Erlangga menggeliat, lalu mengubah posisi menjadi duduk. Terik sinar mentari yang menelusup dari celah jendela mengganggu tidur nyenyaknya. Laki-laki itu menyipitkan mata, lalu menutup wajah dengan telapak tangan. Dia berusaha mengumpulkan kesadaran.
Setelah berdiam beberapa saat, Erlangga melirik jam yang terpasang di dinding. Jarum panjang benda hitam itu menunjuk angka sepuluh, tujuh jam sudah dia terlelap dalam buaian mimpi.
Ingatan Erlangga kembali pada kejadian di malam hari. Matanya tiba-tiba terbuka lebar, lalu menyibak selimut dan bergegas keluar kamar. Dengan berlari, dia menuruni anak tangga untuk mencari gadis aneh yang tiba-tiba berada di rumahnya. Erlangga berharap semua hanya mimpi. Namun, setelah mencium aroma masakan yang menguar, laki-laki itu yakin bahwa Ilona nyata.
Erlangga memelankan langkah, lalu berdiri di ambang pintu dapur. Dia mengamati aktivitas gadis yang tengah bergelut dengan peralatan memasak.
"Sedang masak apa kamu?"
Ilona berjingkat, lalu menoleh ke arah datangnya suara. Erlangga sudah bersedekap sembari bersandar pada dinding. Tatapan laki-laki itu sulit diartikan.
"Aduh! Mas Erlangga bikin aku kaget saja!" ucap Ilona.
"Kamu masak apa? Masih lama enggak? Aku udah lapar, nih," ucap Erlangga dengan wajah memelas.
"Bentar, Mas. Nunggu tempe gorengnya mateng dulu. Lebih baik Mas Erlangga mandi dulu aja, deh."
Erlangga manut, berlalu dari dapur dan kembali ke kamar. Dia meraih handuk, lalu menuju kamar mandi untuk membasuh tubuh. Badannya terasa lebih segar saat guyuran air daro shower membasahi tubuhnya. Lelah yang dirasakan pun perlahan menghilang.
Setelah merasa cukup bersih, Erlangga mengeringkan tubuh dengan handuk. Dia pun berganti pakaian dengan baju rumahan. Lalu, keluar kamar sembari mengeringkan rambut basahnya. Di depan sebuah cermin, laki-laki berhidung mancung itu menatap pantulan diri. Dia menata rambut dengan potongan dandy tersebut, lantas mengoleskan krim pada wajah berkulit sawo matangnya.
Merasakan cacing pada perut semakin memberontak, Erlangga bergegas kembali ke meja makan. Dia telah mendamba masakan Ilona. Dari aroma yang menguar, bisa ditebak bahwa masakan gadis tersebut enak.
Erlangga celingukan, tidak mendapatkan Ilona di mana pun. Hanya hasil masakannya saja yang tertata rapi di meja makan. Laki-laki itu pun mencari keberadaan Ilona, tidak nyaman jika harus makan seorang diri.
Tanpa pikir panjang, Erlangga meraih knop pintu kamar yang tidak terkunci milik Ilona. Dia pun mendorong pelan dan mendapati pemandangan yang begitu mengejutkan.
"Aaah! Tutup pintunya!"
Ilona kalang kabut, mencari sesuatu untuk menutup tubuh. Bagaimana tidak? Dia hanya mengenakan handuk yang melilit pada tubuh dan Erlangga tiba-tiba membuka pintu kamar.
Sesaat Erlangga tergemap, lalu menutup pintu dengan cepat. Debaran di dadanya semakin tidak menentu. Entah mimpi buruk atau berkah yang dia dapatkan.
"Cepat ganti baju, lalu temani aku makan!" teriak Erlangga dari depan pintu.
Ilona tidak merespons, begitu malu karena Erlangga telah memergokinya tanpa pakaian. Dia merutuki tindakan cerobohnya yang tidak mengunci pintu kamar.
Erlangga kembali ke meja makan, lalu menarik kursi untuk duduk. Dia mencoba menenangkan debaran di dalam dada. Tidak dapat dimungkiri bahwa dirinya sempat menikmati kulit kuning langsat milik Ilona.
"Ah, sial! Kenapa aku harus membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk pintu dulu?" gerutu Erlangga.
Tidak beberapa lama, dia melihat Ilona berjalan ke arahnya. Mulut mungil gadis itu mengerucut, membuat Erlangga semakin gemas. Laki-laki itu pun berdeham, mencoba menguasai keadaan agar kembali normal seperti tidak terjadi apa-apa di menit sebelumnya.
Ilona duduk di hadapan Erlangga, bersedekap dan tidak melepaskan pandangan dari si pemilik rumah. Erlangga tidak nyaman mendapat tatapan yang begitu menusuk. Dia menggaruk tengkuk yang tidak terasa gatal.
"Apa yang tadi kamu lihat, Mas?" cecar Ilona.
"Tidak ada."
Erlangga mengalihkan pandangan, tidak nyaman mendapat tatapan begitu menyeramkan. Terlebih, dirinya tanpa sengaja melihat Ilona tanpa pakaian. Sebagai laki-laki dewasa, tidak mungkin hal itu terlihat biasa sana.
"Bohong!" sentak Ilona.
"Lalu, kamu mau aku jawab bagaimana? Tidak mungkin aku bilang bahwa melihatmu ---."
"Ih, kamu nyebelin, deh. Buka pintu kamar orang sembarangan!"
"Aku enggak tahu kalau kamu habis mandi. Salah sendiri pintunya enggak dikunci!" jawab Erlangga dengan nada meninggi.
"Kamu harusnya mengerti, itu kamar wanita!"
"Udahlah! Anggap tidak ada kejadian tadi. Aku mau makan!" tegas Erlangga.
"Mudah sekali kamu bicara, Mas?"
"Lalu, kamu mau aku menceritakan setiap detail yang dilihat mataku ini, gitu? Baik. Tadi itu aku lihat kamu ---."
"Stop! Makan saja, sayurnya keburu dingin!"
Erlangga mengulum senyum. Sorot matanya tidak lepas dari Ilona. Gadis itu hanya menunduk, menahan malu. Pipinya pun telah memanas, bisa dipastikan bahwa rona merah tergambar di sana.
"Makan dulu, lalu selesaikan pekerjaan yang lain!" perintah Erlangga sembari mengambil nasi beserta sayur dan lauknya.
Usai Erlangga mengambil masakan yang tersaji di meja, Ilona pun tidak mau kalah. Dia mengambil hidangan itu tanpa mau menatap wajah Erlangga. Mereka menikmati makanan dalam senyap, tidak ada yang bersuara.
"Kamu sudah kenalan sama Bang Paiman, penjual sayur keliling?" tanya Erlangga memecah keheningan.
"Udah."
"Bagus. Belanja sama dia saja, tiap hari lewat sini, kok. Hitung-hitung membantu perekonomian keluarganya."
Ilona terdiam, masih menikmati hidangan. Namun, pikirannya merasa salut pada tindakan Erlangga. Biasanya orang kaya belanja di supermarket, tetapi laki-laki bertubuh tegap itu memilih penjual sayur keliling.
"Untuk keperluan dapur, kamu butuh apa? Maklumlah, asisten rumah tangga sebelumnya udah dua bulan ini keluar. Aku enggak begitu paham urusan dapur," lanjut Erlangga.
Sesaat, Ilona tampak berpikir. Dia tidak tahu apa saja yang kurang dari rumah Erlangga, letak penyimpanan barang kebutuhan sehari-hari pun belum paham. Gadis berambut sepunggung itu menjadi asisten rumah tangga dadakan, masih butuh waktu untuknya belajar seluk-beluk rumah.
"Mas Erlangga menyimpan semua kebutuhan rumah di dapur?"
Erlangga meletakkan alat makannya, lalu mengangguk. Dia bersedekap, menatap gadis berusia 23 tahun yang duduk di hadapannya untuk menanti jawaban.
"Nanti aku cek dulu apa saja yang diperlukan," ujar Ilona sembari berdiri.
Gadis berhidung minimalis itu mengangkat piring kotor menuju wastafel, lalu mencucinya. Dia pun merapikan meja makan tanpa menghiraukan Erlangga yang masih duduk di sana. Setelah itu, Ilona meneliti persediaan kebutuhan untuk sehari-hari.
Erlangga mengernyitkan kening. Selama memiliki asisten rumah tangga, belum pernah ada yang seberani Ilona. Pada umumnya, setiap orang yang bekerja pada dia selalu patuh dan begitu hormat. Namun, berbeda dengan Ilona yang bahkan seakan menganggapnya tidak nampak. Gadis itu mondar-mandir tanpa memedulikan bahwa Erlangga masih setia memperhatikan dirinya.
"Bagaimana?" Erlangga telah bersedekap, bersandar di pintu sembari memperhatikan Ilona yang tengah sibuk mencatat keperluan di ponsel.
Ilona terlonjak mendengar suara berat yang tiba-tiba berada di belakangnya. Dia berbalik dan mendapati Erlangga tengah bersandar di pintu. Gadis berambut sebahu itu pun mendekat, lalu berhenti tepat di hadapan sang pemilik rumah.
"Ini catatan kebutuhan yang perlu dibeli, Mas," ujar Ilona sembari memperlihatkan hasil catatan pada ponselnya.
Sesaat, Erlangga memperhatikan dengan saksama. Lalu, dirinya beralih kembali menatap Ilona yang masih berdiri di tempat.
"Ganti bajumu! Ayo, kita pergi belanja!" titah Erlangga.
"Tapi, Mas ---."
"Kamu tahu pasar atau swalayan daerah sini?"
Erlangga menaikkan sebelah alis, tatapan mengejeknya tidak lepas dari Ilona. Perlahan, gadis itu menggeleng. Si pemilik rumah tersenyum puas melihatnya.
"Kamu di kota orang, enggak usah sok pergi sendiri. Aku antar kamu belanja semua barang-barang itu."
Usai memotong ucapan Ilona, laki-laki bertubuh tegap itu pun berlalu. Ilona mengerucutkan bibir, tidak menyangka Erlangga akan mengajaknya berbelanja. Sejak kejadian tidak disengaja di kamar, gadis berparas cantik itu sedikit gugup berada di dekat Erlangga, lebih tepatnya malu. Meskipun sang pemilik rumah telah menganggap tidak ada kejadian apa pun, dia tetap tidak bisa lupa begitu saja.
"Kenapa kita belanja di pasar tradisional, sih, Mas?" tanya Ilona penasaran. Laki-laki bertubuh tegap yang berada di sampingnya tidak langsung menjawab, terlihat berpikir sembari berjalan. Ilona pun mengikuti gerak langkah Erlangga. Sesekali dia melirik, menanti jawaban di pemilik rumah mewah. "Emang ada yang salah?" tanya Erlangga. Ilona mengembuskan napas kasar, malas pertanyaan dijawab dengan sebuah pertanyaan. "Enggak, sih. Namun, biasanya orang kaya itu belanjanya di swalayan. Kenapa ini di pasar?" "Untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Kalau semua belanja di swalayan, lalu kasihan pedagang di pasar tradisional, dong. Dagangan mereka enggak laku," kilah Erlangga. Gadis bermanik mata cokelat itu terdiam, meresapi ucapan Erlangga. Memang benar, jika semua orang belanja di pasar modern, lantas apa kabar penjual di pasar tradisional? Bukankah hidup itu harus ada keseimbangan? "Aku akan mengantar kamu belanja ke sini beberapa
Sesampainya di rumah berukiran kayu, Ilona bergegas keluar mobil. Dia melupakan belanjaan dan keberadaan Erlangga. Gadis itu membuka pintu dengan kunci yang diberikan sang majikan sebelumnya, lalu menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin. Dia ingin menghilangkan haus yang sedari tadi menyerang tenggorokan sekaligus mendinginkan hati agar tidak meluapkan emosi."Kenapa meninggalkanku begitu saja?" protes Erlangga dengan membawa barang belanjaan."Aku haus, Mas.""Masih marah sama aku?"Erlangga meletakkan barang belanjaan. Sementara itu, Ilona masih enggan menjawab. Gadis itu malah mengambil barang belanjaan untuk disimpan. Erlangga yang berdiri tidak jauh darinya hanya memperhatikan wajah cemberut gadis tersebut dengan bersandar pada dinding."Aku janji akan membantu mencari pacarmu itu. Tenang saja, sedikit banyak aku memiliki teman di sini. Berikan saja fotonya," ujar Erlangga.Mendengar ucapan laki-laki itu, mata Ilona berbinar. Di
"Lona!"Teriakan Erlangga menggema ke seluruh penjuru rumah. Dia menggedor pintu kamar pembantu cantiknya dengan tidak sabar."Lona!"Dengan malas, Ilona segera bangkit setelah mendengar suara Erlangga. Sebelum membuka pintu, dia terlebih dahulu menghapus sisa air mata di pipi. Menangis nyatanya tidak serta merta meredakan emosi, gadis itu masih marah pada si pemilik rumah. Begitu pula dengan Arsenio yang tidak kunjung diketahui kabarnya.Sebelum Erlangga kembali mengetuk pintu, Ilona terlebih dahulu membukakan. Gadis itu terkejut ketika si pemilik rumah merangsek masuk kamarnya. Tidak hanya itu, bahkan laki-laki tersebut menutup pintu dan menguncinya.Debaran dalam dada Ilona kian kencang. Dia memperhatikan raut wajah bingung Erlangga. Perlahan tapi pasti, gadis itu bersiap untuk menjaga diri. Takut bila sesuatu tidak diinginkan terjadi. Bukankah Erlangga juga
"Kenapa buka pintunya lama, sih, Lang? Nyembunyiin sesuatu lu, ya?"Erlangga berdiri di ambang pintu sembari memperhatikan tamu yang sedari tadi menekan bel rumah. Dia menatap tak suka pada laki-laki berjaket kulit di hadapannya. Bukan tidak boleh berkunjung ke rumahnya, hanya saja di saja ada Ilona. Erlangga tidak ingin sahabatnya yang buaya darat mengelabuhi Ilona."Selain rumahku, tidak adakah tempat lain yang bisa kamu kunjungi?" Erlangga balik bertanya."Enggak suka banget gue ke sini, harusnya seneng sahabat lu datang kemari," lanjut laki-laki berjaket kulit itu.Erlangga menggeleng pelan saat laki-laki yang mengaku sebagai sahabatnya itu menerobos masuk ke rumah. Dia pun segera menutup pintu dan mengekor di belakangnya. Seseorang yang baru datang itu langsung duduk di sofa, seakan rumah tersebut miliknya juga."Menginaplah di hotel, Van. Biasanya juga begitu,
"Aduh! Mas Erlangga marah enggak, ya. Aku putar musiknya malah agak kencang. Tamunya Mas Erlangga dengar enggak, ya?" gumam Ilona di dalam kamar. Beberapa kali gadis itu mendengarkan keadaan luar dari melalui pintu kamarnya. Dia takut jika persembunyiannya sampai diketahui. Sunyi. Ilona tidak dapat mendengar apa-apa di luar kamarnya. Dia kembali menajamkan pendengaran. Nihil. Suara Erlangga dan sahabatnya tidak terdengar sama sekali. "Apakah mereka pergi? Apakah Mas Erlangga sudah berhasil membawa tamunya keluar rumah?" ucapnya lagi. Ilona hendak meraih kenop pintu, tetapi nada dering ponsel miliknya lebih dahulu terdengar. Gadis itu segera meraih ponsel di nakas. Sebuah pesan dari pemilik nama Erlangga masuk di aplikasi hijau miliknya. Tidak menunggu lama, Ilona segera membukanya. [Dasar! Hampir
"Ke mana si Ilona, Pak? Sudah beberapa minggu, tetapi belum ada kabar tentang dia. Kalau Ilona terjerumus pada hal yang ndak-ndak gimana?" Rahma memijit kening yang berdenyut. Sejak Ilona pergi, dia tidak pernah tidur nyenyak.Sementara itu, Janu yang duduk di kursi lain tampak berpikir keras. Dia sudah berusaha mencari Ilona di beberapa tempat di Yogyakarta. Akan tetapi, belum ada kabar tentang gadis itu. Dia sendiri dilanda bingung sebab sahabatnya, Lukito, selalu menanyakan perihal Ilona."Pak!" bentak Rahma."Lalu, Bapak harus gimana, Bu? Bapak sudah berusaha mencari ke beberapa tempat di Yogya. Terutama di sekitar terminal. Tapi, Ilona belum ketemu." Nada suara Janu sedikit meninggi, kesal selalu di desa. Padahal, dia pun sedang berpikir keras mencari cara untuk menemukan sang putri."Ibu enggak mau tahu, temukan Ilona secepatnya, Pak! Dia anak kita satu-satunya. Ibu enggak akan memaafkan Bapak kalau Ilona sampai kenapa-napa!"Rahma bangkit, l
Erlangga tidak pernah mengingkari janjinya. Dia sengaja pulang dari kantor lebih awal hanya untuk mengajak Ilona ke pantai. Selama perjalanan, mereka saling diam. Masih ada rasa canggung antara keduanya sebab pelukan tiba-tiba pada pagi hari. Di boncengan motor Erlangga, Ilona duduk sedikit menjaga jarak. Dia takut berbuat di luar batas lagi. Ilona tahu, tidak sepantasnya dia memeluk Erlangga. Akan tetapi, dia hanya refleks karena bahagia. Nyatanya, pelukan itu menimbulkan perasaan berbeda di hati. Ilona selalu berdebar setiap melihat si pemilik rumah. Sialnya, mobil Erlangga sedang tidak di rumah dan mereka harus pergi naik motor. Selama perjalanan, Ilona menikmati indahnya Kota Yogyakarta. Kota tersebut termasuk daerah yang ramai dan menjadi tujuan berwisata. Selain itu, di sana termasuk tujuan untuk mengenyam pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Dahulu, Ilona pun bermimpi bisa kuliah di Yogyakarta. Akan tetapi, Janu tidak merestuinya. Dia tidak ingin anak perem
"Baik-baik di rumah. Kalau butuh belanja sayur, cukup di tukang sayur depan rumah. Jangan keluyuran enggak jelas. Tunggu aku pulang, baru kita cari Arsenio!" pesan Erlangga.Ilona menyunggingkan senyuman. Sudah puluhan kali dia mendengar pesan yang sama dari bibir Erlangga. Gadis itu hanya bisa mengatakan 'iya' sebagai jawaban.Sebuah koper telah digenggam Erlangga. Laki-laki itu berhenti di ruang televisi, lantas berbalik menatap Ilona yang berada di belakangnya. Sementara itu, Ilona mengernyitkan kening. Dia heran dengan polah laki-laki berkemeja kotak tersebut. Padahal, Erlangga ingin ke Jakarta untuk menemui kekasih hatinya. Namun, mengapa dia malah mengkhawatirkan dirinya yang berada di rumah?"Ada apa lagi, Mas?" tanya Ilona."Ingat pesanku!" tegas Erlangga."Iya. Iya. Iya. Aku tahu My Boss paling ganteng. Jangan khawatirkan aku. Tenang saja."Mendapat jawaban yang begitu manis, Erlangga merasakan sesuatu yang berbeda. Dadanya me