagaimanapun dia tidak bisa membiarkan gadis itu tinggal hanya bersama pacar di kota besar tersebut. Erlangga bisa melihat bahwa Ilona masih begitu polos.
"Mas, izinkan aku tinggal di sini. Aku siap bekerja apa saja untuk membalas kebaikan Mas." Ilona menangkupkan tangan di hadapan Erlangga, memohon agar Erlangga luluh.
Erlangga tampak berpikir sejenak, membiarkan gadis polos itu berkeliaran sendiri pun berbahaya. Jika tinggal di rumah itu, setidaknya Ilona memiliki tempat untuk berlindung dari gangguan laki-laki hidung belang. Terlebih, laki-laki bertubuh kekar tersebut pun membutuhkan asisten rumah tangga untuk membersihkan rumahnya.
"Baik. Apa kamu bisa melakukan pekerjaan rumah tangga? Mencuci, memasak, membereskan rumah, dan lainnya."
"Bisa, Mas. Aku sangat bisa melakukan semua pekerjaan itu." Mata Ilona berbinar, ternyata laki-laki yang duduk di hadapannya tidak begitu menakutkan.
"Siapa nama kamu?"
"Ilona, Mas."
"Bawa tanda pengenal? Coba tunjukkan padaku!"
Ilona tampak celingukan, mencari tas ransel yang dibawanya. Dia teringat bahwa tas tersebut masih tertinggal di kamar besar si pemilik rumah.
"Mas, apa boleh aku ke kamar kamu lagi?"
Erlangga mengernyitkan dahi dan dibalas senyuman oleh Ilona. Gadis itu seakan tahu pemikiran laki-laki bertubuh atletis tersebut.
"Tas aku masih tertinggal di sana, Mas. Aku hanya mau mengambil tas aku saja."
"Ambilah. Cepat!" Erlangga mengembuskan napas pelan. Ternyata, pemikirannya tentang gadis itu salah.
Masih bersedekap, Erlangga menanti gadis berhidung minimalis itu kembali ke ruang televisi. Tidak beberapa, Ilona datang dengan napas terengah-engah. Dia langsung membuka dompet dan menyerahkan kartu pengenal pada Erlangga. Laki-laki tersebut menerima, lalu membaca dengan saksama identitas si pemilik manik mata cokelat.
"Kartu ini aku simpan sebagai jaminan. Aku serahkan jika kamu sudah memutuskan untuk pergi."
"Tapi, ---."
"Enggak ada tapi, aku harus menjamin keamanan rumah ini. Bisa saja kamu hanya menipuku."
Ilona mengangguk pasrah, tidak ada upaya lagi untuk melawan. Dia bersyukur bisa tinggal di rumah mewah itu untuk sementara waktu. Setidaknya sampai Arsenio menjemputnya atau mengetahui tempat tinggal laki-laki tersebut.
Suara gemuruh dalam perut terdengar begitu nyaring di tengah kesunyian. Secepat kilat Erlangga menoleh. Ilona pun segera menutup perut dan tersenyum kikuk.
"Aku lapar, Mas. Sebuah apel pun tidak mampu mengganjal perut ini," ucap Ilona lirih.
"Apel?"
"Iya, aku memakan apel di kulkas tadi."
Erlangga memutar bola mata malas. Tidak percaya gadis itu telah berbuat lancang dengan menjelajah seisi rumah.
"Jadi, kamu memakan makananku tanpa izin. Iya?"
"Maaf, Mas. Aku sangat lapar."
"Itu kamar kamu, pergilah ke sana. Bersihkan dirimu, lalu ikutlah denganku untuk mencari makanan. Aku tunggu dalam sepuluh menit. Jika kamu tidak keluar, aku akan ---."
Belum selesai Erlangga berucap, Ilona telah bangkit lebih dulu. Dia berlari menuju kamar yang ditunjuk laki-laki itu.
"Aku mengerti, Mas. Tunggu aku!" teriak Ilona bersemangat.
"Dasar! Tingkahnya seperti di rumah sendiri saja!" gerutu Erlangga.
Usai Ilona menghilang di balik pintu, laki-laki itu beralih menatap tanda pengenal di tangan. Sebelah ujung bibir Erlangga tertarik ke atas, lalu bangkit dari duduk untuk menuju ruang pribadi miliknya.
Mobil putih kesayangan Erlangga sudah melesat di jalanan, membelah gelap malam. Kantuk dan lelah yang semula dirasakan laki-laki tersebut, hilang entah di mana. Demi Ilona yang kelaparan, dia mau berkeliling hanya sekadar mencari tempat makan di sepertiga malam.Gadis manis bertubuh langsing itu pun dengan tenang duduk sampingnya. Dia mengamati jalanan Kota Yogyakarta di malam hari. Geliat manusia masih begitu ketara di malam yang hampir menjelang pagi."Kamu mau makan apa? Tidak banyak makanan yang bisa kita cari pada jam-jam seperti sekarang ini," ujar Erlangga."Apa saja yang terpenting nasi," sahut Ilona santai.Erlangga mendengkus, lalu melirik gadis yang duduk di sampingnya. Dia pun merasakan hal yang sama, rasa lapar yang menyiksa perut. Laki-laki itu teringat, belum mengisi lambung dengan nasi seusai pulang dari proyek bangunan. Erlangga mencari makanan di waktu malam bukan semata-mata mengabulkan keinginan Ilona, tetapi juga kebutuhan dirinya jug
Erlangga menggeliat, lalu mengubah posisi menjadi duduk. Terik sinar mentari yang menelusup dari celah jendela mengganggu tidur nyenyaknya. Laki-laki itu menyipitkan mata, lalu menutup wajah dengan telapak tangan. Dia berusaha mengumpulkan kesadaran.Setelah berdiam beberapa saat, Erlangga melirik jam yang terpasang di dinding. Jarum panjang benda hitam itu menunjuk angka sepuluh, tujuh jam sudah dia terlelap dalam buaian mimpi.Ingatan Erlangga kembali pada kejadian di malam hari. Matanya tiba-tiba terbuka lebar, lalu menyibak selimut dan bergegas keluar kamar. Dengan berlari, dia menuruni anak tangga untuk mencari gadis aneh yang tiba-tiba berada di rumahnya. Erlangga berharap semua hanya mimpi. Namun, setelah mencium aroma masakan yang menguar, laki-laki itu yakin bahwa Ilona nyata.Erlangga memelankan langkah, lalu berdiri di ambang pintu dapur. Dia mengamati aktivitas gadis yang tengah bergelut dengan peralatan memasak."Sedang masak apa kamu?"
"Kenapa kita belanja di pasar tradisional, sih, Mas?" tanya Ilona penasaran. Laki-laki bertubuh tegap yang berada di sampingnya tidak langsung menjawab, terlihat berpikir sembari berjalan. Ilona pun mengikuti gerak langkah Erlangga. Sesekali dia melirik, menanti jawaban di pemilik rumah mewah. "Emang ada yang salah?" tanya Erlangga. Ilona mengembuskan napas kasar, malas pertanyaan dijawab dengan sebuah pertanyaan. "Enggak, sih. Namun, biasanya orang kaya itu belanjanya di swalayan. Kenapa ini di pasar?" "Untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Kalau semua belanja di swalayan, lalu kasihan pedagang di pasar tradisional, dong. Dagangan mereka enggak laku," kilah Erlangga. Gadis bermanik mata cokelat itu terdiam, meresapi ucapan Erlangga. Memang benar, jika semua orang belanja di pasar modern, lantas apa kabar penjual di pasar tradisional? Bukankah hidup itu harus ada keseimbangan? "Aku akan mengantar kamu belanja ke sini beberapa
Sesampainya di rumah berukiran kayu, Ilona bergegas keluar mobil. Dia melupakan belanjaan dan keberadaan Erlangga. Gadis itu membuka pintu dengan kunci yang diberikan sang majikan sebelumnya, lalu menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin. Dia ingin menghilangkan haus yang sedari tadi menyerang tenggorokan sekaligus mendinginkan hati agar tidak meluapkan emosi."Kenapa meninggalkanku begitu saja?" protes Erlangga dengan membawa barang belanjaan."Aku haus, Mas.""Masih marah sama aku?"Erlangga meletakkan barang belanjaan. Sementara itu, Ilona masih enggan menjawab. Gadis itu malah mengambil barang belanjaan untuk disimpan. Erlangga yang berdiri tidak jauh darinya hanya memperhatikan wajah cemberut gadis tersebut dengan bersandar pada dinding."Aku janji akan membantu mencari pacarmu itu. Tenang saja, sedikit banyak aku memiliki teman di sini. Berikan saja fotonya," ujar Erlangga.Mendengar ucapan laki-laki itu, mata Ilona berbinar. Di
"Lona!"Teriakan Erlangga menggema ke seluruh penjuru rumah. Dia menggedor pintu kamar pembantu cantiknya dengan tidak sabar."Lona!"Dengan malas, Ilona segera bangkit setelah mendengar suara Erlangga. Sebelum membuka pintu, dia terlebih dahulu menghapus sisa air mata di pipi. Menangis nyatanya tidak serta merta meredakan emosi, gadis itu masih marah pada si pemilik rumah. Begitu pula dengan Arsenio yang tidak kunjung diketahui kabarnya.Sebelum Erlangga kembali mengetuk pintu, Ilona terlebih dahulu membukakan. Gadis itu terkejut ketika si pemilik rumah merangsek masuk kamarnya. Tidak hanya itu, bahkan laki-laki tersebut menutup pintu dan menguncinya.Debaran dalam dada Ilona kian kencang. Dia memperhatikan raut wajah bingung Erlangga. Perlahan tapi pasti, gadis itu bersiap untuk menjaga diri. Takut bila sesuatu tidak diinginkan terjadi. Bukankah Erlangga juga
"Kenapa buka pintunya lama, sih, Lang? Nyembunyiin sesuatu lu, ya?"Erlangga berdiri di ambang pintu sembari memperhatikan tamu yang sedari tadi menekan bel rumah. Dia menatap tak suka pada laki-laki berjaket kulit di hadapannya. Bukan tidak boleh berkunjung ke rumahnya, hanya saja di saja ada Ilona. Erlangga tidak ingin sahabatnya yang buaya darat mengelabuhi Ilona."Selain rumahku, tidak adakah tempat lain yang bisa kamu kunjungi?" Erlangga balik bertanya."Enggak suka banget gue ke sini, harusnya seneng sahabat lu datang kemari," lanjut laki-laki berjaket kulit itu.Erlangga menggeleng pelan saat laki-laki yang mengaku sebagai sahabatnya itu menerobos masuk ke rumah. Dia pun segera menutup pintu dan mengekor di belakangnya. Seseorang yang baru datang itu langsung duduk di sofa, seakan rumah tersebut miliknya juga."Menginaplah di hotel, Van. Biasanya juga begitu,
"Aduh! Mas Erlangga marah enggak, ya. Aku putar musiknya malah agak kencang. Tamunya Mas Erlangga dengar enggak, ya?" gumam Ilona di dalam kamar. Beberapa kali gadis itu mendengarkan keadaan luar dari melalui pintu kamarnya. Dia takut jika persembunyiannya sampai diketahui. Sunyi. Ilona tidak dapat mendengar apa-apa di luar kamarnya. Dia kembali menajamkan pendengaran. Nihil. Suara Erlangga dan sahabatnya tidak terdengar sama sekali. "Apakah mereka pergi? Apakah Mas Erlangga sudah berhasil membawa tamunya keluar rumah?" ucapnya lagi. Ilona hendak meraih kenop pintu, tetapi nada dering ponsel miliknya lebih dahulu terdengar. Gadis itu segera meraih ponsel di nakas. Sebuah pesan dari pemilik nama Erlangga masuk di aplikasi hijau miliknya. Tidak menunggu lama, Ilona segera membukanya. [Dasar! Hampir
"Ke mana si Ilona, Pak? Sudah beberapa minggu, tetapi belum ada kabar tentang dia. Kalau Ilona terjerumus pada hal yang ndak-ndak gimana?" Rahma memijit kening yang berdenyut. Sejak Ilona pergi, dia tidak pernah tidur nyenyak.Sementara itu, Janu yang duduk di kursi lain tampak berpikir keras. Dia sudah berusaha mencari Ilona di beberapa tempat di Yogyakarta. Akan tetapi, belum ada kabar tentang gadis itu. Dia sendiri dilanda bingung sebab sahabatnya, Lukito, selalu menanyakan perihal Ilona."Pak!" bentak Rahma."Lalu, Bapak harus gimana, Bu? Bapak sudah berusaha mencari ke beberapa tempat di Yogya. Terutama di sekitar terminal. Tapi, Ilona belum ketemu." Nada suara Janu sedikit meninggi, kesal selalu di desa. Padahal, dia pun sedang berpikir keras mencari cara untuk menemukan sang putri."Ibu enggak mau tahu, temukan Ilona secepatnya, Pak! Dia anak kita satu-satunya. Ibu enggak akan memaafkan Bapak kalau Ilona sampai kenapa-napa!"Rahma bangkit, l