Share

11. Meredam Sakit Hati Eve

Tatapan nyalang Eve seketika melemah. Tergantikan oleh kabut nanar. Itu saat Eve melirik lencana kepolisian yang ditunjukkan oleh Dev.

Dev memang sengaja menunjukkan lencana itu agar dia terkesan punya wewenang untuk menanyakan keberadaan Yongkie pada Eve.

Sebenarnya lencana itu bukan punya Dev. Tapi anggaplah Dev menunjukkan lencana itu untuk kamuflase, menutupi idenditas agen rahasianya.

Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Eve hanya terdiam. Tidak juga mengelak, dan tidak pula merengek minta dilepaskan seperti tadi. Barangkali dia masih kaget setelah mengetahui idenditas Dev.

Melihat Eve sudah jauh lebih tenang, Dev pun menghelakan napasnya.

"Eve, dengar." Suara Dev seketika berubah melembut. "Kalau kau masih bersikeras melindungi kriminal seperti dia, itu sama saja kau membahayakan warga negara kita. Jangan hanya karena mencintainya, kau berusaha melindungi Yongkie. Itu bukan tindakan yang benar."

Usai Dev mengatakan itu, kepala Eve menengadah. Menatap Dev dengan nyalang. Sepertinya Eve tidak suka kalau Dev mengatai pacarnya.

"Aku hanya melindungi Dion dari tuduhan yang tidak benar! Karena sebenarnya kau salah sasaran! Dion itu bukan penjahat!!"

'Dion? Apa itu nama asli Yongkie?' Dev bergumam dalam hati.

Dev lantas menyingkirkan layar ponsel itu dari hadapan Eve. Sedikit mencondongkan wajahnya, Dev menatap lekat-lekat ke manik mata Eve.

"Kalau memang dia bukan penjahat, lalu mengapa kau melindunginya? Seharusnya kau tinggal membuktikan pada kami kalau dia tidak bersalah, bukannya berbohong dan mengatakan kalau kau tidak mengenalnya!"

DEG!

Wajah Eve langsung menegang. Namun tatapannya masih menajam.

"Kau benar. Memang seharusnya aku menunjukkan bukti bahwa dia tidak bersalah. Namun sayangnya, aku sendiripun tidak memiliki bukti itu."

Dev menghela napas. Lalu menjauhkan diri untuk menarik satu kursi didekat sana lalu duduk di hadapan Eve.

"Kalau kau tidak memiliki bukti, maka kau tidak berhak bicara apalagi menghalangiku untuk menangkapnya, Eve. Jadi cepat katakan dimana dia. Jangan membuat semuanya menjadi rumit."

Eve terdiam lagi. Dan kini kepalanya terkulai dan tertunduk kebawah. Tidak lagi mengatakan apa-apa.

"Baiklah ..." Dev yang sudah kehabisan kata-kata untuk membuat Eve bicara pun memutuskan untuk bangkit.

"Kalau kau masih diam begitu ..." Dev menyeringai. "Terpaksa aku menahanmu disini. Barangkali pacarmu bakal muncul kalau kau menghilang. Iya kan?"

"Tunggu, Polisi sok jagoan!" Suara menantang Eve itu langsung menghentikan langkah Dev.

Dan tentu saja ucapan itu membuat emosi Dev sedikit terpancing. "Kau bilang apa?"

"Kalau aku bisa membuktikan Dion tidak bersalah, apakah kau bisa berhenti mengejarnya dan menghapusnya dari daftar buron?" tanya Eve kemudian.

Perkataan itu terdengar lucu bagi Dev. Maka tidak heran kalau setelahnya Dev melontarkan tawa yang menggema.

"Hahaha!"

"Apanya yang lucu? Itu bukan lelucon!" bentak Eve.

"Tidak usah repot-repot begitu, Eve," kata Dev dengan nada angkuh. "Kau hanya perlu menunggu pacarmu datang dan menyusulmu kemari. Dan saat itulah ... misiku selesai."

Dev kembali melanjutkan langkah. Hendak meraih kenop pintu, tiba-tiba Eve kembali berteriak.

"Aku bisa pastikan kalau bukan Dion pelakunya! Kalian hanya salah paham! Karena pelaku sebenarnya adalah para perampok itu!!"

Lagi-lagi Eve mengatakan pembelaannya. Dan percaya atau tidak, kalimat pembelaan itu sebenarnya cukup meragukan. Karena awalnya Eve sudah berbohong sejak awal. Tapi Dev juga tidak bisa mengabaikannya. Apalagi itu berkaitan dengan perampok. Yang mana komplotan kriminal itu juga pernah mengincar kepalanya.

Di dunia ini, selalu ada dua sisi cerita berbeda. Dan tiap sisinya memegang faktanya masing-masing. Seorang penegak hukum yang baik akan selalu melihat segala sisi dan sudut pandang. Apalagi ini dunia kriminal. Kadang yang tampak baik, bisa jadi dialah yang ternyata jahat. Begitupun sebaliknya. Oleh karenanya, seorang penegak hukum harus mengamati dan menyelidiki hingga semua faktanya terungkap.

"Kau boleh mengatakan pembelaanmu," kata Dev seraya membalikkan badan. Lalu menunjukkan satu alat yang Eve yakin itu semacam alat perekam suara.

"Kuberi waktu sepuluh detik. Dimulai saat aku berhenti bicara."

Eve menelan ludah. Berpikir untuk menyangkal, namun dia tidak melakukannya. Maka Eve pun memanfaatkan sepuluh detik setelahnya untuk mengatakan pembelaan itu.

"Sekitar setahun lalu, Dion dan aku tidak sengaja menemukan bom rakitan di tubuh salah satu perampok. Awalnya aku tidak menyadari kalau itu bom, karena bom rakitan itu memiliki bentuk yang sangat aneh. Seperti penemuan baru. Dia tertanam di dalam HT."

Dev mengerjap sekilas. Sedikit terkejut dengan bentuk aneh bom itu. Lalu setelahnya ia manggut-manggut. "Lanjutkan."

"Saat itu kami memergoki perampok itu hendak menanamkan bom itu tepat di gedung pembangunan resort. Lalu entah bagaimana, setelah kami menghentikan orang itu dan pulang ke tempat mangkal Dion, tiba-tiba sudah ada kotak-kotak berisi bom rakitan disana. Lalu polisi menemukan itu dan mengejar Dion. Dari situlah polisi mulai mengejar Dion. Padahal Dion tidak tahu apapun. Dan aku yakin, itu pasti ulah para perampok--"

"Sepuluh detik tepat. Waktumu habis."

Dev mematikan alat perekam itu dengan ibu jarinya. Lalu memasukkan alat kembali ke saku celana.

Jeda beberapa detik, perhatian Dev terdistraksi oleh sebuah panggilan masuk dari headset di telinganya. Dia menerima panggilan itu, mendengar setiap kata yang terucap dari orang seberang sana. Sesekali menganggukkan kepala. Dirasa informasi itu sudah jelas, Dev segera mematikan panggilan itu dan kembali menatap Eve.

"Eve ..." Entah mengapa Dev memanggil Eve cukup lembut. Namun tidak mengurangi ketegasan Dev.

"Apa?" Eve masih sinis tentunya.

Menarik napas dalam, Dev kemudian berkata. "Sepertinya kau tidak perlu membuktikan apapun untuk membersihkan nama pacarmu. Karena baru saja atasanku mengirimkan satu bukti kuat kalau pacarmulah penjahat yang sebenarnya."

Eve semakin membulatkan matanya tidak percaya. "Apa?? Itu tidak mung--"

Pip!

Kalimat protes Eve seketika terputus saat Dev tiba-tiba menyalakan layar proyeksi melayang melalui jam tangan milinya. Layar itu menampilkan satu video adegan Dion bersama satu rekannya yang sedang berjalan mengendap-endap. Terlihat dengan jelas aksi mereka yang sedang menanamkan rakitan bom ke sebuah tempat pembangunan gedung. Lagi-lagi pembangunan gedung jadi sasaran mereka.

"Pakaian bertudung hitam itu ... Pakaian yang mirip sekali dengan pakaian yang biasa digunakan oleh para perampok itu ... Jangan-jangan Dion ..."

Belum selesai Eve menggumamkan kata-katanya, video rekaman itu tiba-tiba blur lalu mati. Itu karena ledakan bom menghancurkan kamera cctv yang merekam kejadian itu. Sehingga video rekaman itu pun terputus.

"Kuharap setelah melihat video tadi, kau paham dengan situasi kita saat ini, Eve," kata Dev.

Glek!

Eve menegak ludahnya. Terlihat wajahnya masih shock, setengah tidak percaya, dan ... geram. Ada gurat kemarahan di wajah cantik itu.

Mengetahui kenyataan pahit dari seseorang yang kita cintai itu memang menyakitkan. Dan itulah yang dirasakan Eve saat ini. Walau Dev tidak begitu mengerti bagaimana rasanya--karena dia sendiri belum pernah mengalami punya kekasih brengsek seperti itu, tapi entah bagaimana Dev seperti merasakan kesakitan Eve hanya dengan memandang wajah gadis itu.

Dan saat butiran-butiran air perlahan jatuh dari pelupuk mata Eve, Dev refleks mendekatkan. Mencondongkan tubuhnya untuk menghapus air mata itu dengan dua ibu jarinya.

"Hiks!"

Tangisan Eve sungguh terlihat begitu murni. Hingga hawa kesedihan dari tangisan itu terasa menyayat relung hati. Menimbulkan rasa yang menyesakkan dada bagi siapapun yang melihat. Tidak terkecuali Dev. Dan memang hanya ada Dev disana yang menjadi saksi tangisan Eve.

"Hiks! Hiks!"

Astaga. Nyatanya Dev semakin tidak tahan lagi saat tubuh Eve mulai bergetar dan suara tangisannya yang kian keras. Maka tidak heran kalau di detik selanjutnya Dev merengkuh kepala Eve, membawanya ke pelukannya. Membiarkan pakaiannya basah oleh air mata Eve.

Beberapa menit melampiaskan tangisnya, Eve kemudian menyadari kalau Dev memeluknya. Dan dia pun bergerak gelisah, agar Dev melepaskan pelukan itu.

"Kenapa kau melakukan itu? Apa kau sedang mencari kesempatan?" tanya Eve yang menatap Dev dengan wajah kesal.

"Hah?" Dev melongo. Melepaskan pelukan dengan kikuk.

Sedetik, Dev pun baru menyadari apa yang barusan. Hal itu tentu membuatnya tidak kuasa menahan malu. Hingga semburat merah di pipi Dev pun muncul tanpa permisi.

'Astaga! Tadi aku ngapain? Apa aku udah gila meluk cewek bar-bar ini?'

Tidak mungkin Dev mengatakan kalau tiba-tiba dia ingin memeluk Eve yang bersedih. Tentu itu akan menjatuhkan harga dirinya. 

Oleh karenanya, Dev sebisa mungkin mengontrol mimik wajahnya senormal mungkin. Walau harus Dev akui, dia cukup kesulitan menormalkan detak jantungnya.

"Anggap itu bentuk simpatiku sebagai sesama manusia. Jadi jangan bicara yang aneh-aneh."

Dev kemudian beringsut menjauh, kembali membalikkan badan untuk pergi dari sana.

Tapi lagi-lagi langkahnya harus terhenti saat Eve kembali bersuara.

"Bram!!"

Masih dalam posisi membelakangi Eve, Dev menolehkan kepalanya. Memasang telinga untuk mendengar lanjutan ucapan gadis itu.

"Kalau kau ingin menangkap Dion, bawa ikut bersamamu!!" pinta Eve dengan tatapan memelas.

Dev menjawab dengan gelengan kepala. "Tidak perlu. Kau hanya perlu diam disini. Menjadi umpan untuk menarik Yongkie. Itu saja."

"Tapi Bram--"

"Kau tidak usah khawatir. Setelah Yongkie berhasil kutangkap, kau akan kulepaskan. Dan soal keamanan panti, aku tinggal mengerahkan anak buahku untuk berpatroli."

Eve menggeleng kuat. "Tidak! Tolong biarkan aku ikut, Bram! Aku ingin menangkapnya!!"

Perempuan itu lantas semakin memberontak. Kali ini dia bersikeras menggoyang-goyangkan kursi agar ikatan di tangan dan kakinya bisa lepas.

BRAK! BRAK!

Dev yang melihat reaksi Eve tentu saja tidak tinggal diam. Maka tanpa perlu peringatan, Dev segera menahan tubuh Eve dalam kungkungan tubuhnya. Mengunci dua tangan dan kaki Eve dengan cengkraman tangan dan hujaman kakinya yang kokoh. Membuat posisi tubuh mereka sangat intim.

"Lepasin aku, Bram! Lepaaas!!"

Namun bukannya tenang, Eve malah semakin berteriak. Mengerang kesakitan saat Dev menambah kekuatan hujaman tangan dan kakinya.

Maka satu-satunya jalan cepat untuk membungkam suara berisik mulut Eve hanya satu. Berupa satu lumatan dua belah bibir yang menyatu, menjelma menjadi sebuah ciuman.

Dev melumat bibir Eve dengan penuh gebu. Tidak ada kelembutan, yang ada hanya perasaan kesal yang tercurah dari lumatan itu. Namun sebisa mungkin Dev berusaha meredam semua teriakan kemarahan dari mulut Eve, menggantinya dengan desahan.

Dirasa Eve sudah terbawa permainan bibir mereka, Dev langsung mengambil tindakan. Menggerakkan satu tangannya dengan cepat untuk menancapkan obat penghilang kesadaran tepat dileher Eve. Dev pun akhirnya berhasil membuat Eve tidak sadarkan diri lagi.

Pria itu lantas menjauhkan diri dari tubuh Eve. Mengelap bibirnya dengan punggung tangan dengan keras dan berulang kali. Seolah habis mencium sesuatu yang menjijikan.

"Dasar perempuan merepotkan!"

**

To be continued.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status